Tanggap Sasmita, Cilacap Peduli Sastra
Oleh Abdul Aziz Rasjid
Tanggal 28 Juli 2010 lalu, telah diterbitkan sebuah antologi puisi bertajuk Rasa Rumangsa Tanggap Sasmita oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cilacap. Antologi puisi ini memuat 29 puisi dari 6 penyair muda Cilacap, yaitu Abdulloh Amir (Sampang), Eko Triono (Adipala), Hizi Firmansyah (Majenang), IH. Antassalam (Wanareja), Rudiana Ade Ginanjar (Cipari) dan Wachyu Pras (Kroya), dan diluncurkan sebagai bagian dari agenda Pesta Pro Sastra dalam rangka "Gelar Seni Budaya Kabupaten Cilacap Tahun 2010” di ruang Masigit Sela Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cilacap.
Selain meluncurkan antologi puisi, agenda Pro Sastra juga mennyelenggarakan kegiatan diskusi antologi dan pembagian buku antologi secara cuma-cuma pada para undangan yang terdiri dari guru, siswa-siswi SMU di Cilacap dan pegiat sastra di Cilacap. Enam penyair yang termuat puisinya dalam antologi tampil membacakan puisinya masing-masing lalu berdiskusi tentang proses kreatif mereka. Sedang dua puluh sembilan puisi yang termuat di dalam antologi itu, secara khusus dibedah oleh Wisnu Shanca Bumi (pemerhati seni budaya Cilacap) dalam acara diskusi yang dimoderatori oleh Badruddin Emce (penyair asal Kroya).
Idealnya, bagi para pegiat sastra, setidaknya acara yang digelar oleh Disbudpar Kabupaten Cilacap ini merupakan ajang perjumpaan secara langsung antara beberapa sastrawan asli Cilacap dengan pembaca mereka sekaligus promosi gagasan untuk membudayakan membaca dan menulis sastra di instansi pendidikan. Sedang bagi siswa, diskusi dan penceritaan proses kreatif para penyair muda cilacap dapat memberi pengaruh bagi siswa untuk lebih kreatif menulis, mengambil referensi, dan lebih akrab pada karya-karya sastra dari daerahnya. Yang menarik kemudian, apakah sesungguhnya tujuan diluncurkannya antologi Rasa Rumangsa Tanggap Sasmita yang diterbitkan oleh Disbudpar Kab Cilacap?
Dalam sastra modern, penerbit adalah pihak atau lembaga yang memungkinkan terjadinya produksi dan reproduksi karya sastra. Tetapi yang tidak boleh dilupakan, penerbit sering kali terikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu dan keberbagaian pertimbangan semacam faktor pembaca, ekonomi, maupun politik. Mengingat hal itu, merujuk pada pendapat Maman S Mahayana, memperbincangkan kaitan sistem penerbitan, akan berurusan dengan beberapa hal, yaitu: a). Ideologi dan kepentingan penerbit, b) peranan dan pengaruh penerbit terhadap struktur formal karya sastra, c) sistem pengayoman yang dilakukan penerbit, d). faktor sosial-ekonomi-politik yang mempengaruhi penerbit, e) jaringan distribusi, dan e). Sasaran pembaca (Sembilan Jawaban sastra Indonesia. 2005: h. 2-3). Dari kaitan sistem penerbitan yang dijabarkan oleh Maman S Mahayana itu, penulis mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan di atas.
Pelestari dan Pembina
Dari kata pengantar yang ditulis oleh penerbit, sudah ditampakkan dengan jelas bahwa kepentingan penerbit meluncurkan antologi puisi sebagai bagian dari tanggung jawab Disbudpar yang memiliki fungsi pelestarian dan pembinaan kebudayaan. Maka tak salah memang, jika lewat antologi ini Disbudpar melakukan upaya untuk mendokumentasikan puisi-puisi –sebagi produk budaya-- yang ditulis oleh generasi penulis baru Cilacap.
Sedang berkaiatan dengan peranan dan pengaruh Disbudpar sebagai penerbit terhadap struktur formal karya sastra tampak terasa dalam pembacaan Wisnu Shanca Bumi yang mengapresiasi 29 puisi yang dituliskan dalam esai pembuka dengan tajuk “Berwisata ke Negeri Penyair Selatan”. Wahyu menemukan beberapa hal dalam puisi-puisi yang ia amati, yaitu: 1) Pengaruh latar geografi Cilacap dalam penciptaan karya dimana diksi-diksi geografis banyak menggambarkan bentangan alam Cilacap, 2) Aspek sosial ekonomis dimana beberapa puisi menunjukkan sensitivitas penyair terhadap kondisi sosial masyarakatnya terutama tentang kondisi kerusakan laut di Cilacap, kepiluan masyarakat nelayan dan produksi jamu yang banyak menjadi sandaran ekonomi masyarakat Cilacap, 3) Aspek sejarah yang berhubungan dengan ritus kuno seperti puisi yang menceritakan tentang Cangkring yang merupakan ritual memotong jari istri nelayan demi keberkahan sungai dan ikan. Singkatnya, diterbitkannya antologi Rasa Rumangsa, Tanggap Sasmita ini, merupakan respons, bentuk empatik maupun representati masyarakat Cilacap yang multikultural.
Pada aspek sistem penerbitan lainnya, Disbudpar melakukan pengantologian puisi penyair muda Cilacap sebagai bentuk pengayoman pada penulis muda yang dianggap telah mampu membuktikan dirinya sebagai kreator. Sedang berkaitan dengan faktor sosial-ekomi penerbit, distribusi dan pembaca, jelaslah bahwa antologi yang pendanaan produksinya dari pemerintah ini cenderung ditujukan untuk membangkitkan gairah menulis dan membaca sastra di lingkungan masyarakat Cilacap terutam siswa-sisiwi SMU Cilacap.
Patut disyukuri memang, bila pemerintah semacam Disbudpar Cilacap berkenan memainkan peran aktif sebagai pengayom dan pendukung kegiatan sastra sampai penerbitan karya sastra. Sikap ini setidaknya akan mencitrakan bahwa pemerintah ramah terhadap budaya dan sadar akan pentingnya produk budaya semacam karya sastra. Dengan pengayoman ini, setidaknya konsep penciptaan karya sastra di daerah akan lebih marak lagi mengangkat beberapa hal, semisal ideologi daerah, menjadikan daerah sebagai tekhnik dan daerah sebagai inspirasi. Jika idealitas ini terbentuk, maka karya-karya sastrawan yang didukung oleh sistem produksi maupun distribusi yang baik akan menggambarkan keresahan-kesulitan-kegetiran masing-masing daerahnya dan berpotensi untuk dapat dibaca dan dimaknai masyarakat untuk membangun spirit masyarakat dalam menemukan identitas dirinya yang khas.
Persoalan yang mungkin dihadapi, tinggal bagaimana penulis-penulis muda mau memaksimalkan diri untuk memaksimalkan potensi daerah maupun keresahan-kegetiran-kesulitan masyarakat daerahnya sebagai inspirasi dalam berkarya. Dari situasi-situasi itu, dapat ditarik asumsi bahwa sastra tidak lagi merujuk hanya pada teknik menulis: sastra pun mempunyai implikasi sosial, politik yang mendalam dan dapat memberi kontribusi untuk orientasi suatu daerah. Persoalan lanjutan yang mungkin dapat jadi momok baru yaitu, apakah pemerintah akan tetap membuka diri untuk mengapreasiasi dirinya lewat wacana-wacana pemaknaan semisal sastra yang membicarakan keresahan-kesulitan-kegetiran masyarakat? Saya tak tahu, tapi Cilacap telah membuktikan diri sebagai daerah yang peduli pada sastra.