Senin, September 14, 2009

Apresiasi atas Puisi Abdul Wachid BS

Ambiguitas Kedirian Abdul Wachid B.S. di Banyumas
Oleh Abdul Aziz Rasjid


Pada lembar Cakrawala, Minggu Pagi no 37 TH 61 Minggu II Desember 2008, termuat sebuah puisi dari penyair Abdul Wachid B.S. berjudul “Purwokerto-Sokaraja”. Dari judul itu, kita dapat melayangkan dugaan bahwa sang penyair hendak bercerita tentang dua daerah yang terletak di Banyumas. Dugaan awal itu memang tidak salah, sebab lewat puisi “Purwokerto-Sokaraja”, Abdul Wachid B.S. —lahir di desa Bluluk, Lamongan 7 Oktober 1966 dan menjadi dosen negeri di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto sekaligus dosen tamu di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) sejak tahun 1997-sekarang— yang hampir setiap minggu melakukan perjalanan bolak balik antara Jogja dan Banyumas memaparkan pengalaman-pengalamannya ketika berada di Banyumas.

Di dalam puisi “Purwokerto-Sokaraja”, Abdul Wachid B.S. selalu mengawali empat bait puisinya dengan melontarkan pertanyaan tentang kedirian: “Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?” Anehnya, pertanyaan yang diulang-ulang itu tak terjawab sampai di akhir puisi, meski telah menjadi semacam pemantik ekspresi emosional yang mengingatkan kenangan, pergaulan maupun gairah spiritual yang dialami aku lirik di Banyumas. 

Di sisi lain ingatan-ingatan itu berdampak negatif, yaitu membuat jawaban dari pertanyaan tentang kedirian yang dilontarkan secara berulang mengalami penundaan. Sebab secara perlahan-perlahan tergantikan oleh momen-momen realitas. Dalam bait pertama momen realitas itu diwakili lewat penggambaran keadaan alam di Banyumas.

“Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?/ Ada banyak keasyikan duniawi di sini/ Hawanya menyejukkan, mata memandang/ Panorama kehijauan masih banyak di jumpa/…” 

Pencarian tak berujung 
Apa yang diungkap dalam bait pertama itu, hanya merupakan peristiwa permukaan yang mudah ditangkap oleh mata, hanya semacam pengantar yang ingin memberitahukan bahwa aku lirik mengenali keadaan kota yang ia bicarakan. Di dalam bait-bait berikutnya, momen-momen realitas diringkas sedemikian rupa dengan cara menyatakan kekhasan-kekhasan Banyumas; entah itu produk budaya atau individu yang dikenalnya. Sembari terus mengulang pertanyaan tentang kedirian aku lirik mulai melakukan semacam upaya pencarian dengan memfungsikan penglihatan batin. Dalam bait dua Abdul Wachid B.S menulis:

“Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?/ Ada soto atau getuk goreng Sokaraja/ Lukisan-lukisan panorama tempo doeloe, begitu syahdu/ Sajak Arif Hidayat dengan metafora segar di luar/ atau kedalaman Heru Kurniawan yang kuselami bagai lagu/ atau Mas,ut si peziarah yang kabarkan di mana terakhir/ Bertemu Kekasihku”.

Soto, getuk goreng atau lukisan panorama, secara umum memang dikenal akrab oleh masyarakat Banyumas. Tetapi, tiga orang yang disebut dalam puisi “Purwokerto-Sokaraja” belum tentu dikenal oleh seluruh masyarakat Banyumas. Berarti, dapat ditarik asumsi bahwa tiga orang itu memiliki kedekatan batin dengan aku lirik. Tetapi, tiga orang itu mendapat cara pandang yang berbeda di matanya; bila Arif Hidayat dan Heru Kurniawan dipandang berdasar identitasnya: Penyair. Mas,ut dipandang sebagai orang yang dapat mengkorespondensikan dengan sosok kunci menuju penemuan kedirian, yaitu Kekasihku .

Tapi, siapakah yang dimaksud dengan Kekasihku itu? Jika dikait-kaitkan, Jacques Lacan akan menjawab pertanyaan itu sebagai “Yang Real”, dimana orang-orang sufi konon menyebutnya sebagai Tuhan, Tao, atau Brahman. 

Tetapi Konsep “Yang Real” dari lacan berseberangan dengan itu semua, sebab “Yang Real” dimaknai oleh Lacan sebagai sesuatu yang bergentayangan di luar realitas simbolik, suatu pengalaman yang janggal sekaligus tak ternamakan yang pada akhirnya seringkali dijumpai dalam bentuk bahaya. Dan saya kira apa yang diyakini Lacan senada dengan apa yang diungkapkan Abdul Wachid B.S dalam bait tiga.

“Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?/ Sepertinya kuyakin dia masih datang dan pergi di sini/ atau keluar masuk di antara rak-rak buku/ Di antara nisan makam Syekh Makdum ali/ Atau di puncak Walang Sanga yang entah di mana terakhir/ Bertemu Kekasihku”.

Dalam bait ketiga itu, jelas terlihat pada kita bahwa pencarian jawaban kedirian tetap tidak berujung, sebab sang Kekasih sebagai kunci penemuan berada di posisi liminal —posisi yang tidak pasti— karena tidak berada “di sini” dan tidak pula “di sana” (betwixt and between). Timbulnya rasa lupa yang membuat posisi sang Kekasih mengalami liminalitas: “datang dan pergi”, “keluar masuk”, ”di antara”. Mestinya, lupa berpontensi pula memberi kesempatan baru untuk mencari kejelasan posisi yang pasti, sebab menyimpan jeda waktu yang dapat digunakan untuk mempertajam dan memantapkan keyakinan: "Sepertinya kuyakin dia masih datang dan pergi di sini"(Bold, aar). Tetapi, kehadiran lupa tak difungsikan semacam itu sehingga pada akhirnya semakin menyudutkan aku lirik dalam kegamangan: “Atau di puncak walang sanga yang entah di mana terakhir Bertemu Kekasihku". 

Problem-problem dari lupa tersebut, kemudian mengantarkan aku lirik pada sebuah kepasrahan yang berbalut keinginan untuk menyandarkan pencarian kedirian lewat unsur eksternal; orang di luar kediriannya yang dipercaya dapat memberikan jawaban pasti tentang letak Sang Kekasih. Hal ini tampak jelas dalam bait empat.

“Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?/ Ingin banget kutanya kepada Habib Abdul Hamid sokaraja/ Tapi sudah lama di tak mau lagi berbahasa kata/ Kecuali senyumannya lebih meyakinkan sapa/ Adanya kasih sayang dan cinta/ Padahal sekali itu saja dia berkata di mana terakhir/ Bertemu Kekasihku”.

Sesungguhnya, apa yang dipaparkan dalam bait keempat telah menjawab letak sang Kekasih. Karena sesungguhnya, laku orang yang dipercaya —Habib Abdul Hamid Sokaraja— mengindasikan penemuan itu, yaitu, sosok yang telah kembali pada kondisi asali pra-imajiner dan pra-simbolik —tak mau lagi berbahasa kata, kecuali senyumannya lebih meyakinkan sapa tentang adanya kasih sayang dan cinta. Lalu, apakah aku lirik sendiri telah berhasil menemukan Kekasih? Jawabnya: Tidak. Karena aku lirik hanya sekadar mengangkat “Yang Real” sebagai fenomena belum memaknai ataupun membelah “Yang Real” menjadi nomena.

Ambiguitas 
Ambiguitas kedirian, itulah kesan terakhir yang saya dapatkan ketika menelaah identitas aku lirik dalam puisi “Purwokerto-Sokaraja”. Hal itu terjadi, disebabkan oleh tiga pokok permasalahan: (a) “Yang Real” berada dalam posisi liminal, (b) upaya pencarian kedirian terlalu bersandar pada faktor eksternal; keadaan atau pun sosok di luar diri aku lirik, (c) aku lirik terjebak pada daya pikat Banyumas —alam-individu-produk budaya— sehingga gagal untuk memposisikan diri berjarak dengan fenomena-fenomena yang ada di Banyumas. Tiga pokok permasalahan ini tanpa disadari akhirnya mengancam padamkan nalar, sehingga refleksi kritis terhadap pengalaman untuk kemudian dirangkai secara sistematis tak hadir dalam puisi. 

Jika puisi itu diletakkan sebagai bagian dari autobiografi Abdul Wachid B.S. (semacam sublimasi misalnya), maka puisi itu memperlihatkan dampak dari perjalanan bolak-balik seseorang dari dua medan budaya —Jogja dan Banyumas. Dampak itu berupa identifikasi psikologi yang acapkali dipahami bahwa manusia yang seringkali berada di antara peralihan medan budaya yang berlainan berpotensi untuk menganggap kediriannya seakan sebuah proses yang tak berujung dan tanpa solusi akhir, yang berarti pula bersiap diri untuk terus menerus dalam “pencarian” bahkan mengalami ambiguitas kedirian. 

Seharusnya, ambiguitas kedirian Abdul Wachid B.S. di Banyumas memang tak perlu terjadi. Asal, Abdul Wachid B.S dapat melakukan upaya kritis; minimal semacam yang ia tulis tentang kota Jogja dalam puisi “Sebuah Kota” (dalam Sembilu. Yogyakarta Festival Kesenian Yogyakarta 91, 1991, hlm. 12-13): ”Apa yang kau pikirkan tentang kota tua ini? Ialah nisan jiwa, ialah berhala, ialah pohon yang ditegakkan di kepulauan jantungmu yang pasar…

”Ulasan puisi ini pernah di sampaikan dalam "Malam Puisi" yang diadakan oleh Beranda Budaya pada bulan April 2009 di Auditorium Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Dihadiri pula oleh Abdul Wachid B.S. untuk membaca beberapa puisi-puisinya. Di siar ulang di catatan facebook 14-September-2009.

Lokalitas Karakter Bawor

Lokalitas Karakter Bawor 
Oleh Teguh Trianton


Dalam berbagai kontestasi tentang budaya dan karakter wong Banyumas, tokoh Bawor selalu mendapatkan porsi berlebihan. Bawor yang sesungguhnya hanya tokoh ilusi (fiktif), diagung-agungkan sedemikian rupa melampaui realitas yang sebenanarnya. Dengan nalar otak-atik-gatuk, Bawor menduduki tahta puncak, dinobatkan sebagai lambang supremasi karakter wong Banyumas.

Entah siapa yang memulai, sehingga Saya pun pernah latah –ikut-ikutan- memuja Bawor sebagai sublimasi karakter masyarakat Banyumas. Bawor dengan serta merta disepekati sebagai ikon kebanyumasan. Bahkan ikonisitas Bawor justru melampaui tokoh-tokoh epik Banyumas yang nyata ada.

Tulisan ini Saya maksudkan sebagai auto-kritik, koreksi nalar, dan wacana terbuka tentang mitos Bawor sebagai ikon budaya lokal Banyumas.


Asal
Jika dilihat dari asal-usulnya, tokoh Bawor ternyata tidak memiliki hubungan historis dengan masyarakat Banyumas. Asal-usul Bawor tidak jelas. Bawor hanyalah tokoh imajiner atau rekaan dalam kancah pakeliran gagrag Banyumasan.

Secara fisik, tokoh Bawor justru memiliki kemiripan atau identik dengan tokoh rekaan dalam dunia pakeliran di daearah lain. Dalam pakeliran wayang kulit gaya Surakarta-Yogyakarta terdapat tokoh yang secara fisik serupa yang dinamai Bagong. Bagong adalah anak bungsu Kyai Lurah Semar. Kemudian jagat pekeliran di tanah Pasundan (Jawa Barat) terdapat tokoh Cepot atau Kacepot.

Di daerah-daerah tersebut, bentuk fisik tokoh ini juga diartikulasikan sebagai simbolisasi karakter penduduk setempat. Dengan demikian, karakter Bawor sama dengan Bagong, dan Cepot. Artinya karakter wong Banyumas, Sunda dan Surakarta tidak ada bedanya.

Dengan demikian secara subtantif tak ada lagi lokalitas. Bawor sama sekali tidak mewakili karakter lokal Banyumas. Kecuali pada ranah nama atau penyebutan identitas tokoh Bawor yang kemudian lazim disebut Carub Bawor. 

Nah, dari sini Saya menjadi ragu dengan lokalitas karakter Bawor yang diidentikan dengan karakter wong Banyuma. Terlihat sangat aneh, tokoh hasil rekaan dijadikan sebuah ikon entitas masyarakat budaya yang begitu besar. Sementara tokoh-tokoh epik yang memiliki hubungan sejarah dengan akar budaya dan asal-usul terbentuknya entitas Banyumas tidak dijadikan ikon.

Bukankah Banyumas memiliki banyak tokoh-tokoh epik, yang lokalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Raden Joko Kahiman misalnya, atau Jebug Kusuma, Adipati Pasir Luhur dan lain-lain. Atau tokoh terkini seperti Wirya Atmaja, Gatot Subroto hingga Jendral Sudirman.

Kerancuan 
Dipilihnya Bawor sebagai ikon karakter masyarakat Banyumas menunjukan telah terjadi dua kerancuan dalam bernalar. Kerancuan pertama terjadi pada ranah lokalitas. Bawor adalah tokoh dari dunia rekaan. Keberadaan Bawor memiliki intertektualitas sekaligus varian dengan tokoh Cepot dan Bagong, serta beberapa tokoh rekaan dunia pewayangan di daerah lain.

Memilih Bawor sebagai ikon masyarakat Banyumas merupakan kesalahan bernalar. Secara fisik dan karakter yang dicitrakan, ternyata tak ada yang istimewa bagi masyarakat Banyumas. Bawor kehilangan lokalitasnya tatkala harus bersanding dengan dua tokoh lainnya yaitu Bagong dan Cepot.

Kerancuan nalar kedua terjadi pada wilayah pemaknaan dan apresiasi kedirian Bawor. Menurut cerita gotek (tradisi lisan), keberadaan tokoh Bawor di dunia bukan dilahirkan melainkan diciptakan. Bawor merupakan bayangan Sanghyang Ismaya yang turun ke dunia dan menjelma menjadi Semar.

Bawor adalah bayangan Ki Lurah Semar. Bawor diciptakan sebagai teman bagi Semar. Eksistensi Semar sendiri adalah dewa, sehingga Bawor sebagai bayangannya juga merupakan Dewa. Bawor kemudian diakui sebagai anak tertua dari tokoh Semar. Anak kedua dan ketiga adalah Nala Gareng dan Petruk.

Namun dalam masyarakat Banyumas, eksistensi Bawor sebagai bayangan dewa –Semar- lenyap begitu saja. Citra yang melekat pada Bawor justru citra negative. Bawor sebagai simbol kebodohan, kejelataan, nir-etika, suka berbicara kasar dan lain-lain. Padahal –sekali lagi- Bawor adalah –bayangan- dewa.


Kudi
Kemunculan Bawor dalam pentas pakeliran gragag Banyumasan selalu dilengkapi dengan senjata pengandel berupa Kudi. Kudi adalah senjata tradisional khas Banyumas. Pamor Kudi terdiri dari dua bagian yang menyatu. Pamor bagian pangkal berbentuk bulatan, sedangkan pada bagian ujung berbentuk datar dengan ujung landai dan sedikit meruncing. Jika senjata ini dihunus maka akan membentuk lekuk mirip wanita hamil dalam perspektif samping.

Kudi telah jadi bagian dari hidup Bawor, dan masyarakat Banyumas. Namun dalam perjalanan menuju ikon Banyumas, Kudi tak pernah menduduki tempat terhormat sebagai pusaka kebesaran Banyumas yang wajib dijamas dalam periode tertentu.

Nasib Kudi juga tak semujur Gada Rujak Polo, senjata Raden Werkudara yang jadi bagian logo Kabupaten Banyumas. Werkudara juga tokoh ilusi dunia pewayangan. Seperti Bawor, tokoh bergelar Raden ini juga memiliki sifat jujur dan cablaka yang juga merupakan sifat orang Banyumas. 

Bedanya, Werkudara menjadi simbol kebangsawanan karena berasal dari kerajaan, sedang Bawor menjadi simbol kejelataan karena direka-reka menjadi rakyat. Pada Kudi juga telah terjadi kerancuan nalar.

Jika ditarik garis horizontal, maka keberadaan Kudi dihadapan Gada Rujak Polo berada pada posisi yang sejajar. Namun ternyata Gada yang tidak memiliki kedekatan dengan masyarakat Banyumas terlanjur dipilih sebagai bagian dari lambang pemerintah daerah setempat.
Semoga ketidak-jelasan konsep tentang identitas lokal kebanyumasan ini tidak menjadi sebab lunturnya karakter asli wong Banyumas. 

Sumber : Radar Banyumas, Minggu 13 September 2009

Teguh Trianton,
aktif di Beranda Budaya (Banyumas)


Kamis, Agustus 27, 2009

Epik Banyumas sebagai Sejarah

Epik Banyumas sebagai Sejarah
Oleh Teguh Trianton

Sejarah pendirian Kabupaten Banyumas dan sekitar (Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara) memiliki pertalian yang begitu erat. 

Bahkan tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Nama-nama tokoh epik di Banyumas memiliki narasi paralel dengan asal-usul dan tokoh epik di wilayah sekitar.

Sebut saja Raden Joko Kahiman, Banyak Catra, atau Kamandaka, Pule Bahas, Dewi Ciptarasa, Pasir Luhur, Kembang Wijaya Kusuma, Arsantaka, Tepus Rumput, Adipati Onje, atau Adipati Merden. Nama-nama itu terdapat dalam khasanah kearifan sejarah lokal Banyumas Raya. 

Dalam banyak kisah (babad di Banyumas), nama-nama tersebut saling berkaitan. Nama-nama itu sesungguhnya begitu lekat dengan narasi historis pendirian kabupaten-kabupaten di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas. 

Dan tentu saja sangat familiar bagi masyarakat Banyumas. Tapi tunggu dulu, sebab nyatanya nama tokoh epik tersebut ternyata menjadi sangat asing di telinga generasi muda dan pelajar Banyumas.

Mereka justru lebih familiar dengan tokoh-tokoh epik ilusif dari negeri seberang. Mereka lebih paham siapa Batman, Peter Parker, Clark Kent, Rambo, atau Harry Potter, Cinderela, atau Romeo-Juliet. 

Yang tadi memang bukan tokoh epik nyata, melainkan tokoh dunia dongeng atau khayalan. Tapi popularitasnya melampaui tokoh-tokoh epik dalam negeri. Apalagi tokoh epik lokal Banyumas.
Kearifan Lokal Narasi sejarah pendirian Banyumas dan kabupaten di sekitar sangat panjang. Di Purbalingga terdapat tiga babad, yaitu Babad Onje, Babad Purbalingga, dan Babad Jambukarang. 

Kemudian di Banyumas sendiri terdapat di Babad Pasir-Banyumas. Konse-kuensinya sejarah ini meninggalkan banyak tokoh yang namanya berkelindan dengan kelahiran Kabupaten Banyumas dan sekitarnya.

Belajar sejarah, sebenarnya bukan sekadar mengingat nama, tempat atau angka tahun belaka. Sebab sejarah tidak hanya menyisakan kisah dan latar. Pada setiap sejarah atau kisah epik selalu meninggalkan ajaran tentang nilai-nilai moral, kearifan, religiusitas, bahkan falsafah hidup.

Yang terpenting dari belajar sejarah adalah bagaimana kita menjadi tahu dan mengenal jati diri. Sehingga kita tidak mudah tercerabut dari akar sejarah, tidak mudah terpengaruh gerusan budaya asing yang tidak sejalur dengan peradaban bangsa kita.

Sesungguhnya, pada sejarah berdirinya Banyumas terdapat banyak nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang layak dipelajari dan diteladani. Beberapa di antaranya adalah narasi epik Raden Joko Kahiman, Pule Bahas, epik Kerajan Pasir Luhur, kembang Wijaya Kusuma dan Nusa Kambangan. 

Di Purbalingga terdapat epik Kiai Jambu Karang yang dimakam di petilasan Ardi Lawet Kecamatan Rembang, Raden Narasoma di petilasan Narasoma, Ki Arsantaka di Petilasan Arsantaka Kecamatan Purbalingga. Adipati Onje di Onje Kecamatan Mrebet dan Adipati Dipakusuma dan Tumenggung Dupayuda di Petilasan Giri Cendana, Kecamatan Bojongsari.

Kepahlawanan dan keluhuran budi sederet tokoh epik lokal tersebut, patut disejajarkan dengan tokoh-tokoh epik nasional. Namun selama ini, kearifan lokal yang merupakan warisan budaya tak benda (intangible asset) dari tokoh legenda ini tak pernah dikenalkan pada generasi muda.

Setali tiga uang, keberadaan artefak peninggalan sejarah bendawi (tangible asset) yang tersebar di wilayah Banyumas Raya juga tak dikenal oleh generasi muda. 

Beberapa diantaranya berupa bangunan kuno seperti Masjid Kuning di Onje, tempat yang dianggap sakral seperti; Batu Tulis di Desa Cipaku Kecamatan Mrebet, Batu Lingga dan Gua Genteng di desa Candinata Kecamatan Kutasari, Sendang atau Petirtaan di Desa Semingkir, Kecamatan Kutasari.

Di Desa Kedungbenda Kecamatan Kemangkon terdapat Batu Lingga, Yoni dan Palus, di Kecamatan Karangjambu terdapat menhir dan punden berundak. Di Kecamatan Rembang terdapat monumen tempat lahir (MTL) Panglima Besar (Pangsar) Jendral Sudirman.

Kurikulum Di wilayah Banyumas Raya sesungguhnya terdapat banyak potensi potensi wisata edukasi dan budaya. Seperti museum uang, taman reptile dan insekta, taman biota air tawar dan taman buah-botani di Purbalingga. Ini semua dapat dijadikan media edukasi bidang sains.

Kemudian museum Prof Dr Soegarda Poerbakawatja, monumen tempat lahir (MTL) Pangsar Sudirman. Museum Soesilo Soedarman dan Benteng Pendem di Cilacap, belasan Candi dan situs bersejarah di Banjarnegara.

Nah, permasalahannya adalah keberadaan sumber-sumber belajar sejarah dan kearifan lokal tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh dunia pendidikan. Guru, sekolah dan dinas pendidikan belum memiliki iktikad baik untuk mengemas narasi-narasi epik lokal menjadi salah satu mata pelajaran yang penting dipelajari di dunia pendidikan formal.
Ada kegamangan dari stakeholders pendidikan untuk memasukan sejarah lokal menjadi bagian dari kurikulum pendidikan.
Ini terjadi karena KTSP belum dipahami secara holistik. Tafsir linier atas KTSP sebagai turunan KBK membuat guru sejarah dan dinas pendidikan sebagai kepanjangan tangan pemerintah lupa dengan potensi-potensi yang ada di depan mata. (35)
Sumber : Wacana Suara Merdeka, Rabu 26 Agustus 2009

Teguh Trianton
staf edukatif SMK Widya Manggala Purbalingga, 
Pengurus Agupena Jawa Tengah
Aktif di Beranda Budaya (Banyumas)



Senin, Agustus 24, 2009

In Memoriam Rendra

Rendra:

"Semuanya Tersenyum dan Melambaikan Tangan Kepadaku"

Oleh Abdul Aziz Rasjid

Suara Karya Sabtu, 15 Agustus 2009


Rendra adalah usia dan nafas panjang, begitulah Binhad Nurrohmat mengawali esai yang berjudul "Dari Perempuan Hingga Kekuasaan" dalam buku Membaca Kepenyairan Rendra (KEPEL, 2005). Namun, Kamis malam, 6 Agustus 2009 tepatnya pukul 22.15, kabar duka kita terima; Willybordus Surendra meninggal dunia, Bagi saya pribadi, berita itu menyentakkan hati dan saya kira bukan hanya keluarga besar Rendra saja yang sedang diliputi duka.


Malam itu pula, saya membayangkan larik-larik sajak berjudul "Pertemuan Malam" sedang ia bacakan di antara akhir hayatnya: "Semua tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku./ Ternyata ada juga di antara mereka/ Atmo Karpo sang penyamun,/ dan Joko Pandan, anaknya yang membunuhnya./ Lalu Fatima yang dizinahi oleh Kasan/ serta Maria Zaitun yang dimakan raja singa./ Malahan Suto yang selalu mengembara/ Sepanjang masa juga ada../ Semuanya tersenyum/ dan melambaikan tangan kepadaku".


Sajak yang seolah berkisah tentang iringan kematiannya itu, ditulis oleh Rendra di Rumah Sakit Cinere, 5 November 2003 silam, bait penutup sajak itu berbunyi begini: "Perempuan terkasih yang gelisah menunggu di rumah!/ Anak-anakku yang sedang mengusap mata!/ Cucu-cucuku yang sedang bermain air di kamar mandi!/ aku pulang/ Setelah mati di dalam hutan/ dan hidup kembali". Tetapi, kenyataan yang terjadi di Rumah Sakit Mitra Keluarga di mana sang maestro terbaring sakit beberapa hari lalu, tak akan mungkin berkesesuaian dengan apa yang ditulis oleh Rendra enam tahun silam itu: "Setelah mati di dalam hutan/ dan hidup kembali". Rendra, kini benar-benar telah mati dan tak akan hidup kembali, hanya karya-karyanya yang akan terus abadi mesti beberapa kali dalam negerinya sendiri, ia mesti mengalami pencekalan dan dalam pembacaan sajaknya pernah dilempari enam buah kantong plastik berisi cairan amoniak sampai masuk bui.


Sejarah hidup Rendra memang diwarnai pergulatan, pembangkangan ataupun pemberontakan, tak hanya sebatas mengkritik dan menentang epigon-epigon yang pernah dilontarkan Chairil Anwar atau sekadar ingin memberi kejutan atau menghadirkan kehebohan massal semacam Bip-Bop yang konon membikin bingung dan marah banyak orang. Pemberontakan Rendra telah menjadi sikap, sehingga tak mengherankan bila sajak-sajak pamfletnya pun pernah dituduh Letkol Anas Malik, mantan Kapendam V Jaya, sebagai sajak yang menghasut dan mendorong publik pada gejolak dan ketegangan sosial.


Sugiarta Sriwibisana mungkin adalah salah satu orang yang dapat dengan bijak menggambarkan sisi positif sosok pribadi Rendra sebagai seorang yang memiliki jiwa berlawan: "Berbahagialah manusia yang mengalami di kala mudanya masa-masa yang penuh ketegangan riuh membontang-banting dirinya. Tetapi yang paling bahagia adalah ia yang kemudian asyik bisa menuturkan segala pengalamannya, kapan ia telah merasa sanggup mengatasi masa kegoncangannya itu, sedang pengatasan itu pada waktunya dahulu sudah ia lakukan dengan keikhlasan". Bukti tuturan dari mengkhikmati pengalaman kehidupan dan sikap dari jiwa berlawan Rendra itu, setidaknya akan terus kita dengar gemanya dalam kredo keseniannya yang ia tulis dalam "Sajak Sebatang Lisong" (1997): Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.


Mungkin, dari aspek psikologis, sikap dasar kepenyairan Rendra yang lahir di Solo, 7 november 1935 itu dipengaruhi oleh salah satu pengalaman masa kecilnya, ketika ia memperlihatkan puisi berjudul "Serigala" yang ditulisnya di kertas merang pada kakeknya, Prawiro Sudirdjo. Ketika itu, kakeknya berkata pada Rendra: "Kau tahu apa fungsi pujangga itu? Seorang pujangga ibarat roh. Dan ratu adalah ibarat badan....". Mungkin pula, jalan pilihan sebagai seniman bagi Rendra, juga dipengaruhi oleh pengalaman metafisis yang pernah dialaminya, ketika ia melakukan Kumini -menyepi ingin berdialog dengan Tuhan, untuk mengetahui apa yang dikehendaki Tuhan atas dirinya- di sendang Srinding sambil berpuasa Sembilan hari lamanya. Dalam Kumini itu, konon ia mendengar bisikan bahwa nantinya ia akan menjadi penyair.


Tetapi kritik sosialnya yang terkandung dalam buku Potret Pembangunan Dalam Puisi bukanlah karya yang lahir dari sekadar bisikan ataupun bervisi spekulasi, dalam esai berjudul "Pamplet Penyair" terkumpul dalam buku Penyair&Kritik Sosial (KEPEL, 2001) Rendra menegaskan: "Saya lebih suka cara bekerja dengan mengumpulkan fakta.saya suka mengkliping koran, wawancara atau pun mela-kukan tour dan survey. Pada waktu mengarang, fakta-fakta inilah yang saya pilih, saya harus bisa menyeleksi mana yang paling plastis untuk menggambarkan kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun kultural yang memang lebih banyak menjadi pendekatan bagi seniman". Praktek dari pentingnya riset atas kenyataan yang ia tegaskan itu, setidaknya tertulis dengan lugas dalam terusan "Sajak Sebatang Lisong": Kita mesti ke luar ke jalan raya./ ke luar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata.


Dan kenyataan kamis malam ini, telah mencatat kembalinya Rendra pada sang pencipta meninggalkan para pecintanya. Tapi karya-karyanya terus akan hidup mengabadikan realitas sejarah berupa gambaran kondisi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan sebuah bangsa. Dan saya kira apa yang di tulis oleh Binhad dalam penutup esainya sudahlah tepat: "Apa yang berharga dari yang diciptakannya menjadi lebih penting dikenang tanpa menjadikan dia sebagai mitos dan gosip". Sebab Rendra sendiri pernah menulis: "Betapapun hebatnya kemungkinan yang bisa dicapai manusia di dunia, bila maut tiba, berakhirlah semua itu baginya". Dan saya kira kita membenarkan apa yang diucapkan Rendra itu, sebab kita sama tahu; tak ada cara ataupun strategi untuk menghindari kematian. Selamat jalan Burung Merak, semuanya tersenyum dan melambaikan tangan kepadamu. ***


* Purwokerto,7 Agustus 2009.


Abdul Aziz Rasjid,

Periset di Beranda Budaya Banyumas (Jawa Tengah)

Selasa, Juli 28, 2009

Rumah dalam Lintas Lokalitas

Rumah dalam Lintas Lokalitas
Oleh Arif Hidayat

Ada sesuatu yang menakjubkan dan menarik dalam bambu sebagai bahan dasar rumah tradisional masyarakat Jawa. Saat ini bambu dapat kita temukan di rumah makan gaul tren anak muda zaman sekarang.

Warung ABG (Ayam Bakar Goreng), Warung Pring, Rumah Makan Bambu adalah contoh rumah makan gaul di Purwokerto yang menggunakan bambu sebagai konstruksi bangunannya.

Fenomena bambu sebagai konstuksi bangunan dalam rumah makan gaul sengaja diciptakan dan direncanakan sebagai budaya tanding terhadap pergeseran global. Hal ini mengacu kepada realitas perkotaan yang membutuhkan penandaan lain, yaitu pedesaan.

Konstruksi rumah makan yang rapi membuat keharmonisan suasana makan terbangun. Suasana sunyi dengan iringan musik mellow sengaja dipadukan dengan nuansa alam pedesaan untuk menarik perhatian pengunjung.

Dalam suasana yang natural, orang menjadi bebas bercerita, bercanda, dan saling terbuka. Orang dapat saling menghormati dan saling mendengarkan keluh kesah antarsesama. Di sini, orang bisa melupakan "penat" dari rutinitas. Tidak heran apabila anak muda yang sedang jatuh cinta (bersama pasangan kekasihnya) menjadi betah nongkrong dan menghabiskan banyak waktu dengan ngobrol santai ataupun bersenda gurau. Dalam rumah makan itu, mereka bisa beromantisme.

Di sisi lain, hadirnya bambu dalam konstruksi rumah makan merupakan ilustrasi dari pascakelangkaan dengan telah hilangnya desa. Rumah makan seperti Warung ABG (Ayam Bakar Goreng), Warung Pring, dan Rumah Makan Bambu merupakan lingkungan yang diciptakan menjadi alam. Orang menginginkan desa, tetapi desa sudah sangat jauh sekali dari impian yang mereka jangkau.

Apabila mencermati keadaan demikian, desa dalam sekarang ini sudah menjadi bagian dari perkotaan yang "mahal". Secara eksistensinya, desa di Jawa selalu identik dengan bambu, kayu, dan dedaunan yang menghijau. Namun, akhir-akhir ini dengan adanya penjarahan hutan secara masal dan minimnya reboisasi, maka bambu, kayu, dan dedaunan yang menghijau menjadi barang yang "langka". Sejauh ini, dulu bambu termasuk ikon rumah adat Jawa yang merupakan pelengkap dari kayu.

Rumah adat Jawa dengan pagar bambu memang sekarang sudah susah kita temukan. Orang Jawa kini lebih senang membuat rumah gedongan dengan alasan lebih kokoh dan tidak mudah rusak. Mereka lebih memilih berpikir praktis tinimbang bersusah payah membuat rumah dengan bambu.

Kalaupun kita temukan rumah adat Jawa dengan atap limas dengan berpagar bambu dan kayu itu sudah kumuh karena penghuninya rata-rata sudah lanjut usia: mereka sudah tidak mampu lagi merawat rumahnya. Jadi, rumah adat Jawa yang tersisa bukan merupakan pemertahanan warisan leluhur dengan kandungan nilai luhurnya, melainkan ketidakmampuan penghuni merenovasi rumah.

Sekarang bambu merupakan sendi budaya yang masih tersisa di era global ini. Konstruksi bambu dengan nuansa tradisionalitas yang dipadukan dengan menu makanan seperti juice, udang goreng, ayam bakar di rumah makan gaul merupakan realisme utopis dari persilangan wacana institusional untuk hadir dalam citra yang imanen.

Rasa kedamaian
Alasan tersebut muncul dari banyaknya orang yang mengklaim bahwa dengan kembali ke dalam masa lalunya, mereka akan menemukan rasa kedamaian. Adapun negara yang telah mampu kembali ke dalam sisi tradisional, namun tetap menjadi bagian dari modernitas, adalah Jepang. Beberapa rumah di Jepang tetap menggunakan kayu, meskipun di negara ini sering diguncang gempa.

Konstruksi rumah dengan kayu itulah yang juga kini dipertahankan di Wisma Seni di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo. Wisma seni ini sengaja menggunakan kayu untuk menampilkan estetika seni dan budaya. Pada hakikatnya, nilai-nilai luhur suatu budaya tertanam bersamaan dengan rasa kesadaran dalam diri apabila kita mencermati dampak buruk dari industri dan mesin. Tidak heran bila pelestarian bentuk seni-budaya dengan istilah "revitalisasi budaya" dalam akhir-akhir ini pun digembor-gemborkan.

Hanya saja tidak sepenuhnya masa lalu itu dapat kita temukan lagi di masa depan. Kita hanya bisa mempertahankan etika dan nilai-nilai yang masih tersisa di peradaban ini.

Oleh karena itu, yang terjadi sekarang ini adalah pencarian rasa kedamaian untuk menemukan sesuatu yang tertinggal dari peradaban. Desa sebagai metafora perkembangan budaya global hadir dalam estetika seni dan citra impian. Nuansa pedesaan seperti pantai ataupun perbukitan akan dikunjungi oleh orang-orang di waktu libur untuk menghilangkan penat.

Suasana klasik pada bambu, yang dipadukan dengan taman dan menu terkini, merupakan dialektika dari lintas lokalitas. Karena masyarakat sekarang sudah sangat heterogen, maka yang terjadi adalah percampuran antara tren-mode dengan "kenangan" agar seperangkat nilai kebajikan dapat memengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan sosial.

Forum Kompas Jateng - Jogja Senin, 27 Juli 2009

ARIF HIDAYAT
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
aktif di Beranda Budaya (Banyumas) Jawa Tengah

Senin, Juli 27, 2009

Ekranisasi RDP

Ihwal Ekranisasi Ronggeng Dukuh Paruk
Oleh Teguh Trianton

Tulisan Yosi Muhaemin Giri (YMG) berjudul ‘Idealisme Tohari di Ambang Cinta dan Benci’ pada Forum (Kompas, 14/04/2009) sangat menarik. Pada paparannya YMG dengan begitu banal melancarkan kritik pada pribadi Ahmad Tohari (AHT) yang dianggap sudah tidak idealis lagi.

Dalam penilaian YMG; ekranisasi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) telah menciderai idealisme. Selama ini AHT dikenal sebagai sosok sastrawan dan budayawan yang menentang habis-habisan tayangan-tayangan sinetron di televisi, sehingga ekranisasi dianggap sebagai titik balik lunturnya idealisme itu.

Lebih jauh, YMG menilai bahwa yang dilakukan AHT merupakan langkah mundur. Ironis, inilah ungkapan yang dipakai YMG untuk menyimpulkan sekaligus menstigma watak pribadi AHT.

Namun sayangnya, dasar pemikiran dan argumentasi yang dibangun YMG dalam tulisannya ternyata sangat lemah. Setidaknya ada tiga kelemahan argemntasi dalam tulisan teresbut.

Pertama, argumentasi yang mengatakan bahwa AHT tergiur nominal uang sehingga mau ‘menjual’ lagi RDP. Ini sulit diterima. Lantaran kita tidak pernah tahu berapa nilai nominal dari transaksi tersebut.

Kedua, ekranisasi dipandang sebagai bentuk kegagalan publikasi RDP versi cetak. Ini jelas keliru. Bukankah novel RDP telah mengalami berkali-kali cetak ulang. RDP juga telah diterjemahkan dalam lima bahasa asing dan mendapat resepsi yang luar biasa.

Saya sepakat jika disebut bahwa RDP dan AHT tak populer di kalangan pelajar SMA di Banyumas. Mereka lebih mengenal sosok Chairil Anwar, Rendra, atau Amir Hamzah dan karyanya. Tetapi perlu diingat, ‘perkenalan’ pelajar dengan sastrawan tadi adalah perkenalan kebetulan melalui modul atau buku ajar di sekolah.

Inilah fakta yang dimunculkan YMG. Pelajar kurang mengenal RDP karena jarang disebut dalam modul Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebuah landasan berpikir yang sangat lemah. Sebab permasalahan yang sebenarnya adalah rendanya budaya literasi (baca-tulis) di kalangan siswa di Banyumas atau bahkan Indonesia.

Ketiga, hujatan YMG bahwa idealisme –menentang tayangan TV- yang telah lenyap dari AHT. Menurut saya, hujatan ini juga lemah. YMG tidak sadar bahwa banyak hal yang berbeda antara tayangan sinetron di televisi dengan film layar lebar.

Perbendaan paling kentara bisa dilihat dari segi materi atau isi. Kemudian proses pembuatan, termasuk ideologi yang mengalir dalam dua jenis tanyangan itu. Selain minim intelektualitas, sinetron juga hanya menawarkan hedonisme, diproduksi atas pesanan dengan pola kejar tayang. Tengoklah, apakah ada sinetron yang mengangkat kearifan lokal atau berisi nilai moral.

Hedonisme. Ini memang sempat terjadi pada beberapa film layar lebar terkini yang menawarkan postur tubuh, cerita dan adegan yang menyerempet seks. Atau bahkan cenderung vulgar. Namun ini tidak akan terjadi pada ekranisasi RDP.

Terlalu dini jika mengatakan bahwa ekranisasi RDP tak ubahnya dengan sinetron. Ini kesimpulan saya atas tesis YMG. Apalagi kita belum tahu bagaimana hasil ekranisasi jilid dua itu.

Filmisasai RDP jilid I berjudul ‘Darah dan Mahkota Ronggeng’ garapan sutradara Yazman Yazid memang dianggap gagal. Tetapi ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menilai sebuah hasil dari proses yang belum selesai. Sampai di sini saya melihat AHT masih berdiri pada orbitnya sebagai sastrawan yang menentang tayang-tayangan televisi yang tidak berkualitas.


Hanya strategi
Di luar intervensi kepentingan modal, saya melihat ekranisasi RDP ini merupakan sebuah strategi. Strategi menghadapi perubahan tradisi dan peradaban yang mempengaruhi pola komunikasi dalam masyarakat.

Secara umum perkembangan peradaban ditandai dengan tiga perubahan penggunaan alat dan pola komunikasi. Yaitu dari tradisi lisan (oraliti), tulisan (literasi), lalu audio-visual. Yang paling mutakhir adalah berkembangnya model komuniaksi virtual melalui dunia cyber.

Nah, ekranisasi RDP sesungguhnya merupakan strategi, bagaimana menjembati kegagapan budaya masyarakat bertradisi lisan yang tiba-tiba harus meloncat menjadi masyarakat bertradisi visual bahkan virtual. Pada kasus RPD, saya melihat bahwa AHT tengah mencoba menarik masyarakat untuk kembali pada tradisi literasi yang sempat terlewati.

Alasannya sederhana. Dalam beberapa kasus ekranisasi banyak menimbulkan kekecewaan pada penonton dan kritisi sastra. Ini terjadi akibat penciutan plot dan degresi cerita di luar novel. Tengoklah kasus ekranisasi ‘Ayat-Ayat Cinta’ (AAC), Laskar Pelangi (LP) dan lain-lain.

Lalu apa hubungannya dengan tradisi literasi? Saya melihat, tatkala banyak kritisi yang gusar akibat ketidakpuasan atas ekranisasi, ini akan menimbulkan rasa ingin tahu para penonton awam. Dengan sendirinya mereka akan mencoba mencari pembandingnya yaitu naskah asli pra-adaptasi.

Ini terjadi pada AAC dan LP. Fenomena cetak ulang kedua novel ini terjadi setelah ekranisasi. Novel AAC telah ada sejak tahun 2004, kemudian baru ramai dibicarakan dan populer pada tahun 2008, setelah ekranisasi. Pada awal terbit, AAC tak banyak mendapat respon dari kritikus sastra. Respon banyak muncul pasca ekranisasi.

Sesungguhnya ini berbeda dengan RDP yang sejak awal kemunculannya telah mendapat resepsi dari pembaca dan kritikus. Artinya, dalam kasus RDP, sesungguhnya bukan perkara nominal nilai kontrak, atau hanya sekedar bagaimana mempopulerkan AHT sehingga berterima di negeri sendiri (Banyumas).

Ekranisasi RDP adalah strategi menarik masyarakat (pelajar) yang terlanjur mencintai tayangan –hantu- visual di TV agar kembali dulu pada fase literasi. Ini ditempuh dengan memanfaatkan kekurangan ekranisasi. Dengan ketidakpuasan penonton atas filmisasi RDP, akan memotivasi mereka membaca naskah asli.

Nah, proses membaca inilah yang pada giliranya akan membentuk masyarakat literasi. Terlihat naïf memang. Namun ini jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali. Lantaran tidak ada alat perjuangan modern yang given atau terberi dengan cuma-cuma. Ekranisasi RPD tetap mengandung idealisme.

Radar Banyumas, Minggu 27 Juli 2009


Teguh Trianton, penikmat seni,
aktif di Beranda Budaya (Banyumas).

Migrasi Tanda

Gedheg dalam Migrasi Tanda dan Makna
Oleh Teguh Trianton

Gedheg pada mulanya memang lebih dikenal sebagai dinding rumah yang terbuat dari bahan dasar bambu. Rumah dengan dinding gedheg hanya dapat dijumpai di desa-desa terpencil di Pulau Jawa. Mereka yang mendirikan rumah dengan dinding gedheg biasanya adalah penduduk yang masuk kategori miskin, terbelakang, dan kurang berpendidikan.

Alhasil, wajar jika gedheg kemudian menjadi tanda sebuah kondisi masyarakat yang marjinal, terbelakang, miskin, dan bodoh. Gedheg menjadi mitos keterbelakangan peradaban. Ini juga wajar, mengingat sebagai produk handmade (buatan tangan), anyaman dinding ini cenderung tidak rata. Jalinan lapisan bambu yang tidak erat akan meninggalkan lubang-lubang kecil pada tiap titik pertemuan anyaman.

Pada saat yang sama, ketidak-sempurnaan ini melahirkan sebuah ungkapan metaforis yang berkonotasi negatif, yaitu "Rai Gedheg". Rai gedheg dalam pandangan Saifur Rohman (Kompas, 20/6) merupakan representasi praktik wacana berpolitik terkini.

Apa yang dijelaskan Saifur Rohman itu sesungguhnya hanya bagian kecil yang bersifat negatif dari kearifan lokal gedheg. Tentu saja itu sah dan tidak keliru. Namun, saat ini memilih gedheg dengan segala kekurangannya sebagai metafora membawa kita pada kondisi pemakaian dan pemaknaan tanda yang sudah lapuk.

Tulisan ini tidak mempersoalkan analogi dan metafora rai gedheg dengan tingkah para politikus menjelang pemilihan presiden dan wakil secara langsung tahun 2009. Yang dipersoalkan adalah pemaknaan atas gedheg yang cenderung stagnan dan tidak kontekstual.

Gedheg adalah dinding dari anyaman bambu yang berkonotasi murahan, gampangan, dan rendah. Dalam proses pemaknaan secara kultural, gedheg menjadi simbol kelas sosial yang marjinal, terbelakang, dan bodoh. Sebuah kelas sosial yang lazim tinggal di desa. Itu dulu!

Kondisi kontemporer justru memaksa kita untuk mereproduksi pemaknaan atas gedheg secara kontekstual. Alasannya sangat sederhana. Saat ini, gedheg sebagai material bangunan telah menduduki posisi yang berbalik dari posisi awal. Jika dulu gedheg dianggap sebagai bahan dinding rumah (ruang) yang murahan, saat ini justru sebaliknya.

Berkelas
Gedheg telah mengalami migrasi. Gedheg tidak lagi menjadi monopoli orang udik yang marjinal dan terbelakang. Gedheg saat ini menjadi material dinding yang sangat familier dan mudah dijumpai di kota-kota. Gedheg menjadi salah satu materi dinding ruang yang favorit, bahkan berkelas.

Di kota sebagai kiblat peradaban masyarakat saat ini begitu mudah dijumpai dinding-dinding ruang atau bangunan yang terbuat dari gedheg dan varian-variannya. Tengoklah dinding-dinding rumah makan khas masakan Jawa, atau Sunda, di pusat-pusat kota. Juga rumah-rumah berarsitektur Jawa klasik bernuansa natural. Di sana, gedheg begitu familier bahkan favorit. Kefavoritan gedheg menyamai kayu sebagai materi dasar bangunan rumah berarsitektur Jawa klasik.

Gedheg dipilih bukan hanya karena keunggulannya yang kuat dan lentur, tetapi karena keunikan ornamen dan motif anyaman yang beragam. Bahan dasar gedheg adalah bambu. Di China dan Jepang, bambu menduduki posisi penting dalam khazanah falsafah hidup masyarakatnya. Di kedua negeri ini bambu juga dibuat anyaman yang sejajar dengan gedheg.

Bambu adalah tanaman jenis rumput yang secara ekologi berfungsi menyimpan air dalam tanah, mencegah longsor, dan mudah hidup. Kelenturan bambu menjadikannya awet dan tahan terhadap benturan serta guncangan. Inilah yang menjadikan falsafah bambu menjadi elan dan vitalitas dalam menjalankan bisnis dan roda kehidupan lainnya.

Makna baru
Migrasi gedheg dari desa ke kota secara material membawa pergeseran makna. Gedheg tidak lagi menjadi tanda atau simbol keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan murahan. Fenomena penggunaan gedheg dengan segala variasi motif anyaman kian menunjukkan pergeseran kelas dan maknanya.

Jika dulu gedheg menjadi mitos kondisi marjinal sebuah entitas masyarakat, kini sebaliknya. Hadirnya gedheg di ruang-ruang publik, seperti caf?, atau tempat wisata di kota, memaksa kita mengubah cara pandang terhadap nilai sebuah gedheg.

Ia tidak lagi marjinal, bodoh, miskin, dan terbelakang. Gedheg kini menjadi penanda kondisi tertinggi emosional dan intelektualitas seseorang. Mereka yang menghargai gedheg adalah kaum terpelajar, kaya secara ekonomi, intelektual, dan emosional. Ia mendapatkan signifikansi yang baru, yang lebih mahal dan mewah.

Gedheg mengalami pergeseran pemaknaan. Kondisi kontemporer membawa gedheg menjadi simbol aristokrat, menghargai budaya, dan kearifan lokal. Orang-orang kaya dan terpelajar memilih gedheg karena ingin dicitrakan sebagai kelompok yang menghargai kesederhanaan dan citra rasa yang unik serta klasik.

Di tengah gempuran modernisasi dan pencanggihan teknologi, mempertahankan gedheg sebagai kearifan lokal membutuhkan kondisi emosional yang paripurna. Nah di sini, gedheg tak lagi menjadi simbol kebodohan dan murahan, melainkan kecerdasan emosi dan intelektualitas dalam memandang sebuah kesederhanaan.

Pada saat yang sama, bambu sebagai bahan dasar gedheg juga mengalami pergeseran nilai, baik secara ekonomis maupun intelektual. Harga dinding bambu di kota justru melebihi harga dinding dengan bahan batu bata dan semen. Untuk menghadirkan bambu di kota membutuhkan ongkos yang jauh lebih mahal dari bahan lain. Secara intelektual, naiknya permintaan penggunaan bambu mendorong lahirnya manajemen ekosistem agar tidak merusak keseimbangan alam.

Forum Kompas Jateng-Jogja , 23 Juli 2009


Teguh Trianton
Aktif di Beranda Budaya
Banyumas, Jawa Tengah

Sabtu, Juli 11, 2009

Lokalitas Dalam Sastra

Identitas Lokal dalam Teks-Teks Sastra
Oleh
Abdul Aziz Rasjid


DALAM deru gelombang globalisasi yang tiada henti, penciptaan kebudayaan masyarakat rentan untuk mengalami penyeragaman identitas sosial. Di peradaban kini kecanggihan teknologi media dan informasi telah difungsikan sedemikian rupa sebagai ruang untuk memperkenalkan sekaligus mengemas tawaran-tawaran berupa imaji-imaji kemakmuran dalam bentuk benda-benda yang mengusung nilai tanda--mendongkrak derajat/status sosial sebelum ditransaksikan pada masyarakat.

Media massa (entah cetak maupun elektronik) yang selalu mengirimkan informasi-informasi baru di setiap detik--sekaligus menciptakan keusangan informasi di setiap detiknya pula telah menjadi ruang bersama sekaligus medan pertempuran antara berbagai imaji-imaji kemakmuran yang saling menawarkan diri pada masyarakat.

Di antara silang sengkarut tawaran-tawaran itu, imaji-imaji kemakmuran yang datang dan pergi menjadi rentan untuk membuat identitas manusia terdampar dalam wilayah liminal; mengalami ambiguitas posisi yang tidak pasti karena tidak berada "di sini" dan tidak pula "di sana" (betwixt and between). Ambiguitas itu didominasi oleh idealisasi diri yang kompleks sekaligus hasrat diri yang narsistik yang kemudian membuat sebuah pola baru bahwa derajat/status sosial seseorang dalam masyarakat diukur lewat kepemilikannya terhadap benda-benda yang mengusung nilai tanda.

Hanya dengan menemukan pengalaman "Yang Real" (merujuk konsepsi Lacan) manusia dapat tersadarkan bahwa identitas mereka mengalami liminalitas. Yang Real dalam hal ini dimaksudkan sebagai sesuatu yang bergentayangan di luar realitas simbolik berupa pengalaman yang janggal "di mana obsesi manusia hanya mengejar kepemilikan benda dan dijumpai dalam bentuk bahaya sampai berupa matinya identitas.

Kekhawatiran penciptaan kebudayaan masyarakat yang diprediksi dapat menggilas, menguasai, bahkan menjadi satu-satunya kebudayaan bangsa di dunia" berarti termasuk Indonesia, seharusnya dapat diselamatkan oleh karya sastra. Sebab, sastra memiliki fungsi dulce de utile (menghibur dan mendidik) sekaligus memberikan pencerahan pada pembacanya agar lebih peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Tetapi syarat menuju capaian itu, teks sastra butuh untuk dimaknai. Dengan kata lain, teks sastra butuh dibaca oleh masyarakat. Berkaitan dengan perihal itu, sastra dalam industri budaya di Indonesia menjadi patut untuk dikaji kembali

Sastra dalam Industri Budaya

Secara umum, di Indonesia, sastra dalam industri budaya terbagi menjadi dua kubu: Kubu pertama adalah sistem industri market oriented, di mana secara jelas mengejar pengembangan modal. Kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memiliki corak tersendiri, karena memang secara dasar memiliki watak berbeda.

Sistem industri market oriented dilihat dari wataknya, melakukan kapitalisasi produksi untuk pengembangan modal, sehingga tentu membentuk konsekuensi logis bagi pengarang, yaitu berkompromi dengan kepentingan kapitalis.

Karya sebagai hasil produksi pemikiran dan kekreatifan pengarang, sering dikemas sesuai keinginan pasar yang dipersepsikan kapitalis, sehingga karya menjadi "komoditas". Idealisasi konsep penciptaan karya terpinggirkan dan penulis menjelma menjadi tenaga kerja produktif, karena karya ditujukan untuk popularitas dan pendapatan finansial reward yang relatif besar.

Sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal, dapat dikatakan sebagai kegiatan penerbitan yang tidak dimaksudkan untuk pengembangan modal. Biasanya dikelola oleh suatu komunitas lewat penyandang dana. Konsekuensi logis bagi pengarang, yaitu memberi kebebasan pada pengarang untuk menuliskan idealisasinya. Tetapi karya yang akan dipublikasi harus sesuai standar yang dipatok komunitas. Dalam hal ini pengarang tetap menjadi tenaga ahli produktif, karena idealisasi konsep penciptaan karya menyiratkan independensi dan keberanian akal pikiran.

Dari gambaran di atas, bila sastra difungsikan sebagai ide tandingan bagi penciptaan kebudayaan massa di tengah industri budaya yang terpecah dalam dua arah. Dalam hemat saya, didasarkan pada geliat aktivitas sastra akhir-akhir ini, ruang penciptaan karya sastra sebagai ide tandingan bagi penyeragaman identitas masyarakat berada dan berpotensi besar untuk digulirkan oleh komunitas-komunitas daerah yang tersebar di Indonesia. Sebab, komunitas daerah adalah basis terendah dari produksi karya sastra, sekaligus petunjuk kejanggalan-kejanggalan, bahaya, dan traumatis sosial paling dasar.

Daerah sebagai Tanda

Komunitas sastra daerah selain berfungsi sebagai ruang pertama bagi karya sastra untuk diperkenalkan pada masyarakat, juga merupakan ruang latihan individu di dalamnya untuk menulis secara matang dan tak kalah penting menjadi ruang yang menyatukan independensi akal pikiran dan keberanian berpikir sebagai idealisasi konsep penciptaan karya yang bertujuan menyuarakan kejanggalan-kejanggalan, bahaya, dan traumatis sosial di lingkungan sekitarnya.

Konsep penciptaan karya sastra di daerah setidaknya dapat mengangkat beberapa hal. Yaitu: A) Ideologi daerah, semacam yang dilakukan oleh Umar Kayam lewat cerpen panjangnya Sri Sumarah yang syarat muatan ideologis berkaitan tentang identitas perempuan Jawa. B) Menjadikan daerah sebagai teknik, semacam yang dilakukan oleh Rendra dalam Balada Orang-Orang Tercinta, yang syarat dengan muatan dolanan anak-anak Jawa, Ramadhan K.H. dalam Priangan si Jelita yang memanfaatkan tembang Sunda. Atau sutardji Calzoum Bachri yang mengeksplorasi mantra dalam O Amuk Kapak. C) Daerah sebagai inspirasi, semacam yang dilakukan Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi yang memaparkan sisi lain Bali terutama nasib perempuan di tengah diskriminasi kasta dan kemiskinan.

Jika yang terbentuk sesuai dengan angan ini, maka karya-karya komunitas daerah akan menggambarkan keresahan-kesulitan-kegetiran masing-masing daerah di Indonesia dan berpotensi membangun spirit masyarakat untuk menemukan identitas dirinya yang khas.

Dengan catatan: Ada keinginan pada masing-masing komunitas daerah untuk memproduksi karya sastra mereka secara massal. Jika tidak, karya sastra daerah akan tetap berada dalam posisi yang ringkih sebab tersaingi oleh kapitalisasi produk sastra yang bertujuan market oriented. Di mana produksi dilakukan secara massal dan diperkuat pencitraannya lewat kemasan kecanggihan tekhnologi media dan informasi.

Seringnya penyosialisasian karya sastra memang menjadi momok permasalahan bagi komunitas daerah. Tetapi saya kira masih terdapat banyak ruang alternatif yang bisa dikerjakan agar masyarakat membaca karya, semisal mendirikan penerbitan tersendiri atau memanfaatkan media posliterasi. Persoalannya, tinggal bagaimana pengarang-pengarang memaksimalkan diri dalam berkarya, sambil bersama komunitasnya menata strategi untuk mencari peluang-peluang pemasaran guna mengenalkan karya sastra pada masyarakat.

Jika kemudian masih ada karya sastra yang tak mendapat ruang, itu bukan berarti karya tersebut dikatakan gagal. Sebab pada akhirnya karyalah yang akan menjadi bukti kepada pembaca bagaimana sesungguhnya kualitas kesastrawanan seseorang dan di mana ia harus ditempatkan dalam sejarah sastra suatu bangsa.

Lampung Post Minggu, 5 Juli 2009

Abdul Aziz Rasjid,

Peneliti Beranda Budaya,
tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah.

Jumat, Juli 03, 2009

Kritik Sastra

Pledoi Puisi, Memori Sunyi
Oleh: Abdul Aziz Rasjid

bukan, bukan ciuman
yang tersisa di tubuhmu
tapi puisi paling sunyi

Demikian bunyi lirik dari puisi Teguh Trianton yang berjudul “Pledoi Puisi”, terkumpul dalam Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi Pendhapa 6 bertajuk Pledoi Puisi (diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah. 2009).

Saya mengasumsikan, kutipan lirik di atas adalah inti dari beberapa tema puisi yang terhimpun di Pledoi Puisi, khususnya puisi yang ditulis oleh beberapa penyair dari wilayah eks Karesidenan Banyumas yang disebut-sebut oleh Haryono Soekiran (kurator untuk antologi ini) sebagai penyair terkini Banyumas.

Pada mulanya adalah sunyi
Menikmati Pledoi Puisi, saya seakan diajak untuk menghikmati sunyi. Sunyi yang dihadirkan oleh penyair memang nyaris tak seragam, terkadang menjadi pangkal terkadang pula ujung dari sebuah kejadian: Entah itu berupa perpisahan, pertemuan atau ketidakpastian. Masing-masing sunyi memiliki asal usul tersendiri: Dari alam, hati, maupun puisi.

Seperti puisi pendek Teguh Trianton misalnya, “Meditasi Tepi Laut”, sunyi timbul di antara hingar-bingar pantai dan debur ombak. Menjadi ujung dari sebuah narasi tentang sepi.:
“di kelam hari/ di tepi laut/ aku tak menemukan apapun/ selain ombak pecah/ yang gaduh/ membuatku/ merasa / paling/ sepi.”

Lalu, apakah puisi dihadirkan guna memecah sunyi? Dari membaca puisi dalam antologi Pledoi Puisi, saya tahu bahwa terkadang puisi tidak ditujukan serupa itu. Sebab, puisi pun direaksi oleh penyair sebagai sunyi. Hal itu, nampak jelas dalam bait-bait berikut:

Teguh Trianton, “Pledoi Puisi”: “bukan, bukan kecupan/ yang selalu tertinggal di dada usai bercinta/ lantaran kau kian berjelaga setelah luka padam//…bukan, bukan ciuman/ yang tersisa di tubuhmu/ tapi puisi paling sunyi.”

Dalam puisi itu, meminjam istilah Sigmund Freud, puisi menjadi displacement: objek pemindahan dari sebuah energi yang sebenarnya ingin diarahkan oleh penyair pada suatu objek asal. Tetapi, objek asal tak mudah untuk dipahami sehingga penyair memerlukan puisi sebagai pengganti untuk pembelaan atas kegagalan. Puisi, lalu meruang bersama sunyi dan seakan dipercaya dapat menjelaskan sesuatu yang tak terungkapkan. Hal serupa, juga nampak dalam bait-bait puisi berikut:

Yosi M Giri, “Semesta Kata-kata”: “Kesederhanaan kata mengalir dari tubuhmu/ menjadi banjir bagi wajahmu di cermin/ dan puisi selalu lahir dari sepi yang menjelaskan kentongan/ degub jantung dan kau pun dengar, bukan?”

Hal yang sedikit berbeda, tampak pada puisi pendek Restu Kurniawan, “Ziarah Subuh”, dimana puisi di antara sunyi tak lagi difungsikan sebagai media pemindah yang dapat membantu pertahanan ego penyair untuk menghindari kecemasan. Puisi mengalami destruksi sehingga tak lagi dicitrakan sebagai keindahan.

“aku ingin menemukanmu/ sebelum engkau terlebih dahulu menemukanku/ di sebelah sajadah sebelum subuh/ berbentuk bangkai puisi.”

Namun, walau puisi telah berbentuk bangkai, ia tak ingin dihindari. Sebab puisi diyakini sebagai sebuah hal yang memuat penjelasan, sehingga aku lirik pun ingin menemukannya dan sunyi sebelum subuh dirasa tepat untuk pencarian itu. Sunyi pun menjadi semacam pintu untuk sebuah pertemuan. Pada bait-bait puisi berikut, hal serupa juga dapat kita rasakan:

Isni Ekowati, “Aku Malu”: Aku malu/ Titipkan sesal ini pada alam alam yang ada/ Ruang hampa telah lama membatu/ Menjerumus pada duka-duka.

Sunyi mempertemukan aku lirik pada rasa bersalah di suatu masa. Sehingga sunyi menimbulkan fiksasi: keterpakuan pada masa yang telah lewat yang bisa menimbulkan kecemasan, sehingga aku lirik berkata “adakah jiwa sanggup menahan pedih” dan aku lirik hanya dapat kembali menjadi semacam bocah kanak “bersembunyi di balik resah, tiada berhenti berkaca-kaca”.

Dalam Pledoi Puisi, sunyi adalah memori, sebuah tanggapan awal yang berkelindan bersama keberbagaian perasaan dimana puisi lalu dijadikan semacam pembelaan untuk mengaburkan kecemasan dan kegagalan. Dalam Pledoi Puisi, memori tentang sunyi mencapai puncaknya pada puisi Arif Hidayat “Menyukai Keheningan”, sebab sunyi menjadi pangkal sekaligus ujung, hamburan nuansa eros (daya untuk hidup) sekaligus thanatos (daya kematian) menjadikan sunyi terdampar di posisi yang “antara”.

…menyukai kesunyian/ hanya pesan yang kerap tumbuh/ di antara kulit memuai/ sampai akhirnya/ yang ada menjadi “ada”/ dan buah merambah ke tanah// tapi tidak, burung-burung/ seakan angan yang terus terbang/ melepaskan benang-benang/ ke tengah gumpalan awan/ seketika dan mendadak mendung// sementara keheningan masih berdiam/ berada di tepi jendela/ mengenang, merenung dan menghitung/ hari yang entah berakhir.

Daya ucap & daya pikat
Pada mulanya adalah sunyi, itulah sesuatu yang diujarkan oleh beberapa penyair dalam antologi Pledoi Puisi. Tapi, membicarakan penyair dan puisi, tentu pula membicarakan bagaimana sesuatu itu diujarkan: Perambahan pengucapan, pemanfaatan kebebasan untuk menghasilkan daya pikat.

Apa yang saya maksud sebagai daya pikat adalah metaforarisasi: Mekanisme pembubuhan sejumlah fungsi, makna, dan pesan pada sebuah materi. Dimana materi itu, dieksplorasi oleh penyair untuk dialihkan fungsinya. Dan yang saya anggap paling berhasil melakukan itu, adalah puisi berikut:

Arif Hidayat, “Aku Pohon Purba”: …kini aku tak punya bau tubuhmu/ tak punya kata-kata apalagi puisi untukmu/ hanya lumut-lumut keramat/ menghantui tidur panjangku/ dan seluruh bangunan kota akan melupakanku/…dalam kulitku/ layaknya pestisida yang merong-rong usiaku/ karena memang aku pohon purba yang buta.

Pada puisi itu, secara pribadi saya menemukan kejutan yang menyentak yang sangup menggedor pikiran saya untuk memasuki bentangan ruang tafsir agar saya memulai lagi interpretasi tentang sunyi dalam puisi. “Lumut-lumut keramat”, “kulitku layaknya pestisida”, “pohon purba yang buta” adalah perambahan pengucapan yang saya rasa unik, sebab fungsi asal materi dibubuhi fungsi baru sehingga penyair menjadi semacam pemancar yang mengirim pesan segar.

“Penyair Banyumas terkini”
Demikianlah pembacaan sederhana saya atas antologi Pledoi Puisi yang menghimpun beberapa karya penyair dari eks Karisidenan Banyumas. Sebagai catatan tambahan: Selain para penyair yang terhimpun dalam antologi Pledoi Puisi, tentu masih banyak penyair dari Banyumas yang karyanya patut untuk diamati.

Sebab, mereka mendapatkan publikasi yang cukup besar di berbagai media massa, terbitan alternatif maupun antologi puisi, semisal: W Choerul Cahyadi, Sigit Emwe, Rahmi Isriana, IH. Antassalam, Ryan Rachman, Heru Kurniawan, Alfiyan Harfi, Hizi Firmansyah dan Abdulloh Amir.

Suatu hari nanti, puisi sendiri yang akan membuktikan identitas kepenyairan mereka. Sebab pada akhirnya, puisi yang akan berbicara bagaimana sesungguhnya kualitas kepenyairan mereka, sekaligus menyeleksi dimana mereka harus ditempatkan dalam sejarah sastra suatu bangsa.

--> Buletin Sastra Littera, -Taman Budaya Jawa Tengah –TBJT- Edisi Mei-Juni 2009)

Abdul Aziz Rasjid
Peneliti Beranda Budaya

Tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah



Sastra dan Politik

Kredo Puisi dalam Pencitraan Politisi
Abdul Aziz Rasjid

Semoga masih terkenang di ingatan kita saat beberapa politisi negeri ini mengutip sebuah bait puisi untuk kepentingan mengkampanyekan diri. Salah satunya bait puisi Chairil Anwar “sekali berarti sudah itu mati”, dimanfaatkan seorang politisi untuk mempopulerkan namanya pada masyarakat. Bait puisi itu tak hanya terpampang pada spanduk-spanduk di tepi jalan atau surat kabar harian, kita juga menyaksikan bait puisi itu berkali-kali tampil di layar televisi.

Politisi lainnya lalu ikut serta menggunakan modus yang serupa, mulai dengan mengutip bait puisi dari luar negeri sampai dengan membuat pantun kreasi sendiri. Kemudian beberapa orang menanggapi aksi itu; diantara mereka ada yang menyimpulkan bahwa aksi itu adalah bentuk politisasi puisi, sebagian sebaliknya dengan menyatakan bahwa aksi itu merupakan puitisasi politik, bahkan ada pula yang melakukan interpretasi dengan menggunakan pandangan kritik seni.

Fenomena itu tentu tidak tiba-tiba jatuh dari angkasa, berkembangnya tekhnologi media dan informasi menjadi salah sebuah penyebabnya. Politisi yang membutuhkan diri untuk dikenal dan tampil dalam cakupan sosial yang luas tentu memfungsikan kemajuan itu semaksimal mungkin −melakukan beberapa eksperimentasi pembentukan citra diri− salah satunya menggunakan bait puisi sebagai daya tarik pembentuk imaji pada massa.

Puisi, ketika diambil alih guna mendongkrak citra diri sebagai pembentuk imaji tentu berpengaruh pula terhadap proses pemberadaban publik. Sebab puisi yang tampil dalam media kampanye itu, yang bersatu padu bersama layar juga gambar berpotensi untuk membentuk keadaan baru pada masyarakat, yaitu masyarakat sebagai subjek yang tidak lagi terkait dengan kenyataan aktual. Namun, secara perlahan-lahan masyarakat terjebak pada tipuan virtual dan identitas kedirian mereka pun terbentuk lewat jejaring komunikasi virtual.

Dari puisi ke pencitraan diri
Jika kita kaitkan gejala ini dengan kata-kata yang pernah diucapkan Pramoedya Ananta Toer di tahun 1952, bahwa kesusastraan digunakan sebagai “senjata utama” untuk mereka yang tak punya kekuasaan, tak punya uang, tak punya bedil dan tak punya Japamantera. Maka, apa yang diucapkan Pramoedya puluhan tahun lalu itu kini menjadi tak berlaku lagi.

Sebab perkembangan kebudayaan masa kini yang sangat terasa dikendalikan oleh kekuatan media dan informasi, pada akhirnya menciptakan posisi masyarakat di antara batas-batas imajiner suatu geografi kultural yang setiap saat bergerak, bergeser dan meluas. Kondisi ini dalam sisi positif memang meluaskan pengguna kesusastraan, namun sebaliknya dapat pula menghadirkan penyempitan dalam sisi yang negatif.

Kesusastraan yang diharapkan dapat menjadi alat untuk membentuk pemberadaban publik, bila dikaitkan pada fenomena yang sedang kita perbincangkan −politisi dan puisi− rentan untuk mengalami penyempitan fungsi, karena ketika sastra hanya diperankan sebagai penguat citra kedirian segelintir orang untuk mengejar kursi kekuasaan, sebenarnya hanya menjadikan sastra serupa merk dagang.

Apalagi puisi dalam fenomena ini tak lagi berdiri dalam keutuhan. Tapi sepenggal bait yang dikemas lalu dicampur adukkan dengan gambar, program, visi dan misi. Puisi menjadi semacam korespondensi untuk mendongkrak derajat pada masyarakat sehingga menghadirkan penandaan identitas −pembawa kemakmuran dan pemberadaban.

Dalam kasus ini, Jaques Lacan benar, bahwa bahasa yang berpotensi untuk menghadirkan gambaran akan kedirian seseorang berpeluang untuk melahirkan sebuah bentuk citraan imajiner. Namun, citraan itu tak lebih hanya bermuatan hasrat narsisitik yang sebenarnya berupa identitas yang ilusi.

Sebab puisi yang difungsikan dalam pola seperti itu, tak lagi mengambil jarak atau melakukan transedensi secara sadar dari jebakan sosial dan berbagai masalah budaya. Tetapi kesusastraan −secara sadar− di tangan politisi dijadikan alat untuk membentuk jebakan sosial karena difungsikan untuk mewujudkan kepentingan segelintir orang. Dan, dalam setiap jebakan yang tidak boleh dilupakan selalu ada kata ”bahaya” yang turut serta.

Pembelotan kenyataan aktual
Kembali pada bait puisi Chairil Anwar itu, kita setidaknya mendapati sebuah kredo puisi. Semacam prinsip yang juga pernah dipuisikan oleh Wiji Thukul, ”Hanya ada satu kata: Lawan!”. Dalam bait itu terpendam makna dari sebuah kenyataan aktual pada suatu masa, juga sebentuk laku sebagai oposisi binernya. Dimana Chairil mendapatkannya ketika ia meletakkan kemerdekaan lebih tingi dari kehidupan yang berada di tengah kuasa kolonial, sedang Wiji Thukul mendapatkannya ketika ia secara aktif memperjuangkan demokrasi di tengah kekuasaan yang represif dan otoriter pada masa orde baru.

Tapi, kredo puisi dalam kemasan politisi telah mengalami pergeseran dari kenyataan aktualnya. Dimana kenyataan aktual telah dibelotkan menjadi kepentingan individual, dan proses pembelotan itu dijalankan secara sistematis −teks yang pada mulanya difungsikan untuk memobilisasi kesadaran massa digubah menjadi mobilisasi pencitraan kekuasaan− sampai akhirnya dikemas dalam jalinan virtual semenarik mungkin.

Kita sama tahu, pembelotan itu memang tak langsung bersangkut dengan kehendak manusia, tetapi buah dari sistem kekuasaan yang otoriter. Dimana berbagai fenomena telah menunjukkan pada kita: tak jarang politisi itu setelah berhasil menjadi fungsionaris Negara, seringkali menjadi tunduk bahkan takluk untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sistem, walaupun perintah itu termasuk kejahatan.

Itulah banalitas kejahatan dalam kebudayaan virtual, sebuah kenyataan aktual yang melanda negeri ini. Dan kredo puisi dikemas dalam bentuk serupa apapun oleh siapapun, tetap menjalani takdirnya sebagai penentang yang abadi, sebab pemberontakan manusia lapar tak dapat ditindas/ aku menentang paham, doktrin, ideologi perongrong keutuhan dan keagungan manusia (M Fadjroel Rachman, “Hotel Salak, 1964-1966”).

--> Dimuat di Tabloid Minggu Pagi No 52 Th 61 Minggu V, Maret 2009

Abdul Aziz Rasjid
Peneliti Beranda Budaya
Tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah