Aksentuasi dari Islam Kejawen
Oleh Arif Hidayat
Oleh Arif Hidayat
Judul : Islam Kejawen
Penulis : Ridwan dkk.
Penerbit : Unggun Religi kerjasama dengan STAIN Press Purwokerto
Terbit : 2008
Tebal : 184 halaman
Islam sebagai agama, memiliki berbagai macam pandangan yang berbeda. Letak perbedaannya berada pada tata cara mereka beribadah. Perbedaan tersebut telah mengakar dan menjadi keyakinan dalam diri.
Terlebih lagi apabila kita menilik dan berbicara tentang Islam yang berada di tanah Jawa ini. Ada kompleksitas budaya yang sulit untuk dirubah dan kita akan dihadapkan dengan sejarah untuk menelusurinya. Oleh karena itu, Clifford Geertz membagi struktur masyarakat Islam Jawa menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat abangan atau kejawen, priyayi, dan santri.
Berdasarkan pembagian Clifford Geertz di atas, maka masyarakat pesisir selatan—khususnya desa Pakuncen—tergolong kaum abangan atau kejawen yang masih meyakini sinkreteisme. Masyarakat Islam kejawen dalam praktiknya masih memandang adanya simbol-simbol sebagai kosmologi dan mitologis yang terkait dengan dunia material dan dunia pikir sebagai fonemena yang menakjubkan.
Hal itu tampak pada tempat suci yang diyakni menakjubkan oleh Islam kejawen yaitu Psemuan, Balai Malang, Makam Kyai Bonokeling, Makam Kyai Gunung, Kendran, Pasucen, Pohon Angsana Jawa, Mbah Kuripan, Eyang Martangga, dan Eyang Welahan. Selain tempat suci, Islam kejawen juga menjalankan ritual seperti Resik Panembahan dan Rakan di bulan Sapar, Ziarah ke Adiraja dan Muludan di bulan Mulud, Riyaya dan Turunan di bulan Syawal, dan sebagainya. Hal tersebut sebenarnya tergolong smbolisasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Hakiki.
Dengan berdasar pada Sperber, penulis buku ini memandang tempat suci dan ritual sebagai simbolisasi yang dipakai ketika fokalisasi terputus karena informasi tidak dapat dimasukkan ke dalam sistem konseptual yang ada atau berlawanan dengan pernyataan yang ada dalam memori aktif (hal 56). Dengan demikian, seseorang yang menyakininya juga harus mampu menafsirkan simbol berupa mitos, ritual, dan aspek-aspek masyarakat lainnya.
Oleh karena adanya pandangan simbol, maka ada wawasan teologis dan epistemologis yang menjadi penyebab lain adanya perbedaan pandangan. Bahkan, dalam menyikapi al-Qur’an dan Hadist yang selalu dikaitkan dengan kontekstualisasi ritus.
Hal lain yang unik dalam Islam Kejawen daripada Islam secara umum, yaitu mereka hanya menjalankan ibadah syahadat, puasa dan zakat. Mereka tidak menjalankan shalat dan mereka tidak mempertentangkan dengan tata cara Islam yang sebenarnya. Mereka lebih memandang bahwa beribadah bukanlah terletak bagaimana mereka beribadah, akan tetapi tujuannya, yakni Yang Hakiki. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka menjauhi mo limo, yaitu madat, maling, madon, mabok,dan main. Mereka justru dianjurkan untuk menjalankan 5M lainnya, yaitu manembah, maguru, mangabdi, makaryo, dan manages. 5M tersebut dimaksudkan agar seseorang dalam hidupnya di dunia senantisa mencari/menggali pengetahuan untuk hidup di akhirat dan di dunia ini mencari bekal sebanyak-banyaknya. Selain itu, masyarakat Islam kejawen dalam beribadah menaggap kyai kunci sebagai pemimpin spiritual tertinggi, yang dapat mengayomi dan melestarikan adat-istiadat sesuai dengan norma luruh. Hal itu sebagaimana yang telah dicapai oleh nenek moyang mereka yaitu Kyai Bonokeling.
Terbitnya buku tidak bermaksud mengajak pembaca menjadi Islam kejawen. Buku ini dituliskan dengan tujuan agar pembaca memiliki pandangan yang luas terhadap Islam kejawen. Bagaimanapun juga, dalam menjalankan rukun Islam, shalat merupakan hal pokok dan tidak boleh ditinggalkan. Kehadiran buku ini di dalam kehidupan kita tetaplah penting sebagai pembuka khazanah kehidupan agar kita senantiasa menjaga diri, menghargai terhadap keberagaman, dan pluralitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pada bab V buku ini ada pengakuan dari Tarmudi (mantan penganut kejawen) yang kini menjalankan shalat lima waktu dan Tarmudi sekarang merasa tenang dalam hidupnya.
Terlebih lagi apabila kita menilik dan berbicara tentang Islam yang berada di tanah Jawa ini. Ada kompleksitas budaya yang sulit untuk dirubah dan kita akan dihadapkan dengan sejarah untuk menelusurinya. Oleh karena itu, Clifford Geertz membagi struktur masyarakat Islam Jawa menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat abangan atau kejawen, priyayi, dan santri.
Berdasarkan pembagian Clifford Geertz di atas, maka masyarakat pesisir selatan—khususnya desa Pakuncen—tergolong kaum abangan atau kejawen yang masih meyakini sinkreteisme. Masyarakat Islam kejawen dalam praktiknya masih memandang adanya simbol-simbol sebagai kosmologi dan mitologis yang terkait dengan dunia material dan dunia pikir sebagai fonemena yang menakjubkan.
Hal itu tampak pada tempat suci yang diyakni menakjubkan oleh Islam kejawen yaitu Psemuan, Balai Malang, Makam Kyai Bonokeling, Makam Kyai Gunung, Kendran, Pasucen, Pohon Angsana Jawa, Mbah Kuripan, Eyang Martangga, dan Eyang Welahan. Selain tempat suci, Islam kejawen juga menjalankan ritual seperti Resik Panembahan dan Rakan di bulan Sapar, Ziarah ke Adiraja dan Muludan di bulan Mulud, Riyaya dan Turunan di bulan Syawal, dan sebagainya. Hal tersebut sebenarnya tergolong smbolisasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Hakiki.
Dengan berdasar pada Sperber, penulis buku ini memandang tempat suci dan ritual sebagai simbolisasi yang dipakai ketika fokalisasi terputus karena informasi tidak dapat dimasukkan ke dalam sistem konseptual yang ada atau berlawanan dengan pernyataan yang ada dalam memori aktif (hal 56). Dengan demikian, seseorang yang menyakininya juga harus mampu menafsirkan simbol berupa mitos, ritual, dan aspek-aspek masyarakat lainnya.
Oleh karena adanya pandangan simbol, maka ada wawasan teologis dan epistemologis yang menjadi penyebab lain adanya perbedaan pandangan. Bahkan, dalam menyikapi al-Qur’an dan Hadist yang selalu dikaitkan dengan kontekstualisasi ritus.
Hal lain yang unik dalam Islam Kejawen daripada Islam secara umum, yaitu mereka hanya menjalankan ibadah syahadat, puasa dan zakat. Mereka tidak menjalankan shalat dan mereka tidak mempertentangkan dengan tata cara Islam yang sebenarnya. Mereka lebih memandang bahwa beribadah bukanlah terletak bagaimana mereka beribadah, akan tetapi tujuannya, yakni Yang Hakiki. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka menjauhi mo limo, yaitu madat, maling, madon, mabok,dan main. Mereka justru dianjurkan untuk menjalankan 5M lainnya, yaitu manembah, maguru, mangabdi, makaryo, dan manages. 5M tersebut dimaksudkan agar seseorang dalam hidupnya di dunia senantisa mencari/menggali pengetahuan untuk hidup di akhirat dan di dunia ini mencari bekal sebanyak-banyaknya. Selain itu, masyarakat Islam kejawen dalam beribadah menaggap kyai kunci sebagai pemimpin spiritual tertinggi, yang dapat mengayomi dan melestarikan adat-istiadat sesuai dengan norma luruh. Hal itu sebagaimana yang telah dicapai oleh nenek moyang mereka yaitu Kyai Bonokeling.
Terbitnya buku tidak bermaksud mengajak pembaca menjadi Islam kejawen. Buku ini dituliskan dengan tujuan agar pembaca memiliki pandangan yang luas terhadap Islam kejawen. Bagaimanapun juga, dalam menjalankan rukun Islam, shalat merupakan hal pokok dan tidak boleh ditinggalkan. Kehadiran buku ini di dalam kehidupan kita tetaplah penting sebagai pembuka khazanah kehidupan agar kita senantiasa menjaga diri, menghargai terhadap keberagaman, dan pluralitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pada bab V buku ini ada pengakuan dari Tarmudi (mantan penganut kejawen) yang kini menjalankan shalat lima waktu dan Tarmudi sekarang merasa tenang dalam hidupnya.
Arif Hidayat, Penyair, Periset Beranda Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar