Sokaraja mBigar dalam Estimasi Seni dan Budaya
Oleh ARIF HIDAYAT
Dalam pamlet, yang tertempel di dinding, saya membaca “Pagelaran akhir tahun yang bertajuk “Sokaraja Mbigar” merupakan serentetan gerakan kultural untuk berbagi kegembiraan dan kesenangan meski gerakan kultural masyarakat yang saat ini masih trus melemah dan menipis. Sokaraja sebagai jalur transportasi dari beberapa kota besar mempunyai rupa yang khas. Lukisan pemandangan yang banyak diproduksi di daerah ini. Pada era 70-80an karya rupa tersebut banyak dijumpai disepanjang ruas jalan raya Sokaraja, namun hampir dua dasa warsa karya rupa tersebut banyak dicari orang.”
***
Saya penasaran dengan pamlet tersebut. Saya teringat Rendra pada tahun 1984, di New York, tepatnya di Manhattan, Lorong Broadway. Di sana, Rendra sangat penasaran dengan pertunjukan-pertunjukannya, baik sandiwara, drama, lukis, rupa, film-filmnya. Di tempat inilah sejumlah seniman di Amerika berkumpul mengeluarkan ideologi berkesenian, sambil memantapkan namanya. Selain itu, Broadway menjadi eksperimentasi dan pembaruan bagi seni.
***
Dari pamlet tersebut, saya membayangkan sebuah ruangan “bisa saja”, yang akan disulap menjadi “luar biasa”. Dan saya akan menemukan banyak pengalaman mengenai bagaimana lukis dan rupa ideologi (khas) Sokaraja, pertunjukan-pertunjukan khas Banyumas, film pendeknya, musik, bahkan pengetahuan mengenai seni budaya Banyumas lewat diskusi, yang tentunya ada di Sokaraja Mbigar.
Sebuah acara yang “langka” menurut saya karena hal-hal yang berkaitan dengan seni dan budaya tersaji dengan lengkap.
Memang, apabila melihat pada porsi Sokaraja yang secara historis telah eksis berkesenian lama, maka sampai saat ini sesungguhnya sangatlah minim sekali mengenai pagelaran lukis dan rupa, ataupun agenda-agenda budaya lainnya. Bahkan di Indonesia, hanya gedung sekaliber Salihara milik Goenawan Mohamad dkk, (Komunitas Utan Kayu) yang sekarang ini rutin menggelar agenda-agenda budaya. Bahkan, Gedung Salihara tersebut, tidak mampu berdiri sendiri karena di balik itu ada sumbangan dari luar negeri.
***
Indonesia sebagai negera yang berbudaya, pada eksistensinya, justru tidak mampu mempertahankan budaya itu dengan baik. Indonesia justru sibuk dengan politiknya, yang berkutat ini dan itu saja. Dalam kesibukan itulah, Indonesia baru geger manakala budaya aslinya diklaim oleh negera tetangga, Malyasia, semisal Batik, Reog Ponorogo, dan banyak lainnya. Di sinilah kesalahannya, seni dan budaya menjadi “anak tiri” sehingga terluapakan, dan ketika anak tiri itu akan diasuh oleh orang lain barulah kegemparan itu muncul di mana-mana, ribut masalah hak paten. Tapi, ini adalah peristiwa kemarin dan kita perlu belajar banyak akan hal itu.
***
Saya rasa, pelukis dan perupa di Sokaraja juga mengalami hal demikian. Minimnya agenda budaya itulah, yang membuat para pelukis dan perupa Sokaraja untuk menggelar Sokaraja Mbigar dari 24 Desember 2009 s.d 02 Januari 2010, di Pendopo Kecamatan Sokaraja. Sejumlah praktisi budaya dan seni, semisal Ahmad Tohari, dan penggat seni dari Unsoed, Unwiku, UMP, Indokom, serta tamu dari Pemalang dan Purbalingga juga menghadiri acara tersebut.
Hanya saja acara ini masih minim dari sentuhan masyarakat umum secara luas, hanya warga sekitar Pendopo Kecamatan Sokaraja, yakni dari Sokaraja Lor, Sokaraja Kidul, dan Sokaraja Wetan. Di sinilah, yang kadang terlupakan oleh kita, bahwa seni dan budaya adalah realitas. Jadi, alangkah baiknya karya (seni ) jangan ada distansi ataupun sengaja membuat dan membentuk artikulasi dengan realitas.
***
Dan saya berharap, Sokaraja Mbigar bukanlah suatu kegelisahan semata karena terusik oleh sesuatu, seperti yang tertempel di pamlet. “Mbigar” dalam artian saya adalah lari yang sangat cepat dari kuda atau kerbau karena eksistensinya (baca; ketenangannya) terusik oleh sesuatu. Namun, Sokaraja Mbigar merupakan suatu ideologi seperti yang telah terjadi di New York, tepatnya di Manhattan, Lorong Broadway. Di mana, seni dan budaya mendapatkan porsi sebagai anak zaman yang diakui dan dipelihara, serta sebagai eksperimentasi dan pembaruan kreativitas. Dari sinilah, pada nantinya, sepanjang jalan Sokaraja menjadi diwarnai oleh kreativitas seni yang luar biasa. ***
Biodata Penulis
ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Alumnus dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini, tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, dan Suara Karya. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar, Pendapa 5: Temu Penyair Antar Kota, Anak-anak Peti, dan Catatan Perjalanan. Dia kini bergiat di Komunitas Beranda Budaya. Tampat tinggalnya di Desa Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: dayat_pr@yahoo.com.