Jumat, Mei 29, 2009

Catatan Festival Film

Berkah Purbalingga Film Festival
Oleh Teguh Trianton

PURBALINGGA Film Festival (PFF) adalah ajang kompetisi kreativitas dan potensi pelajar SMA/SMK/ MA se-Banyumas Raya (Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Banjanegara) dalam bidang seni sinematografi. Ajang ini menjadi salah satu elan positif bagi perkembangan industri kreatif di tingkat pelajar.

Di samping itu juga menjadi saluran katarsis bagi kejumudan kaum muda atas segala bentuk kemapanan dan ketidakmampuan lembaga seni dan budaya dalam mewadahi keragaman kreativitas.

Pada 2009, PFF telah memasuki usia ketiga sejak kali pertama digelar pada 2007. Dari dua tahun sebelumnya PFF telah berhasil menelurkan berbagai prestasi. Film-film garapan sineas Banyumas berhasil menduduki tempat terhormat di berbagai ajang festival tingkat regional, nasional, bahkan internasional.

Sekadar mengingatkan, beberapa catatan keberhasilan sineas Purbalingga antara lain; Senyum Lasminah garapan sutradara Bowo Leksono menjadi Film Terbaik II pada Festival Video Edukasi (FVE) 2007. Kemudian Pasukan Kucing Garong Fiksi Terbaik di ajang Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007. Film Adu Jago menjadi film dokumenter terbaik di ajang yang sama.

Kemudian dua film pendek Purbalingga, yaitu Peronika dan Metu Getih karya Heru C Wibowo bersama 16 film pendek Indonesia lain, mendapat kehormatan tampil di Festival Film Eropa bertajuk Europe on Screen 2007 (EOS 2007). Disusul film Boncengan dan Lengger Santi yang lolos dalam kompetisi Festival Film Pendek Konfiden 2007.

Capaian keberhasilan tersebut sesungguhnya sangat membanggakan, terutama bagi masyarakat Purbalingga. Betapa tidak? Dari hasil jerih payah penggalian ide kreatif anak-anak muda Purbalingga, telah mampu menggangkat daerahnya ke pentas nasional.

Tidak Diperhatikan
Sayang berbagai capaian tersebut ternyata tidak dibarengi dengan perhatian dari pemerintah daerah setempat. Sejarah perkembangan dunia sinematografi Purbalingga menunjukkan pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga hingga kini belum menunjukkan keseriusan perhatian dalam ranah realistis.

Selama ini perhatian yang diberikan pada komunitas pegiat film di Purbalingga yang tergabung dalam wadah Cinema Lovers Community (CLC) baru sebatas retorika. Pemerintah melalui dinas terkait —Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya— terlihat masih sungkan memasukkan sinematografi menjadi bagian dari program kerja mereka.

Ini terbukti dari tiga kali perhelatan PFF, yaitu pada 2007, 2008, dan 2009 yang berlangsung 21-23 Mei lalu, pemerintah tak terlibat langsung dalam proses penyelenggaraannya. Malah sebaliknya, beberapa hambatan penyelenggaraan PFF 2009 justru datang dari penguasa, seperti pemboikatan spanduk PFF yang dilakukan oleh aparat Satpol PP beberapa waktu lalu.

Nilai Strategis
Tiga kali penyelenggaraan PFF dalam tiga tahun berturut-turut merupakan kerja keras yang luar biasa. Apalagi tanpa campur tangan pemerintah. Terlihat ironis memang. Tapi barangkali inilah risiko kerja kebudayaan yang tidak dapat diharapkan menjadi sumber tambang pendapatan asli daerah (PAD).

Namun saya masih berharap pada pemerintah setempat untuk ambil bagian dalam penyelenggaraan PFF pada tahun-tahun mendatang. Saya optimis, mengingat PFF sebagai manifestasi perkembangan sinematografi sesungguhnya memiliki nilai strategis bagi pembangunan Purbalingga, dan Banyumas Raya pada umumnya.

Pertama, secara politis kehadiran industri kreatif —sinematografi— di Purbalingga membuka wacana baru dalam proses marketing politik. Secara administratif Kabupaten Purbalingga tidak hanya dikenal sebagai wilayah penghasil rambut, namun juga dikenal di pentas nasional sebagai kabupaten produsen film pendek.

Kedua, dari sisi diplomasi budaya film pendek garapan sineas Purbalingga mampu membawa seni tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal Purbalingga sejajar dengan seni tradisional dari daerah lain di Indonesia, bahkan dunia. Ini terjadi karena mindset film pendek Purbalingga konsisten mengangkat isu-isu lokal.

Sumbangan Besar
Ketiga, di wilayah edukatif, keberadaan PFF dan seni sinematografi ini memberikan sumbangan yang sangat besar. Dunia pendidikan Purbalingga mendapat referensi dan materi bahan ajar terkini (baca: kontemporer) untuk membangun karakter peserta didik.

Lebih jauh lagi, film (sinematografi) mengilhami stakeholder dan pelaku pendidikan untuk lebih kreatif menciptakan metode dan bahan ajar berbasis multimedia. Ini adalah terobosan baru di Purbalingga.

Keempat, secara ekonomis kehadiran industri kreatif ini ternyata telah mampu mengantarkan pegiat film pendek untuk berkiprah di kancah industri kreatif yang komersial. Beberapa sineas Purbalingga telah terlibat dalam penggarapan film-film komersil, penyutradaraan iklan, videografi, video klip dan sebagainya.

Di sisi lain, berkembangnya sinematrografi di Purbalingga juga telah ikut mengurangi pengangguran. Selain terlibat dalam proyek film besar, para sineas juga banyak mendapat job untuk dokumentasi upacara hajatan perseorangan, lembaga bahkan hajatan pemerintah. Mereka mengisi lapangan pekerjaan di sektor jasa.

Kelima, kehadiran sinematografi ini dapat menjadi media komunikasi antara rakyat dengan pemerintah (eksekutif dan legislatif). Potensi kreativitas yang berbasis kearifan dan isu-isu lokal dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan pembangunan.

Sesungguhnya jika pemerintah telah melihat bahwa dunia sinematografi di Purbalingga memiliki nilai strategis dalam proses pembangunan, maka pada tahun-tahun mendatang pemerintah tidak segan dan sungkan lagi terlibat secara aktif menumbuhkembangkan industri kreatif.

Ini dapat dilakukan dengan mengambil alih sepenuhnya pembiayaan penyelenggaraan PFF. Atau bekerja bersama (ambil bagian) untuk perhelatan PFF. Di wilayah politik, pemerintah sebenarnya dapat membuat regulasi perfilman di Purbalingga.

Dalam bidang pendidikan, pemerintah dapat memasukan sinematografi menjadi salah satu kegiatan ektrakurikuler di sekolah. Bahkan pemerintah dapat memfungsikan lembaga kesenian dan kebudayaan yang ada sebagai salah satu pilar kebudayaan yang dinamis, akomodatif, dan responsif. (35)

— Teguh Trianton, periset Beranda Budaya (Banyumas)
— WACANA Suara Merdeka, 28 Mei 2009



Sabtu, Mei 23, 2009

Ketika Sajak Kembali Menjejak

Dharmadi: Ketika Sajak Kembali Menjejak
Abdul Aziz Rasjid

Empat tahun sesudah terbitan Aku Mengunyah Cahaya Bulan, muncullah sekarang: Dharmadi, kumpulan puisi Jejak Sajak (diterbitkan Kancah Budaya Merdeka: Purwokerto. 2008). Sebagian sajak-sajak yang termuat didalamnya tak dapat dikatakan muda, sebab ditulis dari rentang waktu 1994-2000, dan sebagian memang dapat dikatakan baru, sebab ditulis dari rentang waktu 2006-2007.

Membaca Jejak Sajak, secara umum mendapati jeritan jiwa Dharmadi sebagai penyair, khususnya keresahannya terhadap keadaan zaman. Jeritan itu semakin menguat, karena ia meyakini, bahwa zaman hari ini penuh kejanggalan juga kemuraman.

Kejanggalan dan kemuraman adalah situasi kengerian. Sebuah suasana yang melahirkan kecemasan. Sebuah suasana yang melahirkan kecemasan. Namun, tidak seperti kecemasan normal hanya melanda seseorang akibat harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Kejanggalan dan kemuraman yang disuguhkan Dharmadi timbul secara massal.

Akibat dari hadirnya kepercayaan berlebihan pada citraan imajiner dan simbolik yang diusung benda-benda di tengah kehidupan, untuk selanjutnya menciptakan kekaburan bahkan kematian hakikat kedirian. Situasi itu namapak jelas dalam bait-bait puisi Dharmadi, antara lain:

“Sejarah Yang Berdarah”: anak-anak mengais-ngais sisa waktu/ dalam timbunan reruntuhan benda-benda/ kehilangan ruh dunia.

“Penari Bar”: bagai ular/ geliat tubuhmu dalam mainan cahaya/ dan patukan-patukanmu mengucurkan darah/ yang menggelegak dari orang-orang/ yang melupakan realitas dunia.
“Sajak Gelombang”: aku mengalir/ dalam mainan/ ketidak-pastian.

Citraan-citraan imajiner dan simbolik yang telah mengaburkan hakekat kedirian manusia, lalu dipahami Dharmadi sebagai sebuah tipuan. Dalam bait penutup “Sajak Bunga Plastik” Dharmadi menuliskannya begini: apalagi yang bisa dirasa-rasa/dari kehidupan/ yang imitasi.

Citraan
Dari manakah citraansimbolik maupun imajiner yang merupakan tipuan itu timbul? Jika dikait-kaitkan, Milan Kundera akan menjawab pertanyaan itu sebagai kemenangan “imagologi”, ketika ideologi dikalahkan oleh realitas dan realitas ternyata bisa dikalahkan oleh image yang dibangun dan disebarkan oleh para pakar “imagologi”, seperti: Perancang busana, ahli kosmetik, dan media massa.

Beberapa diksi dari produk “imagologi”, terdapat pula dalam beberapa bait puisi Dharmadi, dan saya kira pengembangan diksi-diksi itu senada dengan apa yang diungkapkan Milan Kundera (Bold dari saya: AAR).

“Hari-Hari Berkabut ”: ada suara kunci magazine terbuka/ masihkah ada yang tega ingin berburu/ di kegelapan seperti ini?

“Penari Bar”: dj memainkan irama yang berloncatan/ menyihir suasana/ ingar dalam kekosongan.

“Ketika Naik Bus Transjakarta”: ketika sesekali naik bus transjakarta/ mata lelakiku kadang iseng atau tak sengaja menatap payudara/ di dada penumpang perempuan/ yang mengintip lewat model pakaiannya/ ah, betapa subur dan indahnya:....

Kembali pada Milan Kundera, jika ia menyebut zaman itu lahir akibat hadirnya kemenangan “imagologi”. Saya akan menyebut zaman itu sebagai “zaman kemasan” (merujuk pada Goenawan Mohammad), sebuah zaman dimana terdapat pewadahan bertingkat-tingkat, yang sebenarnya merupakan tempat kurang nyaman bagi siapa saja yang menghendaki harus selalu ada pegangan yang teguh, yang menyeluruh, yang utuh, suatu proses yang entah kapan dimulai dan entah kapan berakhir.

Lalu, sebagai manusia yang menyadari adanya seretan kuat arus zaman kemasan. Pada siapa Dharmadi berpegang? Penjelasan ini terdapat jelas dalam dua puisi pendeknya.

“Kesejatian”: kau kosongkan pikir-rasa/ dari mimpi-mimpi imitasi;/ Kuisikan sejatiKu/ sejatimu menjadi.
“Meditasi”: masuklah dalam nadirku;/ Aku dalam ada ketiadaanmu.

Dari banyaknya kejanggalan, kemuraman, yang terakibat dari tipuan citraan zaman kemasan. Sebagai penyair, Dharmadi mengambil sebuah jalan, yaitu perenungan mendalam untuk menemukan hakekat kesejatian, dengan mencoba kembali pada kondisi asali pra-imajiner dan pra-simbolik untuk kemudian menyatu padu, berpegang pada penciptanya yang satu.
Apakah Dharmadi sanggup?

Dugaan Awal
Sekalipun Dharmadi mencoba merenungi lalu menjawab lewat puisi bahwa citraan imajiner dan simbolik dapat dilepaskan dengan kembali pada hakekat kesejatian diri, saya masih menyangsikan. Karena puisi-puisi yang menjejak dalam kumpulan Jejak Sajak, yang pada mulanya terselimuti ketidak percayaan diri, menjadi percaya diri sebab hadirnya penilaian —kesan-kesan kawan— yang mengubah citraan puisi.

Dua perasaan kedirian yang kontras itu, tertuliskan dalam kata pengantaer yang ia beri judul “pada suatu ketika”:
“Puisi- puisi saya tidak layak untuk dimunculkan saat ini, di tengah bertebaran puisi-puisi bagus karya para penyair yang masih muda-muda. Saya sendiri mengagumi karya mereka, mengakui tak mungkin mampu menulis puisi seindah dan sebagus itu.”

Namun, kata-kata sides Sudyarto Ds, “Anda mesti muncul lagi”, pesan Medy Loekito lewat ponsel “hebat, euih, jauh meloncat”, komentar Sihar Ramses Simatupang “Belum tentu puisi yang ditolak di media itu puisi buruk”, serta kata-kata dari Adri Darmadji Woko “terbitkan saja, Dhar”, membangun kepercayaan diri, dan saya membulatkan tekad agar bendel kumpulan puisi itu harus menjadi buku. Entah bagaimana caranya dan bagaimana ujudnya.

Bagi saya pribadi, proses keberadaan Jejak Sajak yang lahir hanya atas dasar kesan-kesan, secara bersamaan, dalam ketaksadaran Dharmadi sesungguhnya telah mewujud sebagi hasrat diri yang narsistik, yang sekaligus pula menyatakan kehendakan bahwa harus selalu ada pegangan yang teguh, menyeluruh, utuh sebagai penguat idealisasi akan identitas diri yang kompleks. Perubahan itu, saya anggap tak senada dengan pesan puisinya yang mencoba lepas dari segala citraan imajiner dan simbolik untuk menemukan hakekat diri yang sejati.

Dari kata pengantar itu serta isi puisi yang disampaikan Dharmadi. Sebagai pembaca Jejak Sajak, saya berharap agar semua yang dituliskan Dharmadi pada akhirnya juga dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti lontaran yang dituliskan Acep Zamzam Noor —tanpa ada kepentingan membandingkan kebesaran kepenyairan pada keduanya— pada kata pengantar kumpulan puisi Jalan Menuju Rumahmu (diterbitkan Grasindo: Jakarta. 2004): Puisi ternyata tidak hanya minta untuk selalu dituliskan, tetapi juga untuk dilakukan. Untuk menjadi perbuatan sehari-hari.

Akhirnya, saya kira Dharmadi pun menyakini hal serupa, karena seperti yang ia tuliskan pada bait dua puisi penutup Jejak Sajak “Kembali Pulang Merapat ke Bayang”, ia menyatakan: …telah ditemukannya jawab tentang ‘apa itu hidup’/ pada laku yang memberi/ ia pun semakin paham tentang mujur malang.

Purwokerto, Juli-November 2008
Abdul Aziz Rasjid
Peneliti Beranda Budaya
Tinggal di Purwokerto


Sumber: SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu Legi 14 Desember 2008 (16 Besar 1941)

Teori Gandrung Gus Mus

Belajar Teori “Gandrung”-nya Gus Mus
Oleh : ARIF HIDAYAT




Judul : Gandrung Cinta
Penulis : Abdul Wachid BS
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xvii + 261


SELAIN sebagai ulama besar di Indonesia, A. Mustofa Bisri (Gus Mus, panggilan akrabnya) juga dikenal sebagai penyair yang ternama dalam ranah kesusastraan Indonesia. Hal itu terbukti dengan telah ditebitkannya tujuh buku puisi, salah satunya yaitu sajak-sajak cinta gandrung, yang kemudian dibedah kandungan makna serta paradigma berpikirnya oleh Abdul Wachid BS.

Puisi-puisi Gus Mus dalam sajak-sajak cinta gandrung adalah ekspresi mengenai cinta. Namun cinta tersebut bukanlah cinta antara manusia dengan manusia, melainkan ekspresi cintanya dengan Tuhan. Abdul Wachid BS menyakini bahwa kandungan makna dalam sajak-sajak cinta gandung berkaitan dengan etika tasawuf karena terdapat konsep cinta sebagai perwujudan dari tingkatan ruhani, yang dalam tradisi sufisme disebut cinta Illahiah (mahabbah).

Dalam ilmu tasawuf, cinta ilahi diyakini sebagai tingkatan yang tinggi. Pemahaman mengenai cinta illahi sangat disadari oleh seorang yang sedang menempuh kehidupan ruhani karena dengan cinta dapat memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan tanpa mengenal lelah, khususnya dalam beribadah. Pada pemahaman inilah ekspresi cinta seirama dengan keimanan seseorang sehingga memiliki tingkatan tertentu, sesuai dengan kadar keikhlasannya. Sementara itu, representasi dari cinta sebagai pengalaman ruhani mendaki menuju Yang Satu, dan dituliskannya dalam bentuk puisi.

Dari puisi itulah akan diketahui sebatas apakah seorang sufi melintasi sepiritualitas, bahkan bagian dari ritus peribadatannya. Ketika melalui pengalaman religius yang transenden, seorang sufi mendapat pengalaman yang hanya bisa diserap lewat indra, sehingga ungkapannya menjadi simbolik. Dengan berdasar pada asumsi Ibn’ Arabi, Abdul Wachid BS menyatakan bahwa pegalaman religius memerlukan bahasa simbolik, dan hal itu juga terkandung dalam al-Quran.

Karenannya, seorang sufi yang tidak bercita-cinta menjadi penyair dapat menuliskan puisi dengan bahasa-bahasa puitis. Pengalaman religius itulah yang membuat bahasa puisi menjadi indah dengan sendirinya.


Kesederhanaan yang Menipu

Akan tetapi, biasanya, puisi-puisi sufi sering diabaikan oleh orang awam. Penyebabnya, kegagalan memahami kode budaya dalam dunia sufi. Dengan kata lain bahwa bahasa yang tampaknya sederhana tersebut tidak dipahamai secara hermeneutik. Pada tipikalis puisi-puisi semacam ini, oleh Abdul Wachid BS disebut sebagai “kesederhanaan yang menipu” (deceptive simplicity).

“Kesederhaan yang Menipu” sungguh sangatlah menarik untuk kita baca, dan muncul menjadi teori baru dalam kesusatraan Indonesia karena selama ini kebanyakan orang berasumsi bahwa puisi haruslah sulit-sulit. Pengakuan bahwa puisi tak harus memperindah kata-kata juga diungkapkan oleh Gus Mus dalam sajak “Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata”: ‘Aku tak akan memperindah kata-kata/Karena aku hanya ingin menyatakan/Cinta dan Kebenaran//Adakah yang lebih indah dari/ Cinta dan kebenaran/Maka memerlukan kata-kata indah’.

Saya sendiri sependapat dengan ungkapan “kesederhanaan yang menipu”, terlebih lagi ungkapan tersebut mengacu kepada kerangka berpikir sufi yang bersahaja. Pola kehidupan sufi yang telah menemukan jati dirinya cenderung tidak berlebihan dalam memandang kehidupan. Hal itu dikarenakan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui sehingga hambanya tidak perlu muluk-muluk dalam mengekspresikan cinta dan kebenaran.

Dalam buku ini, teori mengenai “kesederhanaan yang menipu”-lah hal yang paling menonjol dan baru, karena teori tersebut belum pernah dituliskan oleh kritikus-kritikus di Indonesia, bahkan di dunia. Selama ini beberapa kritikus di Indonesia, dalam mengkaji puisi-puisi, hanya mencari maknanya, namun melewati apa yang dimilikinya sebagai keistimewaan. Oleh karena itu, buku karya Abdul Wachid BS ini layak dibaca, tidak hanya untuk para sastrawan, tetapi juga dosen dan guru sastra untuk diterapkan dalam bidang pengajaran melainkan juga untuk kalangan umum.


ARIF HIDAYAT PURBALINGGA nama aslinya Arif Hidayat, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Tulisannya pernah dipubikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi dan Majalah Obsesi. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar dan Catatan Perjalanan. Antologi esainya The Spirit of Love. Kini dia menjadi koordinator komunitas Bunga Pustaka di Dukuhwaluh. Selain menulis dia adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alamatnya Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: dayat_pr@yahoo.com

Senin, Mei 04, 2009

Sastra Adiluhung

Esensi dan Orientasi
"Sastra Adiluhung"
Oleh Arif Hidayat


Derasnya arus modernisasi di Indonesia tidak hanya berdampak pada tatanan ekonomi dan politik saja. Modernisasi juga telah mengikis sendi-sendi sastra. Hal ini tampak dengan adanya gagasan mengenai "sastra adiluhung" dalam ranah kesuastraan Indonesia. Memang, pernyataan mengenai sastra adiluhung tidaklah se-populer istilah sastra sufi dan sastra profetik.

Dan, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca meninjau ulang mengenai gagasan sastra adiluhung di Indonesia yang masih kontradiktif. Pasalnya, belum ada batasan yang jelas untuk memformulasikan apa itu sastra adiluhung. Tulisan ini tidak bermaskud untuk membuat dikotomi, tapi lebih tertuju pada ruang dan lingkup sastra adiluhung dalam khazanah kesusastraan Indonesia.


Selama ini, pandangan terhadap sastra adiluhung lebih dititikberatkan perhatiannya pada eksistensi karya sastra yang mampu bertahan terhadap zaman sehingga sampai sekarang masih dikenal oleh masyarakat, seperti Mahabarata dan Ramayana, Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia. Akan tetapi, ada yang menyebut sastra adiluhung diorientasikan pada kandungan moralitas yang terepresentasi dalam karya sastra. Itulah kontradiksi mengenai sastra adiluhung yang sampai sekarang menjadi polemik. Padahal, apabila dipandang secara eksistensi dan kandungan moralitasnya banyak karya sastra yang lebih hebat daripada Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia.


Menurut saya, ada distingsi historis yang menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa hakekat adiluhung tertuju pada moral(itas) dan norma zaman dahulu. Anggapan tersebut tidak salah, namun berdasarkan esensinya, adiluhung merupakan falsafah luhur dan mulia yang substansinya diturunkan dari budaya terdahulu ke masa sekarang.


Dalam buku buku Adiluhung tentang yang Suci dan Sejati (Ch'ing-chen ta-hsue) karya Wang Tai, yang diteliti oleh Sachiko Murata, mengungkapkan esensi adiluhung dalam konteks Cina. Buku tersebut ditulis oleh Wang Tai yang menyelaraskan dengan prinsip Konfusian, dan Tao, dengan ajaran Islam. Wang Tai dengan seksama membuat dialog ajaran tersebut dengan prinsip kebenaran yang dimiliki Islam. Dalam praktiknya, ada transformasi budaya dari prinsip Konfusian, dan Tao yang mengandung kearifan ke dalam nilai Islam pada masa Wang Tai.


Di Indonesia, kita sering melihat adanya asimilasi budaya dan adat istiadat dengan falsafah Islam. Hal ini terutama dipelopori Wali Songo di Indonesia dalam menyebarkan ajaran Islam. Hasil dakwah yang telah dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga misalnya, mereka berdua berdakwah melalui seni dan budaya dengan menggunakan wayang kulit sebagai medianya. Fonemena tersebut mengilustrasikan akan peristiwa adiluhung, sedangkan sastra adiluhung mengungkapkan fonemena asimilasi seperti itu.


Saya menganalogikan bahwa jika yang dikatakan sastra sufi yakni karya sastra yang mempersoalkan tauhid, dan sastra profetik mengungkap semangat kenabian, maka esensi sastra adiluhung tertuju kepada karya sastra yang membicarakan pelestarian budaya luhur dan mulia (kearifan).


Di sini dengan jelas ada perbedaan yang signifikan mengenai "sastra adiluhung" dan "karya sastra yang adiluhung". Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia secara esensinya termasuk karya sastra yang adiluhung karena karya tersebut dipertahankan eksistesinya sebagai karya yang mengandung moralitas tinggi.


Singkat kata, apa yang disebut sastra adiluhung lebih terletak pada bagaimana karya sastra tersebut mampu mengeksplorasi adanya sisi asimilasi budaya dengan kebudayaan sekarang. Dalam permasalahan ini, yang ditekankan mengenai nilai-nilai luhurnya (kearifan) sebagai falsafah hidup yang mampu membentuk keperibadian. Sampai di sini, tulisan ini telah mengantarkan kita tentang dasar sastra adiluhung.


Dengan kuatnya arus modernisasi, maka falsafah luhur dan mulia yang dipertahankan dari zaman dahulu hingga sekarang eksistensinya mulai memudar. Inilah yang sebenarnya secara garis besar mewadahi paradigma sastra adiluhung. Peran dan fungsi yang melatarbelakangi akan hal ini terdapat pada masa transisi budaya-dalam modernisasi ini.


Perlu adanya aksentuasi kearifan yang lebih eksploratif. Sudah semestinya kita sebagai manusia, menghargai budaya sebagai pembentuk moralitas dan keperibadian. Karena itu, sangatlah perlu meninjau ulang apa yang telah dicapai dalam budaya kita, pembentuk watak dan keperibadian secara sejarah, sebagai metode untuk mengoreksi perbuatan apa saja yang telah kita lakukan dalam beberapa waktu ini. Untuk itu, sastra adiluhung merupakan jawaban yang tepat.


Sastra adiluhung secara substantif mengilustrasikan dinamika sosial yang mengalir lewat sublimasi sastrawan. Sublimasi ini terjadi dari dua dimensi, yaitu yang ragawi dan rohani. Yang ragawi berdasarkan panca indra atas konstruks sosial yang abstrak, sedangkan yang rohani berdasarkan kepekaan perasaan mengenali gejala-gejala kehidupan.


Inilah peran sastra sebagai dunia yang dinamis, di mana orang mampu menyelaminya secara bebas dan berbagai variasi, maka sastra memiliki nilai yang beragam. Tidak heran apabila Jhon F. Kennedy mengatakan apabila politik bengkok, sastra yang meluruskan. Pendapat itu karena banyaknya nilai-nilai kemanusiaan dan pesan moral yang ditawarkan di dalam karya sastra.

Adapun secara proses, karya sastra tersusun atas filosofi kehidupan yang menyatu dengan pengalaman empiris. Karenanya, ungkapan seperti "daun gugur dari tangkainya" adalah ilustrasi konkrit yang memiliki kandungan falsafah akan adanya sesuatu hal yang abstrak yaitu kematian.


Jadi, tidak ada salahnya untuk merenungi nilai-nilai luhur dan mulia sehingga kita tidak timbul-tenggelam menghadapi kuatnya arus modernisasi yang cenderung kapitalis. Adapun konsep adiluhung yang mewujud dalam karya sastra merupakan fonemena (realitas) dan dapat dijadikan studi lanjut yang komprehensif dan ilmiah. ***


Suara Karya Sabtu, 2 Mei 2009
Arif Hidayat, Penyair, Periset Beranda Budaya (Banyumas)