Senin, Januari 11, 2010

Sokaraja mBigar itu

Sokaraja mBigar dalam Estimasi Seni dan Budaya

Oleh ARIF HIDAYAT

Dalam pamlet, yang tertempel di dinding, saya membaca “Pagelaran akhir tahun yang bertajuk “Sokaraja Mbigar” merupakan serentetan gerakan kultural untuk berbagi kegembiraan dan kesenangan meski gerakan kultural masyarakat yang saat ini masih trus melemah dan menipis. Sokaraja sebagai jalur transportasi dari beberapa kota besar mempunyai rupa yang khas. Lukisan pemandangan yang banyak diproduksi di daerah ini. Pada era 70-80an karya rupa tersebut banyak dijumpai disepanjang ruas jalan raya Sokaraja, namun hampir dua dasa warsa karya rupa tersebut banyak dicari orang.

***

Saya penasaran dengan pamlet tersebut. Saya teringat Rendra pada tahun 1984, di New York, tepatnya di Manhattan, Lorong Broadway. Di sana, Rendra sangat penasaran dengan pertunjukan-pertunjukannya, baik sandiwara, drama, lukis, rupa, film-filmnya. Di tempat inilah sejumlah seniman di Amerika berkumpul mengeluarkan ideologi berkesenian, sambil memantapkan namanya. Selain itu, Broadway menjadi eksperimentasi dan pembaruan bagi seni.

***

Dari pamlet tersebut, saya membayangkan sebuah ruangan “bisa saja”, yang akan disulap menjadi “luar biasa”. Dan saya akan menemukan banyak pengalaman mengenai bagaimana lukis dan rupa ideologi (khas) Sokaraja, pertunjukan-pertunjukan khas Banyumas, film pendeknya, musik, bahkan pengetahuan mengenai seni budaya Banyumas lewat diskusi, yang tentunya ada di Sokaraja Mbigar.

Sebuah acara yang “langka” menurut saya karena hal-hal yang berkaitan dengan seni dan budaya tersaji dengan lengkap.

Memang, apabila melihat pada porsi Sokaraja yang secara historis telah eksis berkesenian lama, maka sampai saat ini sesungguhnya sangatlah minim sekali mengenai pagelaran lukis dan rupa, ataupun agenda-agenda budaya lainnya. Bahkan di Indonesia, hanya gedung sekaliber Salihara milik Goenawan Mohamad dkk, (Komunitas Utan Kayu) yang sekarang ini rutin menggelar agenda-agenda budaya. Bahkan, Gedung Salihara tersebut, tidak mampu berdiri sendiri karena di balik itu ada sumbangan dari luar negeri.

***

Indonesia sebagai negera yang berbudaya, pada eksistensinya, justru tidak mampu mempertahankan budaya itu dengan baik. Indonesia justru sibuk dengan politiknya, yang berkutat ini dan itu saja. Dalam kesibukan itulah, Indonesia baru geger manakala budaya aslinya diklaim oleh negera tetangga, Malyasia, semisal Batik, Reog Ponorogo, dan banyak lainnya. Di sinilah kesalahannya, seni dan budaya menjadi “anak tiri” sehingga terluapakan, dan ketika anak tiri itu akan diasuh oleh orang lain barulah kegemparan itu muncul di mana-mana, ribut masalah hak paten. Tapi, ini adalah peristiwa kemarin dan kita perlu belajar banyak akan hal itu.  

***

Saya rasa, pelukis dan perupa di Sokaraja juga mengalami hal demikian. Minimnya agenda budaya itulah, yang membuat para pelukis dan perupa Sokaraja untuk menggelar Sokaraja Mbigar dari 24 Desember 2009 s.d 02 Januari 2010, di Pendopo Kecamatan Sokaraja. Sejumlah praktisi budaya dan seni, semisal Ahmad Tohari, dan penggat seni dari Unsoed, Unwiku, UMP, Indokom, serta tamu dari Pemalang dan Purbalingga juga menghadiri acara tersebut.

Hanya saja acara ini masih minim dari sentuhan masyarakat umum secara luas, hanya warga sekitar Pendopo Kecamatan Sokaraja, yakni dari Sokaraja Lor, Sokaraja Kidul, dan Sokaraja Wetan. Di sinilah, yang kadang terlupakan oleh kita, bahwa seni dan budaya adalah realitas. Jadi, alangkah baiknya karya (seni ) jangan ada distansi ataupun sengaja membuat dan membentuk artikulasi dengan realitas.

***

Dan saya berharap, Sokaraja Mbigar bukanlah suatu kegelisahan semata karena terusik oleh sesuatu, seperti yang tertempel di pamlet. “Mbigar” dalam artian saya adalah lari yang sangat cepat dari kuda atau kerbau karena eksistensinya (baca; ketenangannya) terusik oleh sesuatu. Namun, Sokaraja Mbigar merupakan suatu ideologi seperti yang telah terjadi di New York, tepatnya di Manhattan, Lorong Broadway. Di mana, seni dan budaya mendapatkan porsi sebagai anak zaman yang diakui dan dipelihara, serta sebagai eksperimentasi dan pembaruan kreativitas. Dari sinilah, pada nantinya, sepanjang jalan Sokaraja  menjadi diwarnai oleh kreativitas seni yang luar biasa. ***

Biodata Penulis

ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Alumnus dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini, tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, dan Suara Karya. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar, Pendapa 5: Temu Penyair Antar Kota, Anak-anak Peti, dan Catatan Perjalanan. Dia kini bergiat di Komunitas Beranda Budaya. Tampat tinggalnya di Desa Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: dayat_pr@yahoo.com.

 

Kamis, Januari 07, 2010

Catatan Budaya

Kroya yang Mendekatkan Diri pada Sastra

Oleh Abdul Aziz Rasjid

Sastra di Indonesia masih lamban untuk menempatkan diri pada posisi kunci tetapi mengesankan ada pengambilan peran sebagai medium penyadaran alias medium meladeni krisis. Optimisme atas sastra mesti disemaikan sebelum krisis besar melahap sastra lalu melahirkan krisis sastra tanpa ada juru selamat dan jalan penyelamatan.

Kesan seperti itu, dengan sangat lugas, ditulis oleh Bandung Mawardi dalam esainya yang bertajuk Sastra Meladeni Krisis: Kemungkinan dan Ketidakmungkinan dalam sarasehan sastra bertajuk "Perjuangan Sastra Melawan Krisis" di Kroya, 11 Oktober 2009. Ketika sastra diyakini tak bisa lepas dari realita sejarah suatu bangsa atau lingkungannya, sastra dipahami bukan sekadar pandangan yang hadir dengan sifat spekulasi, tetapi lahir dari sikap kritis, analisis, dan imajinatif di mana pendekatan yang digunakan tentulah dengan memilih fakta-fakta mana yang paling plastis untuk menggambarkan situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi, maupun kultural yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita di masa kini.

Pada saat itulah, sastra sebenarnya menyimpan harapan untuk melahirkan pembaca dan penulis sastra yang sadar bahwa sastra adalah bagian dari politik wacana. Politik wacana yang dapat ditangkap dalam uraian Triyanto Triwikromo ketika menjelaskan muatan-muatan yang dibawa novel Bilangan Fu karya Ayu Utami secara samar-samar menjelaskan pula tentang pentingnya hubungan produksi dan konsumsi sastra yang seharusnya berpegang pada prinsip keseimbangan supply-demand. Akan tetapi, hal itu lantas berubah jadi keresahan ketika perbincangan beralih pada sekolah (sistem pendidikan) yang semestinya berpeluang menjadi jembatan keseimbangan antara produksi dan konsumsi sastra dipandang gagal untuk mengubah citra bahwa mengonsumsi sastra bukan sekadar untuk kesenangan atau hiburan semata bagi siswa. Namun, sastra semestinya memiliki potensi menjadi wadah yang menampung konsep moral sosial dalam konteks kehidupan dewasa ini.

Pembelajaran sastra

Susi Widayati, Pengawas Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cilacap, yang dalam sarasehan itu membicarakan tentang strategi pembelajaran sastra di sekolah mengurai perkaranya melalui diberlakukannya Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi hingga diserahkan ke masing-masing satuan pendidikan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Materi pelajaran apresiasi sastra yang tidak lagi muncul secara eksplisit sebagai materi tersendiri di era KTSP namun melekat pada standar kompetensi keempat aspek ketrampilan berbahasa menjadi rawan terabaikan bila guru tidak mencermati pemetaan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta variasi sumber bahan yang digunakan.

Lalu, guru sebagai ujung tombak untuk mengantarkan siswa agar lebih mengenal, memahami, dan mampu mengapresiasi sastra dituntut lebih luas pemahamannya, pengetahuannya, dan referensinya tentang sastra. Bila guru tak memenuhi syarat itu, tentu akan membuat guru enggan memilih salah satu wacananya dari materi sastra.

Dalam keadaan krisis pada wilayah produksi dan konsumsi sastra itulah, Kroya seakan memantapkan diri sebagai daerah yang mendekatkan diri pada sastra untuk mengurai gejolak sosial lingkungannya, bukan dalam kaitan fenomena yang hadir dari kepentingan birokrasi daerah sebagai kinerja politik untuk kemudian mencoba menanamkan investasi nilai pada sastra atau sebaliknya. Akan tetapi, upaya yang lahir dari komunitas bernama Tjlatjapan Poetry Forum (TPF) yang dirodai beberapa pegiat sastra di Cilacap semisal Badruddin Emce, Irfan Zaki Ibrahim, Faisal Komandobat, Insan Indah Pribadi, dan Imam Antassalam yang memusatkan kegiatannya di Kroya dengan mencoba lewat dana mandiri menyemaikan sastra dalam upaya meladeni krisis sastra yang secara geografis sering kali diperbincangkan sedang melanda di wilayah Karesidenan Banyumas.

Keseriusan TPF pada praktiknya bukan hanya mewujud dalam bentuk pertemuan-pertemuan sastra semacam sarasehan "Perjuangan Sastra Melawan Krisis" yang mencoba mendekatkan diri pada realita sosial untuk mengangkat isu dalam hubungannya dengan perkembangan sastra di Indonesia. Namun, secara rutin pula memproduksi terbitan berkala yang bertajuk buletin Cangkir sebagai usaha mentransmisikan pesan atau wacana yang penting bagi masyarakat dan daerah Banyumas khususnya lewat sastra. Sasaran terbitan ini memasuki wilayah sekolah yang jelas dapat membantu menyebarkan pengaruh bagi siswa untuk menulis, mengambil referensi, sebagai pemacu semangat dalam proses kreatif penulisan sastra dan sekaligus membantu guru untuk mempermudah akses pengonsumsian pengkajian sastra pada siswa. Di sisi lain juga terdapat kerja cultural dari TPF dengan membuka kafe buku yang merupakan fasilitas bagi warga Kroya agar lebih mudah membaca karya sastra.

Saya kira, melihat praktik kerja TPF yang berada di Kroya itu, TPF dapat dijadikan sebuah misal tentang ruang alternatif produksi sastra yang digarap dengan ketelatenan, keseriusan, dan pemaksimalan peluang-peluang pemasaran (konsumsi) yang menyiasati dengan cerdik agar karya sastra dikenal lantas dapat dimaknai oleh masyarakat. Tentu saja suatu bentuk optimisme yang menaruh percaya bahwa sastra mesti disemaikan di wilayah semacam Banyumas yang sering kali diperbincangkan sedang mengalami krisis sastra. Dari kesadaran atas krisis itulah, kegiatan-kegiatannya TPF di Kroya sudah memulai dirinya sebagai "tindakan" langsung ketika Purwokerto sebagai pusat Karesidenan Banyumas masih gagap untuk dapat meletakkan sastra sebagai medium penyadaran. Akhirnya, manakah yang lebih maksimal untuk mengembangkan sastra di wilayah Karesidenan Banyumas saat ini, sekadar berharap atau bertindak langsung semacam TPF yang memulai mendekatkan Kroya pada sastra?

***

Disiar pertama kali di KOMPAS (FORUM JAWA TENGAH), Senin, 26 Oktober 2009.

Esai

KISAH BUKU LOAK

Oleh Abdul Aziz Rasjid

Pada suatu hari, Miquel de Cervantes menemukan sebuah buku berjudul Sejarah Don Quixote dari la Mancha di sebuah toko buku loak. Buku itu ditulis sejarawan Arab bernama Cid Hamet Benengelli dalam bahasa Arab. Karena tak paham bahasa Arab, Cervantes meminta bantuan seorang Moor untuk menerjemahkan naskah kuno itu ke bahasa Spanyol. Dan, buku yang telah diterjemahkan itu kemudian dia tulis kembali dengan judul Petualangan Don Quixote. Singkat cerita, kehadiran buku itu memberikan corak baru dalam sejarah sastra dunia. Inti temanya yang membicarakan kegilaan yang bangkit dari gugusan imajinasi terus terdengar pengaruhnya, misalnya dalam novel Perjalanan ke Timur (1932) karya Herman Hesse yang terbit berabad-abad kemudian.

Pada suatu hari yang lain, Osman -seorang mahasiswa teknik sipil Turki- membeli sebuah buku di toko buku loak. Buku itu tergeletak di antara jajaran buku-buku tua, pamflet-pamflet kuno, buku novel cinta, berjilid-jilid puisi, dan ramalan. Disebabkan membaca buku itu, seluruh hidup Osman pun lantas berubah; dia terpengaruh oleh gagasan tentang malaikat yang terurai dalam buku itu sehingga terobsesi untuk mencari makna-makna misterius yang terkandung dalam buku itu. Sampai-sampai, Osman mengambil pilihan untuk menelantarkan studinya demi memecahkan kemisteriusan yang terkandung dalam buku itu.

Barangkali Cid Hamet Benengelli dan Osman hanyalah seorang tokoh fiktif. Barangkali pula tak sepenuhnya demikian. Nama Cid Hamet Benengelli disebut oleh Cervantes ketika dia mengaku bahwa Don Quixote de la Mancha (volume II, 1615) bukanlah karangan sendiri. Sedangkan Osman ditampilkan Orhan Pamuk dalam novelnya yang berjudul Yeni Hayat atau The New Life. Menengok pada kehidupan Pamuk secara pribadi, dari usia 18 tahun, dia seminggu sekali terbiasa pergi ke Sahalfar, pasar buku-buku tua di Beyazit. Di sana dia akan masuk ke sebuah toko buku yang menjual buku-buku bekas, menyisir semua rak, mem­balik-balik buku, membeli buku dengan ke­yakinan bahwa tentu setidaknya ada sedikit Tur­ki di dalam buku-buku itu. Ketelatenan dan keasyikan Pamuk untuk menemukan Turki di balik buku-buku itu setidaknya menjadi inves­tasi yang mumpuni di kemudian hari bagi pro­fesinya sebagai seorang penulis yang me­ngan­­tarnya meraih penghargaan Nobel Sastra 2006.

Di luar sisi realitas maupun imajiner yang mengiringi kisah dua buku itu, bila kita khidmati lebih lanjut, dua kisah dalam buku itu menyampaikan suatu misal yang memaparkan beberapa hal: tentang penulis yang ditilap dan dimenangkan sejarah, tentang pengaruh tiap-tiap buku yang memiliki kesan tersendiri bagi pembacanya. Singkatnya, sebuah narasi tentang takdir buku sebelum dan setelah dibaca.

Dari misal itulah, kita menjadi tahu, buku-buku dalam toko buku loak -yang acapkali berada dalam lokasi pinggiran/terpinggirkan, ditumpuk bercampur baur dan tanpa disusun dengan pelabelan semacam buku best seller atau buku terbaru- tak berarti ikut terpinggirkan dan berkurang potensinya untuk tetap menyuarakan upaya-upaya dari sikap kritis dan dialogis penulis. Malah, tiap calon pembaca memiliki kebebasan untuk menyeleksi, memilah sebelum memilih buku yang akan dibacanya berdasar kebutuhan dirinya di luar pengaruh dari penandaan akibat pelabelan yang acapkali menilapkan potensi sebuah buku. Belum lagi, transaksi penawaran yang luwes dapat menjadi modal serta bekal utama calon pembaca untuk mendapatkan buku dengan harga yang murah.

Pola transaksi buku seperti dalam toko buku loak itu saya kira penting untuk tetap ada. Mengingat, tak banyak usaha di negeri ini yang berkaitan dengan produksi dan penyebaran buku didukung oleh dana-dana publik. Bahkan, kondisi perpustakaan kota atau perpustakaan universitas yang tersebar di berbagai daerah sering tak dapat dianggap layak dan desa seakan diabaikan sebagai ruang menyimpan bacaan. Buku di toko loak itu, dalam kaitannya dengan keadaan perbukuan dewasa ini, menjadi patut untuk diperhatikan dalam upaya menumbuhkan tradisi membaca. Sebab, dalam ruang produksi buku yang telah terkapitalisasi, kita tahu bahwa tidak semua golongan/lapisan masyarakat punya kesempatan yang sama untuk dapat membaca. Maka, dapat ditarik asumsi sederhana bahwa dalam dunia perbukuan dewasa ini sudah sejak dini terdapat semacam proses seleksi sosial.

Dalam kondisi seperti itu, buku yang menyimpan sebuah realitas sejarah yang tentu memuat gambaran kondisi sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan sebuah bangsa serta memuat upaya penulis untuk melibatkan aktualisasi kognitifnya terhadap masalah-masalah sosialnya, cita-cita dan perjuangannya, dan meletakkan nasib sendiri sebagai bagian dari nasib besar masyarakat pada sebuah masa menjadi rawan untuk tak terbaca. Oleh sebab itu, kisah dua buku yang tergeletak di toko buku loak itu patut untuk kita khidmati kembali. Setidaknya keduanya telah menjadi bukti yang sahih untuk menyatakan bahwa di balik buku akan selalu tersimpan sebuah jendela bagi kita untuk melihat, mengenal, dan menelaah sebuah dunia dari suatu masa. Buku-buku yang tergeletak di toko buku loak -seusang apa pun dan ditumpuk-tumpuk semacam apa pun- tetap menyimpan potensi untuk mewartakan kepada kita bahwa buku dan dunia selalu dalam proses menjadi dan mungkin tak kunjung usai yang jejaknya acapkali kita pelajari sebagai mozaik sejarah yang penting untuk dibaca.

***

Disiar pertama kali di Jawa Pos, Minggu 18 Oktober 2009.