Rumah dalam Lintas Lokalitas
Oleh Arif Hidayat
Oleh Arif Hidayat
Ada sesuatu yang menakjubkan dan menarik dalam bambu sebagai bahan dasar rumah tradisional masyarakat Jawa. Saat ini bambu dapat kita temukan di rumah makan gaul tren anak muda zaman sekarang.
Warung ABG (Ayam Bakar Goreng), Warung Pring, Rumah Makan Bambu adalah contoh rumah makan gaul di Purwokerto yang menggunakan bambu sebagai konstruksi bangunannya.
Fenomena bambu sebagai konstuksi bangunan dalam rumah makan gaul sengaja diciptakan dan direncanakan sebagai budaya tanding terhadap pergeseran global. Hal ini mengac

Konstruksi rumah makan yang rapi membuat keharmonisan suasana makan terbangun. Suasana sunyi dengan iringan musik mellow sengaja dipadukan dengan nuansa alam pedesaan untuk menarik perhatian pengunjung.
Dalam suasana yang natural, orang menjadi bebas bercerita, bercanda, dan saling terbuka. Orang dapat saling menghormati dan saling mendengarkan keluh kesah antarsesama. Di sini, orang bisa melupakan "penat" dari rutinitas. Tidak heran apabila anak muda yang sedang jatuh cinta (bersama pasangan kekasihnya) menjadi betah nongkrong dan menghabiskan banyak waktu dengan ngobrol santai ataupun bersenda gurau. Dalam rumah makan itu, mereka bisa beromantisme.
Di sisi lain, hadirnya bambu dalam konstruksi rumah makan merupakan ilustrasi dari pascakelangkaan dengan telah hilangnya desa. Rumah makan seperti Warung ABG (Ayam Bakar Goreng), Warung Pring, dan Rumah Makan Bambu merupakan lingkungan yang diciptakan menjadi alam. Orang menginginkan desa, tetapi desa sudah sangat jauh sekali dari impian yang mereka jangkau.
Apabila mencermati keadaan demikian, desa dalam sekarang ini sudah menjadi bagian dari perkotaan yang "mahal". Secara eksistensinya, desa di Jawa selalu identik dengan bambu, kayu, dan dedaunan yang menghijau. Namun, akhir-akhir ini dengan adanya penjarahan hutan secara masal dan minimnya reboisasi, maka bambu, kayu, dan dedaunan yang menghijau menjadi barang yang "langka". Sejauh ini, dulu bambu termasuk ikon rumah adat Jawa yang merupakan pelengkap dari kayu.
Rumah adat Jawa dengan pagar bambu memang sekarang sudah susah kita temukan. Orang Jawa kini lebih senang membuat rumah gedongan dengan alasan lebih kokoh dan tidak mudah rusak. Mereka lebih memilih berpikir praktis tinimbang bersusah payah membuat rumah dengan bambu.
Kalaupun kita temukan rumah adat Jawa dengan atap limas dengan berpagar bambu dan kayu itu sudah kumuh karena penghuninya rata-rata sudah lanjut usia: mereka sudah tidak mampu lagi merawat rumahnya. Jadi, rumah adat Jawa yang tersisa bukan merupakan pemertahanan warisan leluhur dengan kandungan nilai luhurnya, melainkan ketidakmampuan penghuni merenovasi rumah.
Sekarang bambu merupakan sendi budaya yang masih tersisa di era global ini. Konstruksi bambu dengan nuansa tradisionalitas yang dipadukan dengan menu makanan seperti juice, udang goreng, ayam bakar di rumah makan gaul merupakan realisme utopis dari persilangan wacana institusional untuk hadir dalam citra yang imanen.
Rasa kedamaian
Alasan tersebut muncul dari banyaknya orang yang mengklaim bahwa dengan kembali ke dalam masa lalunya, mereka akan menemukan rasa kedamaian. Adapun negara yang telah mampu kembali ke dalam sisi tradisional, namun tetap menjadi bagian dari modernitas, adalah Jepang. Beberapa rumah di Jepang tetap menggunakan kayu, meskipun di negara ini sering diguncang gempa.
Konstruksi rumah dengan kayu itulah yang juga kini dipertahankan di Wisma Seni di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo. Wisma seni ini sengaja menggunakan kayu untuk menampilkan estetika seni dan budaya. Pada hakikatnya, nilai-nilai luhur suatu budaya tertanam bersamaan dengan rasa kesadaran dalam diri apabila kita mencermati dampak buruk dari industri dan mesin. Tidak heran bila pelestarian bentuk seni-budaya dengan istilah "revitalisasi budaya" dalam akhir-akhir ini pun digembor-gemborkan.

Hanya saja tidak sepenuhnya masa lalu itu dapat kita temukan lagi di masa depan. Kita hanya bisa mempertahankan etika dan nilai-nilai yang masih tersisa di peradaban ini.
Oleh karena itu, yang terjadi sekarang ini adalah pencarian rasa kedamaian untuk menemukan sesuatu yang tertinggal dari peradaban. Desa sebagai metafora perkembangan budaya global hadir dalam estetika seni dan citra impian. Nuansa pedesaan seperti pantai ataupun perbukitan akan dikunjungi oleh orang-orang di waktu libur untuk menghilangkan penat.
Suasana klasik pada bambu, yang dipadukan dengan taman dan menu terkini, merupakan dialektika dari lintas lokalitas. Karena masyarakat sekarang sudah sangat heterogen, maka yang terjadi adalah percampuran antara tren-mode dengan "kenangan" agar seperangkat nilai kebajikan dapat memengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan sosial.
Forum Kompas Jateng - Jogja Senin, 27 Juli 2009
ARIF HIDAYAT
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
aktif di Beranda Budaya (Banyumas) Jawa Tengah
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
aktif di Beranda Budaya (Banyumas) Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar