Senin, September 14, 2009

Apresiasi atas Puisi Abdul Wachid BS

Ambiguitas Kedirian Abdul Wachid B.S. di Banyumas
Oleh Abdul Aziz Rasjid


Pada lembar Cakrawala, Minggu Pagi no 37 TH 61 Minggu II Desember 2008, termuat sebuah puisi dari penyair Abdul Wachid B.S. berjudul “Purwokerto-Sokaraja”. Dari judul itu, kita dapat melayangkan dugaan bahwa sang penyair hendak bercerita tentang dua daerah yang terletak di Banyumas. Dugaan awal itu memang tidak salah, sebab lewat puisi “Purwokerto-Sokaraja”, Abdul Wachid B.S. —lahir di desa Bluluk, Lamongan 7 Oktober 1966 dan menjadi dosen negeri di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto sekaligus dosen tamu di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) sejak tahun 1997-sekarang— yang hampir setiap minggu melakukan perjalanan bolak balik antara Jogja dan Banyumas memaparkan pengalaman-pengalamannya ketika berada di Banyumas.

Di dalam puisi “Purwokerto-Sokaraja”, Abdul Wachid B.S. selalu mengawali empat bait puisinya dengan melontarkan pertanyaan tentang kedirian: “Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?” Anehnya, pertanyaan yang diulang-ulang itu tak terjawab sampai di akhir puisi, meski telah menjadi semacam pemantik ekspresi emosional yang mengingatkan kenangan, pergaulan maupun gairah spiritual yang dialami aku lirik di Banyumas. 

Di sisi lain ingatan-ingatan itu berdampak negatif, yaitu membuat jawaban dari pertanyaan tentang kedirian yang dilontarkan secara berulang mengalami penundaan. Sebab secara perlahan-perlahan tergantikan oleh momen-momen realitas. Dalam bait pertama momen realitas itu diwakili lewat penggambaran keadaan alam di Banyumas.

“Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?/ Ada banyak keasyikan duniawi di sini/ Hawanya menyejukkan, mata memandang/ Panorama kehijauan masih banyak di jumpa/…” 

Pencarian tak berujung 
Apa yang diungkap dalam bait pertama itu, hanya merupakan peristiwa permukaan yang mudah ditangkap oleh mata, hanya semacam pengantar yang ingin memberitahukan bahwa aku lirik mengenali keadaan kota yang ia bicarakan. Di dalam bait-bait berikutnya, momen-momen realitas diringkas sedemikian rupa dengan cara menyatakan kekhasan-kekhasan Banyumas; entah itu produk budaya atau individu yang dikenalnya. Sembari terus mengulang pertanyaan tentang kedirian aku lirik mulai melakukan semacam upaya pencarian dengan memfungsikan penglihatan batin. Dalam bait dua Abdul Wachid B.S menulis:

“Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?/ Ada soto atau getuk goreng Sokaraja/ Lukisan-lukisan panorama tempo doeloe, begitu syahdu/ Sajak Arif Hidayat dengan metafora segar di luar/ atau kedalaman Heru Kurniawan yang kuselami bagai lagu/ atau Mas,ut si peziarah yang kabarkan di mana terakhir/ Bertemu Kekasihku”.

Soto, getuk goreng atau lukisan panorama, secara umum memang dikenal akrab oleh masyarakat Banyumas. Tetapi, tiga orang yang disebut dalam puisi “Purwokerto-Sokaraja” belum tentu dikenal oleh seluruh masyarakat Banyumas. Berarti, dapat ditarik asumsi bahwa tiga orang itu memiliki kedekatan batin dengan aku lirik. Tetapi, tiga orang itu mendapat cara pandang yang berbeda di matanya; bila Arif Hidayat dan Heru Kurniawan dipandang berdasar identitasnya: Penyair. Mas,ut dipandang sebagai orang yang dapat mengkorespondensikan dengan sosok kunci menuju penemuan kedirian, yaitu Kekasihku .

Tapi, siapakah yang dimaksud dengan Kekasihku itu? Jika dikait-kaitkan, Jacques Lacan akan menjawab pertanyaan itu sebagai “Yang Real”, dimana orang-orang sufi konon menyebutnya sebagai Tuhan, Tao, atau Brahman. 

Tetapi Konsep “Yang Real” dari lacan berseberangan dengan itu semua, sebab “Yang Real” dimaknai oleh Lacan sebagai sesuatu yang bergentayangan di luar realitas simbolik, suatu pengalaman yang janggal sekaligus tak ternamakan yang pada akhirnya seringkali dijumpai dalam bentuk bahaya. Dan saya kira apa yang diyakini Lacan senada dengan apa yang diungkapkan Abdul Wachid B.S dalam bait tiga.

“Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?/ Sepertinya kuyakin dia masih datang dan pergi di sini/ atau keluar masuk di antara rak-rak buku/ Di antara nisan makam Syekh Makdum ali/ Atau di puncak Walang Sanga yang entah di mana terakhir/ Bertemu Kekasihku”.

Dalam bait ketiga itu, jelas terlihat pada kita bahwa pencarian jawaban kedirian tetap tidak berujung, sebab sang Kekasih sebagai kunci penemuan berada di posisi liminal —posisi yang tidak pasti— karena tidak berada “di sini” dan tidak pula “di sana” (betwixt and between). Timbulnya rasa lupa yang membuat posisi sang Kekasih mengalami liminalitas: “datang dan pergi”, “keluar masuk”, ”di antara”. Mestinya, lupa berpontensi pula memberi kesempatan baru untuk mencari kejelasan posisi yang pasti, sebab menyimpan jeda waktu yang dapat digunakan untuk mempertajam dan memantapkan keyakinan: "Sepertinya kuyakin dia masih datang dan pergi di sini"(Bold, aar). Tetapi, kehadiran lupa tak difungsikan semacam itu sehingga pada akhirnya semakin menyudutkan aku lirik dalam kegamangan: “Atau di puncak walang sanga yang entah di mana terakhir Bertemu Kekasihku". 

Problem-problem dari lupa tersebut, kemudian mengantarkan aku lirik pada sebuah kepasrahan yang berbalut keinginan untuk menyandarkan pencarian kedirian lewat unsur eksternal; orang di luar kediriannya yang dipercaya dapat memberikan jawaban pasti tentang letak Sang Kekasih. Hal ini tampak jelas dalam bait empat.

“Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?/ Ingin banget kutanya kepada Habib Abdul Hamid sokaraja/ Tapi sudah lama di tak mau lagi berbahasa kata/ Kecuali senyumannya lebih meyakinkan sapa/ Adanya kasih sayang dan cinta/ Padahal sekali itu saja dia berkata di mana terakhir/ Bertemu Kekasihku”.

Sesungguhnya, apa yang dipaparkan dalam bait keempat telah menjawab letak sang Kekasih. Karena sesungguhnya, laku orang yang dipercaya —Habib Abdul Hamid Sokaraja— mengindasikan penemuan itu, yaitu, sosok yang telah kembali pada kondisi asali pra-imajiner dan pra-simbolik —tak mau lagi berbahasa kata, kecuali senyumannya lebih meyakinkan sapa tentang adanya kasih sayang dan cinta. Lalu, apakah aku lirik sendiri telah berhasil menemukan Kekasih? Jawabnya: Tidak. Karena aku lirik hanya sekadar mengangkat “Yang Real” sebagai fenomena belum memaknai ataupun membelah “Yang Real” menjadi nomena.

Ambiguitas 
Ambiguitas kedirian, itulah kesan terakhir yang saya dapatkan ketika menelaah identitas aku lirik dalam puisi “Purwokerto-Sokaraja”. Hal itu terjadi, disebabkan oleh tiga pokok permasalahan: (a) “Yang Real” berada dalam posisi liminal, (b) upaya pencarian kedirian terlalu bersandar pada faktor eksternal; keadaan atau pun sosok di luar diri aku lirik, (c) aku lirik terjebak pada daya pikat Banyumas —alam-individu-produk budaya— sehingga gagal untuk memposisikan diri berjarak dengan fenomena-fenomena yang ada di Banyumas. Tiga pokok permasalahan ini tanpa disadari akhirnya mengancam padamkan nalar, sehingga refleksi kritis terhadap pengalaman untuk kemudian dirangkai secara sistematis tak hadir dalam puisi. 

Jika puisi itu diletakkan sebagai bagian dari autobiografi Abdul Wachid B.S. (semacam sublimasi misalnya), maka puisi itu memperlihatkan dampak dari perjalanan bolak-balik seseorang dari dua medan budaya —Jogja dan Banyumas. Dampak itu berupa identifikasi psikologi yang acapkali dipahami bahwa manusia yang seringkali berada di antara peralihan medan budaya yang berlainan berpotensi untuk menganggap kediriannya seakan sebuah proses yang tak berujung dan tanpa solusi akhir, yang berarti pula bersiap diri untuk terus menerus dalam “pencarian” bahkan mengalami ambiguitas kedirian. 

Seharusnya, ambiguitas kedirian Abdul Wachid B.S. di Banyumas memang tak perlu terjadi. Asal, Abdul Wachid B.S dapat melakukan upaya kritis; minimal semacam yang ia tulis tentang kota Jogja dalam puisi “Sebuah Kota” (dalam Sembilu. Yogyakarta Festival Kesenian Yogyakarta 91, 1991, hlm. 12-13): ”Apa yang kau pikirkan tentang kota tua ini? Ialah nisan jiwa, ialah berhala, ialah pohon yang ditegakkan di kepulauan jantungmu yang pasar…

”Ulasan puisi ini pernah di sampaikan dalam "Malam Puisi" yang diadakan oleh Beranda Budaya pada bulan April 2009 di Auditorium Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Dihadiri pula oleh Abdul Wachid B.S. untuk membaca beberapa puisi-puisinya. Di siar ulang di catatan facebook 14-September-2009.

Lokalitas Karakter Bawor

Lokalitas Karakter Bawor 
Oleh Teguh Trianton


Dalam berbagai kontestasi tentang budaya dan karakter wong Banyumas, tokoh Bawor selalu mendapatkan porsi berlebihan. Bawor yang sesungguhnya hanya tokoh ilusi (fiktif), diagung-agungkan sedemikian rupa melampaui realitas yang sebenanarnya. Dengan nalar otak-atik-gatuk, Bawor menduduki tahta puncak, dinobatkan sebagai lambang supremasi karakter wong Banyumas.

Entah siapa yang memulai, sehingga Saya pun pernah latah –ikut-ikutan- memuja Bawor sebagai sublimasi karakter masyarakat Banyumas. Bawor dengan serta merta disepekati sebagai ikon kebanyumasan. Bahkan ikonisitas Bawor justru melampaui tokoh-tokoh epik Banyumas yang nyata ada.

Tulisan ini Saya maksudkan sebagai auto-kritik, koreksi nalar, dan wacana terbuka tentang mitos Bawor sebagai ikon budaya lokal Banyumas.


Asal
Jika dilihat dari asal-usulnya, tokoh Bawor ternyata tidak memiliki hubungan historis dengan masyarakat Banyumas. Asal-usul Bawor tidak jelas. Bawor hanyalah tokoh imajiner atau rekaan dalam kancah pakeliran gagrag Banyumasan.

Secara fisik, tokoh Bawor justru memiliki kemiripan atau identik dengan tokoh rekaan dalam dunia pakeliran di daearah lain. Dalam pakeliran wayang kulit gaya Surakarta-Yogyakarta terdapat tokoh yang secara fisik serupa yang dinamai Bagong. Bagong adalah anak bungsu Kyai Lurah Semar. Kemudian jagat pekeliran di tanah Pasundan (Jawa Barat) terdapat tokoh Cepot atau Kacepot.

Di daerah-daerah tersebut, bentuk fisik tokoh ini juga diartikulasikan sebagai simbolisasi karakter penduduk setempat. Dengan demikian, karakter Bawor sama dengan Bagong, dan Cepot. Artinya karakter wong Banyumas, Sunda dan Surakarta tidak ada bedanya.

Dengan demikian secara subtantif tak ada lagi lokalitas. Bawor sama sekali tidak mewakili karakter lokal Banyumas. Kecuali pada ranah nama atau penyebutan identitas tokoh Bawor yang kemudian lazim disebut Carub Bawor. 

Nah, dari sini Saya menjadi ragu dengan lokalitas karakter Bawor yang diidentikan dengan karakter wong Banyuma. Terlihat sangat aneh, tokoh hasil rekaan dijadikan sebuah ikon entitas masyarakat budaya yang begitu besar. Sementara tokoh-tokoh epik yang memiliki hubungan sejarah dengan akar budaya dan asal-usul terbentuknya entitas Banyumas tidak dijadikan ikon.

Bukankah Banyumas memiliki banyak tokoh-tokoh epik, yang lokalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Raden Joko Kahiman misalnya, atau Jebug Kusuma, Adipati Pasir Luhur dan lain-lain. Atau tokoh terkini seperti Wirya Atmaja, Gatot Subroto hingga Jendral Sudirman.

Kerancuan 
Dipilihnya Bawor sebagai ikon karakter masyarakat Banyumas menunjukan telah terjadi dua kerancuan dalam bernalar. Kerancuan pertama terjadi pada ranah lokalitas. Bawor adalah tokoh dari dunia rekaan. Keberadaan Bawor memiliki intertektualitas sekaligus varian dengan tokoh Cepot dan Bagong, serta beberapa tokoh rekaan dunia pewayangan di daerah lain.

Memilih Bawor sebagai ikon masyarakat Banyumas merupakan kesalahan bernalar. Secara fisik dan karakter yang dicitrakan, ternyata tak ada yang istimewa bagi masyarakat Banyumas. Bawor kehilangan lokalitasnya tatkala harus bersanding dengan dua tokoh lainnya yaitu Bagong dan Cepot.

Kerancuan nalar kedua terjadi pada wilayah pemaknaan dan apresiasi kedirian Bawor. Menurut cerita gotek (tradisi lisan), keberadaan tokoh Bawor di dunia bukan dilahirkan melainkan diciptakan. Bawor merupakan bayangan Sanghyang Ismaya yang turun ke dunia dan menjelma menjadi Semar.

Bawor adalah bayangan Ki Lurah Semar. Bawor diciptakan sebagai teman bagi Semar. Eksistensi Semar sendiri adalah dewa, sehingga Bawor sebagai bayangannya juga merupakan Dewa. Bawor kemudian diakui sebagai anak tertua dari tokoh Semar. Anak kedua dan ketiga adalah Nala Gareng dan Petruk.

Namun dalam masyarakat Banyumas, eksistensi Bawor sebagai bayangan dewa –Semar- lenyap begitu saja. Citra yang melekat pada Bawor justru citra negative. Bawor sebagai simbol kebodohan, kejelataan, nir-etika, suka berbicara kasar dan lain-lain. Padahal –sekali lagi- Bawor adalah –bayangan- dewa.


Kudi
Kemunculan Bawor dalam pentas pakeliran gragag Banyumasan selalu dilengkapi dengan senjata pengandel berupa Kudi. Kudi adalah senjata tradisional khas Banyumas. Pamor Kudi terdiri dari dua bagian yang menyatu. Pamor bagian pangkal berbentuk bulatan, sedangkan pada bagian ujung berbentuk datar dengan ujung landai dan sedikit meruncing. Jika senjata ini dihunus maka akan membentuk lekuk mirip wanita hamil dalam perspektif samping.

Kudi telah jadi bagian dari hidup Bawor, dan masyarakat Banyumas. Namun dalam perjalanan menuju ikon Banyumas, Kudi tak pernah menduduki tempat terhormat sebagai pusaka kebesaran Banyumas yang wajib dijamas dalam periode tertentu.

Nasib Kudi juga tak semujur Gada Rujak Polo, senjata Raden Werkudara yang jadi bagian logo Kabupaten Banyumas. Werkudara juga tokoh ilusi dunia pewayangan. Seperti Bawor, tokoh bergelar Raden ini juga memiliki sifat jujur dan cablaka yang juga merupakan sifat orang Banyumas. 

Bedanya, Werkudara menjadi simbol kebangsawanan karena berasal dari kerajaan, sedang Bawor menjadi simbol kejelataan karena direka-reka menjadi rakyat. Pada Kudi juga telah terjadi kerancuan nalar.

Jika ditarik garis horizontal, maka keberadaan Kudi dihadapan Gada Rujak Polo berada pada posisi yang sejajar. Namun ternyata Gada yang tidak memiliki kedekatan dengan masyarakat Banyumas terlanjur dipilih sebagai bagian dari lambang pemerintah daerah setempat.
Semoga ketidak-jelasan konsep tentang identitas lokal kebanyumasan ini tidak menjadi sebab lunturnya karakter asli wong Banyumas. 

Sumber : Radar Banyumas, Minggu 13 September 2009

Teguh Trianton,
aktif di Beranda Budaya (Banyumas)