Belajar Teori “Gandrung”-nya Gus Mus
Oleh : ARIF HIDAYAT
Oleh : ARIF HIDAYAT

Judul : Gandrung Cinta
Penulis : Abdul Wachid BS
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xvii + 261
SELAIN sebagai ulama besar di Indonesia, A. Mustofa Bisri (Gus Mus, panggilan akrabnya) juga dikenal sebagai penyair yang ternama dalam ranah kesusastraan Indonesia. Hal itu terbukti dengan telah ditebitkannya tujuh buku puisi, salah satunya yaitu sajak-sajak cinta gandrung, yang kemudian dibedah kandungan makna serta paradigma berpikirnya oleh Abdul Wachid BS.
Puisi-puisi Gus Mus dalam sajak-sajak cinta gandrung adalah ekspresi mengenai cinta. Namun cinta tersebut bukanlah cinta antara manusia dengan manusia, melainkan ekspresi cintanya dengan Tuhan. Abdul Wachid BS menyakini bahwa kandungan makna dalam sajak-sajak cinta gandung berkaitan dengan etika tasawuf karena terdapat konsep cinta sebagai perwujudan dari tingkatan ruhani, yang dalam tradisi sufisme disebut cinta Illahiah (mahabbah).
Dalam ilmu tasawuf, cinta ilahi diyakini sebagai tingkatan yang tinggi. Pemahaman mengenai cinta illahi sangat disadari oleh seorang yang sedang menempuh kehidupan ruhani karena dengan cinta dapat memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan tanpa mengenal lelah, khususnya dalam beribadah. Pada pemahaman inilah ekspresi cinta seirama dengan keimanan seseorang sehingga memiliki tingkatan tertentu, sesuai dengan kadar keikhlasannya. Sementara itu, representasi dari cinta sebagai pengalaman ruhani mendaki menuju Yang Satu, dan dituliskannya dalam bentuk puisi.
Dari puisi itulah akan diketahui sebatas apakah seorang sufi melintasi sepiritualitas, bahkan bagian dari ritus peribadatannya. Ketika melalui pengalaman religius yang transenden, seorang sufi mendapat pengalaman yang hanya bisa diserap lewat indra, sehingga ungkapannya menjadi simbolik. Dengan berdasar pada asumsi Ibn’ Arabi, Abdul Wachid BS menyatakan bahwa pegalaman religius memerlukan bahasa simbolik, dan hal itu juga terkandung dalam al-Quran.
Karenannya, seorang sufi yang tidak bercita-cinta menjadi penyair dapat menuliskan puisi dengan bahasa-bahasa puitis. Pengalaman religius itulah yang membuat bahasa puisi menjadi indah dengan sendirinya.
Kesederhanaan yang Menipu
Akan tetapi, biasanya, puisi-puisi sufi sering diabaikan oleh orang awam. Penyebabnya, kegagalan memahami kode budaya dalam dunia sufi. Dengan kata lain bahwa bahasa yang tampaknya sederhana tersebut tidak dipahamai secara hermeneutik. Pada tipikalis puisi-puisi semacam ini, oleh Abdul Wachid BS disebut sebagai “kesederhanaan yang menipu” (deceptive simplicity).
“Kesederhaan yang Menipu” sungguh sangatlah menarik untuk kita baca, dan muncul menjadi teori baru dalam kesusatraan Indonesia karena selama ini kebanyakan orang berasumsi bahwa puisi haruslah sulit-sulit. Pengakuan bahwa puisi tak harus memperindah kata-kata juga diungkapkan oleh Gus Mus dalam sajak “Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata”: ‘Aku tak akan memperindah kata-kata/Karena aku hanya ingin menyatakan/Cinta dan Kebenaran//Adakah yang lebih indah dari/ Cinta dan kebenaran/Maka memerlukan kata-kata indah’.
Saya sendiri sependapat dengan ungkapan “kesederhanaan yang menipu”, terlebih lagi ungkapan tersebut mengacu kepada kerangka berpikir sufi yang bersahaja. Pola kehidupan sufi yang telah menemukan jati dirinya cenderung tidak berlebihan dalam memandang kehidupan. Hal itu dikarenakan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui sehingga hambanya tidak perlu muluk-muluk dalam mengekspresikan cinta dan kebenaran.
Dalam buku ini, teori mengenai “kesederhanaan yang menipu”-lah hal yang paling menonjol dan baru, karena teori tersebut belum pernah dituliskan oleh kritikus-kritikus di Indonesia, bahkan di dunia. Selama ini beberapa kritikus di Indonesia, dalam mengkaji puisi-puisi, hanya mencari maknanya, namun melewati apa yang dimilikinya sebagai keistimewaan. Oleh karena itu, buku karya Abdul Wachid BS ini layak dibaca, tidak hanya untuk para sastrawan, tetapi juga dosen dan guru sastra untuk diterapkan dalam bidang pengajaran melainkan juga untuk kalangan umum.
ARIF HIDAYAT PURBALINGGA nama aslinya Arif Hidayat, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Tulisannya pernah dipubikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi dan Majalah Obsesi. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar dan Catatan Perjalanan. Antologi esainya The Spirit of Love. Kini dia menjadi koordinator komunitas Bunga Pustaka di Dukuhwaluh. Selain menulis dia adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alamatnya Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: dayat_pr@yahoo.com
Penulis : Abdul Wachid BS
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xvii + 261
SELAIN sebagai ulama besar di Indonesia, A. Mustofa Bisri (Gus Mus, panggilan akrabnya) juga dikenal sebagai penyair yang ternama dalam ranah kesusastraan Indonesia. Hal itu terbukti dengan telah ditebitkannya tujuh buku puisi, salah satunya yaitu sajak-sajak cinta gandrung, yang kemudian dibedah kandungan makna serta paradigma berpikirnya oleh Abdul Wachid BS.
Puisi-puisi Gus Mus dalam sajak-sajak cinta gandrung adalah ekspresi mengenai cinta. Namun cinta tersebut bukanlah cinta antara manusia dengan manusia, melainkan ekspresi cintanya dengan Tuhan. Abdul Wachid BS menyakini bahwa kandungan makna dalam sajak-sajak cinta gandung berkaitan dengan etika tasawuf karena terdapat konsep cinta sebagai perwujudan dari tingkatan ruhani, yang dalam tradisi sufisme disebut cinta Illahiah (mahabbah).
Dalam ilmu tasawuf, cinta ilahi diyakini sebagai tingkatan yang tinggi. Pemahaman mengenai cinta illahi sangat disadari oleh seorang yang sedang menempuh kehidupan ruhani karena dengan cinta dapat memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan tanpa mengenal lelah, khususnya dalam beribadah. Pada pemahaman inilah ekspresi cinta seirama dengan keimanan seseorang sehingga memiliki tingkatan tertentu, sesuai dengan kadar keikhlasannya. Sementara itu, representasi dari cinta sebagai pengalaman ruhani mendaki menuju Yang Satu, dan dituliskannya dalam bentuk puisi.
Dari puisi itulah akan diketahui sebatas apakah seorang sufi melintasi sepiritualitas, bahkan bagian dari ritus peribadatannya. Ketika melalui pengalaman religius yang transenden, seorang sufi mendapat pengalaman yang hanya bisa diserap lewat indra, sehingga ungkapannya menjadi simbolik. Dengan berdasar pada asumsi Ibn’ Arabi, Abdul Wachid BS menyatakan bahwa pegalaman religius memerlukan bahasa simbolik, dan hal itu juga terkandung dalam al-Quran.
Karenannya, seorang sufi yang tidak bercita-cinta menjadi penyair dapat menuliskan puisi dengan bahasa-bahasa puitis. Pengalaman religius itulah yang membuat bahasa puisi menjadi indah dengan sendirinya.
Kesederhanaan yang Menipu
Akan tetapi, biasanya, puisi-puisi sufi sering diabaikan oleh orang awam. Penyebabnya, kegagalan memahami kode budaya dalam dunia sufi. Dengan kata lain bahwa bahasa yang tampaknya sederhana tersebut tidak dipahamai secara hermeneutik. Pada tipikalis puisi-puisi semacam ini, oleh Abdul Wachid BS disebut sebagai “kesederhanaan yang menipu” (deceptive simplicity).
“Kesederhaan yang Menipu” sungguh sangatlah menarik untuk kita baca, dan muncul menjadi teori baru dalam kesusatraan Indonesia karena selama ini kebanyakan orang berasumsi bahwa puisi haruslah sulit-sulit. Pengakuan bahwa puisi tak harus memperindah kata-kata juga diungkapkan oleh Gus Mus dalam sajak “Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata”: ‘Aku tak akan memperindah kata-kata/Karena aku hanya ingin menyatakan/Cinta dan Kebenaran//Adakah yang lebih indah dari/ Cinta dan kebenaran/Maka memerlukan kata-kata indah’.
Saya sendiri sependapat dengan ungkapan “kesederhanaan yang menipu”, terlebih lagi ungkapan tersebut mengacu kepada kerangka berpikir sufi yang bersahaja. Pola kehidupan sufi yang telah menemukan jati dirinya cenderung tidak berlebihan dalam memandang kehidupan. Hal itu dikarenakan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui sehingga hambanya tidak perlu muluk-muluk dalam mengekspresikan cinta dan kebenaran.
Dalam buku ini, teori mengenai “kesederhanaan yang menipu”-lah hal yang paling menonjol dan baru, karena teori tersebut belum pernah dituliskan oleh kritikus-kritikus di Indonesia, bahkan di dunia. Selama ini beberapa kritikus di Indonesia, dalam mengkaji puisi-puisi, hanya mencari maknanya, namun melewati apa yang dimilikinya sebagai keistimewaan. Oleh karena itu, buku karya Abdul Wachid BS ini layak dibaca, tidak hanya untuk para sastrawan, tetapi juga dosen dan guru sastra untuk diterapkan dalam bidang pengajaran melainkan juga untuk kalangan umum.
ARIF HIDAYAT PURBALINGGA nama aslinya Arif Hidayat, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Tulisannya pernah dipubikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi dan Majalah Obsesi. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar dan Catatan Perjalanan. Antologi esainya The Spirit of Love. Kini dia menjadi koordinator komunitas Bunga Pustaka di Dukuhwaluh. Selain menulis dia adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alamatnya Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: dayat_pr@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar