Selasa, Juni 09, 2009

Kearifan Lokal Banyumas

Kearifan Lokal Banyumas Dalam Film
Oleh Teguh Trianton


Jika kita merunut ulang perkembangan dunia seni sinematografi di Banyumas Raya dalam lima tahun terakhir, maka kita akan menemukan dua tesis menarik. Pertama, fenomena menjamurnya komunitas film pendek di Kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara. Kedua, berkembangnya ideologi multikultuarilisme berbasis kearifan lokal (local wisdom) dalam karya para sineas lokal.

Yang menarik dari tesis pertama adalah bahwa geliat industri kreatif ini tak lepas dari pasang-surut. Ini terjadi karena beberapa faktor; konflik kepentingan, tekanan dari penguasa (pemerintah), hingga persaingan kurang sehat antar beberapa komunitas.

Persemaian dunia industri kreatif (seni sinematografi) di Banyumas dimulai pada tahun 1999. Saat itu sejumlah mahasiswa di Purwokerto mencoba menghelat pagelaran film pendek. Tahun 2001 Youth Power (Purwokerto), kelompok kerja nirlaba lintas seni memproduksi film perdana berjudul ‘Kepada Yang Terhormat Titik 2’, disusul film ‘Surat Pukul 00:00” (2002). Namun eksperimentasi ini terhenti.

Perkembangan yang mengesankan justru berangkat dari Purbalingga. Tahun 2004 Cinema Lovers Community (CLC) memulai debut perdana. Laeli Leksono Film memvisualisasi naskah cerita pendek berjudul ’Orang Buta dan Penuntunnya” (OBdP), karya Ahmad Tohari.

CLC adalah sebuah lembaga nirlaba yang mewadahi sineas Purbalingga. CLC adalah tonggak perfilman Banyumas. Hingga kini CLC mewadahi sekitar 22 rumah produksi film lokal Purbalingga.

Sementara di komunitas film pendek di Purwokerto dan Cilacap ditampung oleh dua lembaga film yaitu Arisan Film Forum (AFF) Purwokerto, Komunitas Sangkanparan Cilacap. Bersama CLC, ketiga komunitas ini membentuk Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).

Namun pergerakan pasang surut sinematografi di Banyumas ini tampak nyata di Purbalingga. Beberapa kali perhelatan film yang digelar CLC mendapat tekanan dan pelarangan dari pemerintah setempat. Tetapi CLC kokoh dengan pendiriannya, bahkan hingga tahun 2009 ini CLC berhasil menyelenggarakan tiga kali festifal film pelajar.

Meski tanpa campur tangan (perhatian) pemerintah, kegiatan bertajuk Purbalingga Festival Film (PFF) ini menjadi barometer perkembangan film pendek di Banyumas Raya. Puluhan film pendek produksi sineas pelajar se Banyumas selalu ambil bagian.

Kearifan Lokal
Film, dalam konteks media masa lewat sajian yang selektif dan penekanan pada tema-tema tertentu akan menciptakan kesan (imaji) tertentu pada penonton (Melvin DeFleur). Artinya film berkuasa mendefisinikan norma-norma budaya masyarakat.

Budaya adalah tentang keberadaan (distinctiveness) kelompok-kelompok sosial yang memberikan mereka identitas. Kebudayaan merupakan batasan (norma) dalam hidup manusia. Di dalamnya terdapat respon manusia terhadap masyarakat, atau lingkungannya, dan dunia secara umum.

Kebudayaan oleh Koentjaraningrat disyaratkan memiliki tujuh unsur esensial, yaitu: Bahasa, sebagai perwujudan budaya yang digunakan untuk berkomunikasi. Kemudian sistem pengetahuan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem peralatan hidup, dan teknologi. Berikutnya, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan upacara keagamaan, dan terahir adalah kesenian.

Kesenian merupakan unsur budaya yang mengacu pada estetika yang berasal dari ekspresi hasrat manusia. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks termasuk film.

Konsistensi isu dalam film Banyumas menjadi menarik. Mengingat khasanah budaya Banyumas saat ini mulai memudar, tergerus arus budaya asing. Di hadapan pergeseran nilai budaya, posisi budaya lokal saat ini cenderung termarginalkan. Keajekan pada unsur–unsur budaya lokal menjadi trademark atau bahkan ikon film Banyumas.

Sebagai produk budaya, keberadaan film Banyumas menyimpan potensi sebagai media dokumentasi budaya atau videografi budaya (cultural videography). Videografi merupakan media komunikasi yang cukup efektif dalam rangka pelestarian dan perayaan keragaman budaya lokal.

Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, menyebutkan bahwa film diarahkan antara lain untuk pelestarian dan pengembangan budaya bangsa, peningkatan kecerdasan bangsa, pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman, dan penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Konsistensi –mengusung- budaya lokal juga terlihat pada film ‘Peronika’, Senyum Laminah (SL), Pasukan Kucing Garong (PKG), Boncengan, Metu Getih, Lengger Santi, Cuthel, dan lain-lain. Selain menggunakan dialek ‘ngapak’, film ini juga mengangkat tema kehidupan keseharian masyarakat kecil (marginal) di Banyumas.

Pada SL terdapat scene –tradisi- membatik. Sebuah tradisi ‘langka’ yang sudah mulai memudar dan membutuhkan regenerasi. Film Cuthel mengajarkan falsafah hidup orang Banyumas, yang pantang menyerah. Nilai-nilai kejujuran (cablaka), toleransi, dan budi pekerti digambarkan dalam film ini.

Secara garis besar, keajekan film Banyumas dapat dilihat dari empat arus besar. Yaitu penggunaan bahasa Banyumas dialek ‘ngapak’sebagai salah satu unsur penting membangun plot. Kedua, seting masyarakat asli Banyumas. Ketiga, atribut (aksesoris) pendukung berupa simbol, ikon, dan indeks visual yang muncul dalam scene. Dan keempat tema kehidupan masyarakat kelas bawah.

PFF
Purbalingga Film Festival (PFF) merupakan ajang kompetisi kreatifitas dan potensi pelajar SMA/SMK/MA se-Banyumas Raya di bidang sinematografi. Ajang ini menjadi salah satu elan positif bagi perkembangan industri kreatif di tingkat pelajar. Saat ini PFF menjadi satu-satunya barometer perkembangan sinematografi di Banyumas.

Tahun 2009 ini PFF masuk usia ketiga. PFF pertama digelar pada tahun 2007. Pada tahun pertama PFF sempat mendapat ‘sparing patner’ yaitu perhelatan yang sama bertajuk Festival Film Banyumas (FFB) yang digagas Komunitas Jurnalis Televisi Purwokerto (KJTP). Namun ajang ini hanya sekali digelar.

Dari tiga kali PFF (Tahun 2007, 2008, dan 2009), telah muncul sekitar 50 judul film pendek Banyumas. Begitu banyak tema yang diangkat dalam film-film karya pelajar tersebut. Kearifan lokal telah menjadi mindset dan ideologi film-film ini. Sehingga penyelenggaraan PFF turut merayakan semangat multikulturalisme dan pluralitas budaya berbasis kearifan lokal Banyumas. (Forum KOMPAS Jateng-Jogja, Sabtu 06 Juni 2009)

Teguh Trianton, Penikmat Film,
Staf Edukatif SMK Widya Manggala (Purbalingga),
Periset Beranda Budaya (Banyumas).

Senin, Juni 01, 2009

Islam Kejawen

Aksentuasi dari Islam Kejawen
Oleh Arif Hidayat

Judul : Islam Kejawen
Penulis : Ridwan dkk.
Penerbit : Unggun Religi kerjasama dengan STAIN Press Purwokerto
Terbit : 2008
Tebal : 184 halaman

Islam sebagai agama, memiliki berbagai macam pandangan yang berbeda. Letak perbedaannya berada pada tata cara mereka beribadah. Perbedaan tersebut telah mengakar dan menjadi keyakinan dalam diri.

Terlebih lagi apabila kita menilik dan berbicara tentang Islam yang berada di tanah Jawa ini. Ada kompleksitas budaya yang sulit untuk dirubah dan kita akan dihadapkan dengan sejarah untuk menelusurinya. Oleh karena itu, Clifford Geertz membagi struktur masyarakat Islam Jawa menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat abangan atau kejawen, priyayi, dan santri.

Berdasarkan pembagian Clifford Geertz di atas, maka masyarakat pesisir selatan—khususnya desa Pakuncen—tergolong kaum abangan atau kejawen yang masih meyakini sinkreteisme. Masyarakat Islam kejawen dalam praktiknya masih memandang adanya simbol-simbol sebagai kosmologi dan mitologis yang terkait dengan dunia material dan dunia pikir sebagai fonemena yang menakjubkan.

Hal itu tampak pada tempat suci yang diyakni menakjubkan oleh Islam kejawen yaitu Psemuan, Balai Malang, Makam Kyai Bonokeling, Makam Kyai Gunung, Kendran, Pasucen, Pohon Angsana Jawa, Mbah Kuripan, Eyang Martangga, dan Eyang Welahan. Selain tempat suci, Islam kejawen juga menjalankan ritual seperti Resik Panembahan dan Rakan di bulan Sapar, Ziarah ke Adiraja dan Muludan di bulan Mulud, Riyaya dan Turunan di bulan Syawal, dan sebagainya. Hal tersebut sebenarnya tergolong smbolisasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Hakiki.

Dengan berdasar pada Sperber, penulis buku ini memandang tempat suci dan ritual sebagai simbolisasi yang dipakai ketika fokalisasi terputus karena informasi tidak dapat dimasukkan ke dalam sistem konseptual yang ada atau berlawanan dengan pernyataan yang ada dalam memori aktif (hal 56). Dengan demikian, seseorang yang menyakininya juga harus mampu menafsirkan simbol berupa mitos, ritual, dan aspek-aspek masyarakat lainnya.

Oleh karena adanya pandangan simbol, maka ada wawasan teologis dan epistemologis yang menjadi penyebab lain adanya perbedaan pandangan. Bahkan, dalam menyikapi al-Qur’an dan Hadist yang selalu dikaitkan dengan kontekstualisasi ritus.

Hal lain yang unik dalam Islam Kejawen daripada Islam secara umum, yaitu mereka hanya menjalankan ibadah syahadat, puasa dan zakat. Mereka tidak menjalankan shalat dan mereka tidak mempertentangkan dengan tata cara Islam yang sebenarnya. Mereka lebih memandang bahwa beribadah bukanlah terletak bagaimana mereka beribadah, akan tetapi tujuannya, yakni Yang Hakiki. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka menjauhi mo limo, yaitu madat, maling, madon, mabok,dan main. Mereka justru dianjurkan untuk menjalankan 5M lainnya, yaitu manembah, maguru, mangabdi, makaryo, dan manages. 5M tersebut dimaksudkan agar seseorang dalam hidupnya di dunia senantisa mencari/menggali pengetahuan untuk hidup di akhirat dan di dunia ini mencari bekal sebanyak-banyaknya. Selain itu, masyarakat Islam kejawen dalam beribadah menaggap kyai kunci sebagai pemimpin spiritual tertinggi, yang dapat mengayomi dan melestarikan adat-istiadat sesuai dengan norma luruh. Hal itu sebagaimana yang telah dicapai oleh nenek moyang mereka yaitu Kyai Bonokeling.

Terbitnya buku tidak bermaksud mengajak pembaca menjadi Islam kejawen. Buku ini dituliskan dengan tujuan agar pembaca memiliki pandangan yang luas terhadap Islam kejawen. Bagaimanapun juga, dalam menjalankan rukun Islam, shalat merupakan hal pokok dan tidak boleh ditinggalkan. Kehadiran buku ini di dalam kehidupan kita tetaplah penting sebagai pembuka khazanah kehidupan agar kita senantiasa menjaga diri, menghargai terhadap keberagaman, dan pluralitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pada bab V buku ini ada pengakuan dari Tarmudi (mantan penganut kejawen) yang kini menjalankan shalat lima waktu dan Tarmudi sekarang merasa tenang dalam hidupnya.

Arif Hidayat, Penyair, Periset Beranda Budaya