Jumat, Agustus 27, 2010

Cilacap Peduli Sastra

Tanggap Sasmita, Cilacap Peduli Sastra

Oleh Abdul Aziz Rasjid


Tanggal 28 Juli 2010 lalu, telah diterbitkan sebuah antologi puisi bertajuk Rasa Rumangsa Tanggap Sasmita oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cilacap. Antologi puisi ini memuat 29 puisi dari 6 penyair muda Cilacap, yaitu Abdulloh Amir (Sampang), Eko Triono (Adipala), Hizi Firmansyah (Majenang), IH. Antassalam (Wanareja), Rudiana Ade Ginanjar (Cipari) dan Wachyu Pras (Kroya), dan diluncurkan sebagai bagian dari agenda Pesta Pro Sastra dalam rangka "Gelar Seni Budaya Kabupaten Cilacap Tahun 2010” di ruang Masigit Sela Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cilacap.

Selain meluncurkan antologi puisi, agenda Pro Sastra juga mennyelenggarakan kegiatan diskusi antologi dan pembagian buku antologi secara cuma-cuma pada para undangan yang terdiri dari guru, siswa-siswi SMU di Cilacap dan pegiat sastra di Cilacap. Enam penyair yang termuat puisinya dalam antologi tampil membacakan puisinya masing-masing lalu berdiskusi tentang proses kreatif mereka. Sedang dua puluh sembilan puisi yang termuat di dalam antologi itu, secara khusus dibedah oleh Wisnu Shanca Bumi (pemerhati seni budaya Cilacap) dalam acara diskusi yang dimoderatori oleh Badruddin Emce (penyair asal Kroya).

Idealnya, bagi para pegiat sastra, setidaknya acara yang digelar oleh Disbudpar Kabupaten Cilacap ini merupakan ajang perjumpaan secara langsung antara beberapa sastrawan asli Cilacap dengan pembaca mereka sekaligus promosi gagasan untuk membudayakan membaca dan menulis sastra di instansi pendidikan. Sedang bagi siswa, diskusi dan penceritaan proses kreatif para penyair muda cilacap dapat memberi pengaruh bagi siswa untuk lebih kreatif menulis, mengambil referensi, dan lebih akrab pada karya-karya sastra dari daerahnya. Yang menarik kemudian, apakah sesungguhnya tujuan diluncurkannya antologi Rasa Rumangsa Tanggap Sasmita yang diterbitkan oleh Disbudpar Kab Cilacap?

Dalam sastra modern, penerbit adalah pihak atau lembaga yang memungkinkan terjadinya produksi dan reproduksi karya sastra. Tetapi yang tidak boleh dilupakan, penerbit sering kali terikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu dan keberbagaian pertimbangan semacam faktor pembaca, ekonomi, maupun politik. Mengingat hal itu, merujuk pada pendapat Maman S Mahayana, memperbincangkan kaitan sistem penerbitan, akan berurusan dengan beberapa hal, yaitu: a). Ideologi dan kepentingan penerbit, b) peranan dan pengaruh penerbit terhadap struktur formal karya sastra, c) sistem pengayoman yang dilakukan penerbit, d). faktor sosial-ekonomi-politik yang mempengaruhi penerbit, e) jaringan distribusi, dan e). Sasaran pembaca (Sembilan Jawaban sastra Indonesia. 2005: h. 2-3). Dari kaitan sistem penerbitan yang dijabarkan oleh Maman S Mahayana itu, penulis mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan di atas.

Pelestari dan Pembina

Dari kata pengantar yang ditulis oleh penerbit, sudah ditampakkan dengan jelas bahwa kepentingan penerbit meluncurkan antologi puisi sebagai bagian dari tanggung jawab Disbudpar yang memiliki fungsi pelestarian dan pembinaan kebudayaan. Maka tak salah memang, jika lewat antologi ini Disbudpar melakukan upaya untuk mendokumentasikan puisi-puisi –sebagi produk budaya-- yang ditulis oleh generasi penulis baru Cilacap.

Sedang berkaiatan dengan peranan dan pengaruh Disbudpar sebagai penerbit terhadap struktur formal karya sastra tampak terasa dalam pembacaan Wisnu Shanca Bumi yang mengapresiasi 29 puisi yang dituliskan dalam esai pembuka dengan tajuk “Berwisata ke Negeri Penyair Selatan”. Wahyu menemukan beberapa hal dalam puisi-puisi yang ia amati, yaitu: 1) Pengaruh latar geografi Cilacap dalam penciptaan karya dimana diksi-diksi geografis banyak menggambarkan bentangan alam Cilacap, 2) Aspek sosial ekonomis dimana beberapa puisi menunjukkan sensitivitas penyair terhadap kondisi sosial masyarakatnya terutama tentang kondisi kerusakan laut di Cilacap, kepiluan masyarakat nelayan dan produksi jamu yang banyak menjadi sandaran ekonomi masyarakat Cilacap, 3) Aspek sejarah yang berhubungan dengan ritus kuno seperti puisi yang menceritakan tentang Cangkring yang merupakan ritual memotong jari istri nelayan demi keberkahan sungai dan ikan. Singkatnya, diterbitkannya antologi Rasa Rumangsa, Tanggap Sasmita ini, merupakan respons, bentuk empatik maupun representati masyarakat Cilacap yang multikultural.

Pada aspek sistem penerbitan lainnya, Disbudpar melakukan pengantologian puisi penyair muda Cilacap sebagai bentuk pengayoman pada penulis muda yang dianggap telah mampu membuktikan dirinya sebagai kreator. Sedang berkaitan dengan faktor sosial-ekomi penerbit, distribusi dan pembaca, jelaslah bahwa antologi yang pendanaan produksinya dari pemerintah ini cenderung ditujukan untuk membangkitkan gairah menulis dan membaca sastra di lingkungan masyarakat Cilacap terutam siswa-sisiwi SMU Cilacap.

Patut disyukuri memang, bila pemerintah semacam Disbudpar Cilacap berkenan memainkan peran aktif sebagai pengayom dan pendukung kegiatan sastra sampai penerbitan karya sastra. Sikap ini setidaknya akan mencitrakan bahwa pemerintah ramah terhadap budaya dan sadar akan pentingnya produk budaya semacam karya sastra. Dengan pengayoman ini, setidaknya konsep penciptaan karya sastra di daerah akan lebih marak lagi mengangkat beberapa hal, semisal ideologi daerah, menjadikan daerah sebagai tekhnik dan daerah sebagai inspirasi. Jika idealitas ini terbentuk, maka karya-karya sastrawan yang didukung oleh sistem produksi maupun distribusi yang baik akan menggambarkan keresahan-kesulitan-kegetiran masing-masing daerahnya dan berpotensi untuk dapat dibaca dan dimaknai masyarakat untuk membangun spirit masyarakat dalam menemukan identitas dirinya yang khas.

Persoalan yang mungkin dihadapi, tinggal bagaimana penulis-penulis muda mau memaksimalkan diri untuk memaksimalkan potensi daerah maupun keresahan-kegetiran-kesulitan masyarakat daerahnya sebagai inspirasi dalam berkarya. Dari situasi-situasi itu, dapat ditarik asumsi bahwa sastra tidak lagi merujuk hanya pada teknik menulis: sastra pun mempunyai implikasi sosial, politik yang mendalam dan dapat memberi kontribusi untuk orientasi suatu daerah. Persoalan lanjutan yang mungkin dapat jadi momok baru yaitu, apakah pemerintah akan tetap membuka diri untuk mengapreasiasi dirinya lewat wacana-wacana pemaknaan semisal sastra yang membicarakan keresahan-kesulitan-kegetiran masyarakat? Saya tak tahu, tapi Cilacap telah membuktikan diri sebagai daerah yang peduli pada sastra.

-- Kedaulatan Rakyat, Minggu 8 Agustus 2010, Kolom Catatan Budaya

Gerakan Sastra ‘Horison’

Mengkaji Gerakan Sastra ‘Horison’


Oleh Abdul Aziz Rasjid


Taufiq Ismail pernah merasa bahwa dirinya bersama puluhan anak SMA lain seangkatannya di seluruh Tanah Air telah menjadi generasi nol buku yang rabun membaca dan pincang mengarang. Istilah nol buku menerangkan pada kala itu mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah sehingga mereka menjadi rabun membaca. Sedangkan istilah pincang mengarang diakibatkan tidak adanya latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah.

Keadaan generasi yang rabun membaca dan pincang mengarang itu lalu diindikasikan Taufiq Ismail sebagai sebab mendasar amburadulnya Indonesia hari ini karena dimungkinkan generasi nol buku inilah yang kini menjadi warga Indonesia terpelajar dan memegang posisi menentukan arah Indonesia di seluruh strata, baik di pemerintahan maupun swasta.

Didorong oleh keresahan pada adanya generasi nol buku itulah, lalu Taufik Ismail menggagas gerakan sastra bersama majalah Horison–di mana Taufik Ismail pernah menjadi redaktur senior dan salah satu dewan redaksi--dengan tujuan menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar sekolah menengah, santri pesantren, maupun mahasiswa bagi kemajuan pendidikan sastra di Indonesia. Taufik Ismail dan Horison tak main-main memang, sasaran yang dituju meliputi SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK, sampai mahasiswa se-Indonesia.

Gerakan sastra itu terdiri dari beberapa program, berupa 1). Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison, 2). Pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari--Oktober 2002), 3). Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan 4). Program Sastrawan Bicara, dan Mahasiswa Membaca (SBMM).

Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison digunakan sebagai medium mengenalkan sosok dan karya sastrawan Indonesia pada siswa. Sosok, karya, proses kreatif sastrawan Indonesia lalu diulas oleh Horison dengan harapan dapat memberi influence bagi siswa untuk lebih kreatif menulis, mengambil referensi, dan lebih akrab pada karya-karya sastrawan Indonesia. Untuk mempermudah akses pengonsumsian pada siswa, majalah Horison lalu disebar secara gratis ke SMA, madrasah aliah, pesantren, dan SMK.

Di sisi lain, sisipan Kaki Langit dalam majalah Horison juga menjadi wadah bagi siswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia untuk mengenalkan karyanya. Siswa dapat menuliskan sajak, cerita mini, esai di mana karya siswa ini lalu ditelaah oleh Horison. Telaah yang dilakukan Horison dapat dikatakan sebagai edukasi sekaligus evaluasi agar teknik menulis siswa dapat lebih berkembang. Sedangkan guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai eksekutor terpenting dalam lingkup pendidikan (sekolah menengah, pesantren) untuk membudayakan siswa membaca dan menulis, dalam sisipan Kaki Langit dapat berbagi pengalaman tentang metode pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah lewat kolom Pengalaman Guru.

Tiga Program lainnya, yaitu pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari--Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) adalah ajang promosi gagasan untuk membudayakan membaca dan menulis di instansi pendidikan, dan juga perjumpaan secara langsung antara beberapa sastrawan dengan sasaran gerakan sastra.

Program-program di atas setidaknya menjelaskan bahwa tradisi membaca dan menulis bagi siswa SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK dan mahasiswa telah digalakkan. Hasil ideal juga telah didapati, yaitu adanya karya yang dihasilkan siswa SMA, madrasah aliyah, pesantren, SMK, dan mahasiswa yang kemudian dimuat dalam majalah Horison. Persoalan selanjutnya, tinggal bagaimana karya mereka selanjutnya (baik masih sebagai mahasiswa atau pelajar maupun setelah mentas sebagai mahasiswa atau pelajar) dapat diterbitkan lalu dikonsumsi masyarakat? Untuk dapat memprediksi sejauh apa peluang-peluang karya mereka dapat diterbitkan, tentu harus ditengok dahulu sistem penerbitan karya yang berjalan di Indonesia ini.

Menurut Yosi Ahmadun Herfanda dalam Kapitalisasi Sistem Produk Sastra Kota (Horison, edisi September 2004), secara umum keadaan sistem industri budaya di Indonesia terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama adalah sistem industri market oriented yang secara jelas mengejar pengembangan modal. Sedang kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memili corak tersendiri, karena memang secara dasar memiliki watak yang berbeda.

Sistem industri market oriented dilihat dari wataknya yang melakukan kapitalisasi produksi untuk pengembangan modal membentuk konsekuensi logis bagi penulis, yaitu berkompromi dengan kepentingan kapitalis, dalam sistem ini karya sebagai hasil produksi pemikiran dan kekreatifan penulis memang diharuskan sesuai dengan keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dalam sistem ini, maka peluang penulis menjadi besar jika idealisasi konsep penciptaan karya yang diyakini benar untuk sementara dipinggirkan lalu tunduk pada keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dampak yang terjadi kemudian, penulis hanya akan menjadi tenaga kerja produktif, karena tujuan penulisan karya demi popularitas dan pendapatan financial reward yang relatif besar.

Pada sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal atau dapat dikatakan sebagai kegiatan penerbitan yang tidak dimaksudkan untuk pengembangan modal--dalam bidang sastra Ahmadun mencontohkan Horison, Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena, dan Teater Utan Kayu, konsekuensi logis bagi penulis agar karyanya dapat tersosialisasi harus sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas itu. Sistem ini, secara positif memberi peluang kebebasan pada penulis untuk menuliskan idealisasinya, asal idealisasi itu harus melebihi atau sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas, sedang sisi negatifnya akan melahirkan penulis-penulis yang hanya akan menjadi tenaga kerja repetitif karena tujuan penulisan sekadar menyesuaikan selera komunitas.

Dalam sistem penerbitan inilah, pekerjaan rumah gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menumbuhkan tradisi membaca dan menulis semacam yang dilakukan majalah Horison mendapat tantangan sebenarnya, yaitu memberitahu sejak dini pada siswa pentingnya menjadi tenaga ahli dalam bidang apa pun, lalu mewartakan tentang pentingnya cara menyiasati peluang-peluang pemasaran karya guna mempertahankan idealisasi pemikiran mereka.

-- Lampung Post, Kolom Apresiasi, Minggu, 1 Agustus 2010

Mendoan di Kafe

Mengkaji Elitisasi Mendoan di Kafe

Oleh Abdul Aziz Rasjid


KAFE sering diidentikkan sebagai tempat hiburan yang berkaitan dengan pola rekreasi yang mewakili gaya hidup masyarakat urban. Kini, di sebagian jalan-jalan pusat kota dan juga dekat area kampus di Purwokerto menjamur kafe.

Tawaran berbagai fasilitas —dari pertunjukkan bola, balap mobil atau motor, hotspot, musik akustik dan sebagainya— juga beragam menu makanan dan minuman berkedudukan penting dalam usaha mendekati, memanjakan dan menimbulkan rasa betah pengunjungnya.

Menariknya, di Purwokerto seakan ada kesepakatan di antara semaraknya tempat hiburan semacam kafe itu: semua menyajikan mendoan, makanan khas Banyumas, di daftar menu sajiannya. Kesamaan itu sebenarnya cukup untuk menunjukkan bahwa ruang-ruang populer mempunyai kemungkinan menyentuh produk lokal, bahkan memadukan keduanya.

Misalnya Joglo Cafe, di dekat kampus Universitas Jenderal Soedirman menyajikan inovasi sajian kuliner yang memadukan dua produk makanan dari dua geografi kultural yang berbeda (timur dan barat), yaitu mendoan burger. Dalam upaya perpindahan simbol itu maka inovasi sajian mendoan burger itu dapat diasumsikan bahwa makanan atau jajanan khas tersebut mengalami upaya elitisasi.

Lalu, apakah kehadiran elitisasi semacam mendoan burger berarti negatif bagi budaya lokal? Sebenarnya tidak asal identitas mendoan sebagi produk budaya lokal tidak tenggelam oleh citra burger. Sebab kita tahu menjamurnya industrialisasi dan komersialisasi makanan siap saji, termasuk burger, didesain oleh produsennya lewat teknologi komunikasi sehingga seolah-olah memiliki muatan yang tak hanya berurusan dengan rasa lapar namun dapat mewakili status sosial seseorang.

Mengapa mendoan sebagai produk lokal tetap bisa bertahan di antara atribut-atribut kuliner kebudayaan pop? Mendoan dapat bertahan karena dalam perkembangan produksinya memiliki kelengkapan watak industri, yaitu massal, praktis, dan mudah untuk mendapatkan pembeli dalam jumlah besar.

Tak dapat dimungkiri, mendoan diproduksi secara massal. Tiap pagi puluhan bakul jajan gendongan menjajakannya. Berganti sore sampai dini hari mendoan dapat dikonsumsi di angkringan-angkringan sampai kafe-kafe. Realitas ini, menandakan bahwa mendoan telah mengalami masifikasi dan membuktikan tidak hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat status sosial tertentu.

Nilai praktis mendoan, dapat dilihat dari tidak dibutuhkannya keterampilan khusus untuk memasak. Sebab produsen dalam perkembangannya sudah mengikutsertakan bumbu yang dibutuhkan dalam takaran porsi tertentu yang disatukan dalam satu kemasan siap saji.

Dua hal itu yang kemudian ditunjang dengan harga yang terjangkau membuat makanan itu relatif mudah dikonsumsi oleh berbagai tingkat sosial-ekonomis dan berpotensi mendapatkan pembeli dalam jumlah besar.

Perbanyak Distribusi
Lewat tiga watak industri itu, masyarakat Banyumas terdesain untuk menjadi akrab dengan mendoan, sebab jajanan itu senantiasa ada di antara geografi dan kultural mereka untuk menyuguhkan realitas produk khas. Di bagian inilah setidaknya dapat diambil pemahaman, bahwa salah satu jalan yang baik untuk melindungi produk budaya lokal dapat ditempuh dengan cara memperbanyak produksi dan distribusi.

Adapun persoalan inovasi yang melibatkan pengadopsian unsur budaya lain, semisal mendoan burger menunjukkan bahwa dalam perkembangannya, mendoan ternyata tak semata-mata fenemona kekhasan tradisi kuliner lokal, tetapi juga salah satu bagian dari fenemona arus komunikasi budaya yang makin meluas.

Relasi komunikasi lintas budaya di wilayah kuliner itu menunjukkan bahwa mendoan memiliki realitas ganda. Di satu sisi masifikasinya telah berhasil menciptakan internalisasi khas sebagai bagian budaya Banyumas yang tak mudah tercerabut.

Pada sisi yang lain, elitisasi mendoan dalam rupa mendoan burger —yang hadir karena kuatnya pengaruh pencitraan yang berasal dari luar tradisi lokal— menunjukkan bahwa pencitraan dari luar mempunyai dampak luas. Hal yang tak dapat dimungkiri, pencitraan itu telah membuat hal-hal di sekitar kita banyak berubah.

-- Suara Merdeka, Kolom Wacana, 26 Juni 2010.

Tanggapan

Pembersihan Massal

Sastra Indonesia di Banyumas



Tulisan ini adalah tanggapan atas sebuah pernyataan dan pertanyaan pendek saya di facebook, 16 juni 2010 jam 20:36. Isinya sebagai berikut:

Dua tahun lalu saya menemukan catatan dokumentasi kegiatan sastra di Banyumas di tumpukan majalah toko buku loak, judulnya "Kancah Budaya Merdeka" (HORISON/O7/XXIX/66). Membaca catatan itu seperti mengantarkan saya pada geliat kegiatan sastra di Banyumas 16 tahun silam. Jalan benarkah jika dokumentasi itu saya temukan begitu kebetulan di toko buku loak?

Berikut ini, tanggapan-tanggapan dari beberapa teman:

Chandra Iswinarno
wah apa cerita dibaliknya?

Dede Dwi Kurniasih
itu jodohmu kang,bukan sekedar kebetulan kurasa

Abdul Aziz Rasjid
aku kutipkan satu paragraf penuh ya Chan:

Kancah Budaya Merdeka, kelompok penyair di Banyumas, 24 April 1994, menyelenggarakan sarasehan sastra bekerja sama dengan sanggar Nafiri, Cilacap, dalam rangka memperingati hari Chairil Anwar. Herman Affandi, tampil sebagai pembicara dengan makalah berjudul "Chairil Anwar dan Inovasi Puisi Indonesia", ... Lihat Selengkapnyadidampingi Edhi Romadhon serta Sutarno Djayadiatma. Di samping itu dilangsungkan pula acara pembacaan puisi oleh anggota kancah, antara lain Badruddin Emce, Haryono Sukiran, Ansar Balasikh, Nanang Anna Noor, Wanto Tirto, Lukman Suyatno, dan lain-lain.


(Majalah Sastra Horison, nomor 07 tahun XXIX edisi: Juli 1994. Kolom Jendela. hal:66)

Abdul Aziz Rasjid
- Dede: kalau tak kebetulan sepertinya lebih menyenangkan De. Misalkan jika dokumentasi semacam itu dengan mudah dapat kita dapatkan di Dewan Kesenian Banyumas....he..he..he...jadi dokumentasi itu tidak bertumpuk baur dengan resep-resep makanan, majalah tentang rajah tangan atau majalah tentang otomotif

Dede Dwi Kurniasih
iya ya...jadi malu. minat baca kita memang amburadul. makanya dokumentasi sepenting itu masih saja bertengger diloakan

Wisnu Shanca Bhumi
mantap,.... kejayaan yang berserak karat


Wiwit Mardianto
sastra di banyumas memang sudah usang kang, sudah mengering. jiwa-jiwa membaca anak muda berubah menjadi abu di cafe dan karaoke.

makanya layak ditempatkan di toko loak.

Abdul Aziz Rasjid
- Wisnu: "kejayaan" yang berserak dan tak terdokementsikan dengan baik itu, di sisi lain telah mengakibatkan pembersihan massal terhadap karya sastra Indonesia di Banyumas menjadi "tak" terbaca.

Abdul Aziz Rasjid
-Wiwit: mungkin kau perlu mencatat di pusimu pertemuan anak-anak muda dengan cafe dan karaoke.

Sari Handayani
Aku bersedia ziz menjadi fragmen dlm esai mu tentang cafe dan karaoke.
Tetapi tidak untuk menjadi abu&asap rokok dalan cafe ataupun karaoke.
Jadi kapan kta karaokean brg untuk mendalami esai mu selanjutnya??Hahahahahaha.....

Abdul Aziz Rasjid
aku ngikut kamu saja Sar jadwal karaokenya

Chandra Iswinarno
Skarang bgm caranya mengembangkannya agar lebih progress serta menandai zaman karaoke dan cafe dlm literer sastra bms, ziz?

Abdul Aziz Rasjid
Perlu diteliti lebih detail adakah dalam karya sastra dari banyumas yang menjadikan karaoke dan cafe sebagai kode pribadi dalam karyanya, dengan catatan kode pribadi ini belum pernah digunakan oleh penyair lainnya. Istilahnya terjadi idiolek. Untuk mengetahui hal ini karya sastra dari banyumas ya harus dibaca lebih teliti lagi. Dan lagi-lagi dokumentasi menjadi penting dalam usaha pembacaan ini

Ekologi Sastra

Ragam Ekologi Sastra

Oleh Abdul Aziz Rasjid



Dalam buku bertajuk Sastra Hindia Belanda dan Kita (Balai Pustaka: 1983) yang ditulis Subagio Sastrowardoyo dijelaskan bahwa terjadi pengulangan pola cerita desa di dalam sastra Hindia Belanda, sastra Melayu Modern, dan sastra Balai Pustaka. Pola cerita desa itu selalu berpangkal dari hubungan asmara pemuda-pemudi desa yang dekat sejak kecil. Hubungan asmara mereka yang romantik di tengah kedamaian desa, selalu berujung pada perpisahan yang tragis karena adanya gangguan yang berasal dari luar desa, semisal: tentara Belanda, China lintah darat, bangsawan, dan punggawa dari kota.

Gejala seragamnya pola cerita mengenai kehidupan desa dalam sastra Hindia Belanda berawal pada pertengahan abad sembilan belas. Kazat en Ariza dalam kumpulan Nieuwu Indische verhalen en herinneringen uit vroegen et lateren tijd atau Cerita dan Kenangan Baru tentang Hindia Belanda Zaman Dahulu dan Kemudian (1854) karya W.L. Ritter, De Doch ter van den bekel atau Anak Perempuan Kepala Kampung (1854) yang terkumpul dalam tulisan J.F.G. Brumund bertajuk Indiana (1854), dan tentu juga cerita Saijah dan Adinda yang merupakan bagian dari roman Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda (terbit pertama kali pada tahun 1860, baru terbit dalam edisi bahasa Indonesia pada tahun 1972) karya Multatuli adalah karya-karya sastra yang kemudian digolongkan sebagai genre cerita desa (1983: 30-31).

Desa: Korban Imperial atas Laut
Pola cerita desa ini tetap berkembang dan berlanjut dalam periode sastra melayu modern sampai periode Balai Pustaka. H. Kommer yang menulis dalam bahasa melayu umum, mengisahkan Nyi Sarikem dan Cerita Siti Aisah (ketiganya terbit tahun 1900), atau di dalam karya satra yang dianggap bacaan liar oleh kolonial Belanda kita juga dapat menemukan cerita gadis desa Maloko bernama Ardinah yang hidup miskin bersama ayahnya dalam Hikayat Kadiroen (1920) karya Semaoen.

Kisah-kisah dari desa itu setidaknya mewartakan bahwa ekspansi kolonial kepada kehidupan pribumi telah makin meluas sampai ke pelosok desa dan menyebabkan penderitaan rakyat. Jejak awal ditembusnya wilayah desa itu, setidaknya dapat ditelusuri sebagai akibat terjadinya imperial atas laut oleh kolonial seperti yang terceritakan dalam Arus Balik yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.

Dalam Arus Balik, secara luas dapat kita baca bahwa terjadi perubahan orientasi kekuatan militer di kerajaan Nusantara; terutama Demak pascakepemimpinan Pati Unus yang digantikan Sultan Trenggana. Peralihan kekuatan Pati Unus yang dahulu bertumpu pada kuatnya navalisme (militerisme di laut) untuk merebut Malaka, pada masa Trenggana beralih pada kekuatan militer darat untuk menyukseskan perluasan kekuasaan tanah dalam memerangi raja-raja.

Kondisi ini, di mana kerajaan di Nusantara menjadi saling bentrok, membuat laut sebagai pintu gerbang menjadi terbuka. Sedang di sisi lain, bangsa kolonial semakin memperkuat modal ekspansinya dengan memperkuat navalisme. Navalisme kolonial yang terus meningkat menjadikan pelabuhan-pelabuhan Nusantara goyah. Tak mengejutkan kemudian, bila daratan di mana desa berada menjadi relatif lebih mudah untuk ditembus sebagai konsekuensi dari kerapuhan kekuatan navalisme.

Singkatnya, baru tiga abad lebih Nusantara dapat lepas sebagai wilayah koloni. Proklamasi 17 agustus 1945, mengantarkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Di masa kemerdekaan, masyarakat lalu berhadapan dengan keberbagaian tegangan sosial politik —perpecahan masyarakat terjadi melalui polarisasi partai—dalam kehidupan demokrasi terpimpin. Meletusnya G30S/PKI menjadi puncak runtuhnya desakan "imajinasi komunalisme" dan memasifkan perlawanan yang mengharapkan ruang lebih longgar bagi ekspresi yang mandiri.

Dalam kecamuk politik itu, mahasiswa lalu menjadikan kampus sebagai basis penggalangan kekuatan untuk melakukan perlawanan-perlawanan dalam bentuk demonstrasi. Tirani (1966) dan Benteng (1966) karya Taufiq Ismail hadir sebagai reaksi dari kampus yang ikut membakar semangat pembebasan dari indoktrinasi revolusi dan mengembalikan kampus sebagai mimbar akademis. Dalam puisi berjudul "Mimbar" Taufik Ismail memandang ekologi kampus semacam ini:

Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan

Segala despot dan tirani
Tidak bisa merobohkan
mimbar kami



Revolusi Perkotaan
Setelah Orde Lama tumbang lewat keterlibatan demonstrasi mahasiswa, Indonesia lantas dibangun dengan visi pembangunan di tangan Orde Baru. Sistem kota berlangsung dengan penaklukan sebagai syarat utama terkumpulnya modal komunal. Haluan sosial dan politik kota dibagi-bagi dalam tatanan-tatanan pembagian kerja yang kemudian dikenal sebagai instansi atau birokrasi. Gurita birokrasi dalam bentuknya yang negatif, lalu menyuburkan kedestruktifan dan keserakahnnya karena menjalankan segala sesuatu berdasar pada panji keuntungan untuk kepentingan pribadi dengan cara ikut serta bermain dalam arus perdagangan pasar. Maka tak mengherankan bila merajalelanya korupsi terjadi, seperti yang ditulis oleh Rendra dalam "Sajak Ibunda" ini:

Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, facist,
wartawan amplop, dan anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun juga punya ibu

...

Apakah sang anak akan berkata pada ibunya:
”Ibu, aku telah menjadi antek modal asing,
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat

...

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin hambar seperti Monas dan/
Taman mini.


Ekologi perkotaan dalam puisi itu secara psikologis mengemuka seperti yang dikatakan oleh Lewis Mumfort (dalam Fromm, Akar Kekerasan. 2000 : 224) bahwa masyarakat kota di satu sisi bersifat cermat dan efisien, tapi di sisi lain acap destruktif, sadis, dan cenderung suka membangga-banggakan monumen-monumen seakan prestasi yang tertandingi. Padahal monumen itu malah menunjukkan kemegahan yang timpang dengan keadaan ekonomi mayoritas masyarakat. Dengan nada sinis, Wiji Thukul menggambarkan kejelataan dan kekerasan lewat "Monumen Bambu Runcing":

Monumen bambu Runcing
di tengah kota
menuding dan berteriak merdeka
di kakinya tak jemu juga
pedagang kaki lima berderet-deret
walau berulang-ulang
dihalau petugas ketertiban


Dengan adanya ragam ekologi yang bergeser dari penguasaan laut, ditembusnya desa, pembangunan kota yang melibatkan kontradiksi lembaga militer, agama sampai instansi pendidikan dan birokrasi politik; pada akhirnya, ragam ekologi sastra dapat dibaca sebagai bagian pembacaan kritis terhadap alur perkembangan konteks sosial historis bangsa pada suatu masa. Ragam ekologi sastra juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia--sebelum dan setelah merdeka--ternyata belum beranjak sebagai bangsa yang untuk ke sekian kalinya menjadi korban eksploitasi dari keserakahan, kepentingan-kepentingan kekuasaan yang acap berujung pada kekerasan, penderitaan, dan jatuhnya korban.

-- Lampung Post, Kolom Apresiasi, Minggu, 30 Mei 2010

Jumat, April 30, 2010

Sastra untuk Orientasi Bangsa

Oleh Abdul Aziz Rasjid

Lampung Post, Kolom Apresiasi, Minggu, 21 Maret 2010

Orang Barat di dalam diriku telah membusuk
— Joseph Conrad, Under Western Eyes


KETIKA pihak kolonial sibuk menentukan peta geografis, geopolitis, geoekonomi, juga geokultural dengan cara membagi wilayah-wilayah kawasan Hindia-Belanda berdasarkan kepentingannya dengan mengabaikan realita sosial, politik, bahasa, adat yang mengakar di suatu wilayah; hadir roman Max Havelaar karya Multatuli, nama pena seorang asisten residen bernama Doewes Dekker.

Roman itu berisi gugatan tajam tentang ketidakadilan dan penderitaan yang menimpa penduduk Bumiputera di Distrik Lebak, daerah Banten, Jawa Barat. Anehnya, roman ini --di mana Indonesia adalah bagian penting kisahnya-- yang terbit pertama kali pada tahun 1860, baru terbit dalam edisi bahasa Indonesia di tahun 1972 dan diterjemahan H.B. Jassin dengan bantuan subsidi Pemerintah Belanda setelah diterbitkan dalam bahasa Italia, Swedia, Rusia, Jepang, bahkan Afrika.

Doewes Dekker mendapat telaah yang tajam dari Rob Niehenweuys dalam buku bertajuk Hikayat Lebak (terjemahan Sitor Situmorang). Dalam buku itu, Niehenweuys memaparkan apa yang ditulis Multatuli dalam Max Haveelar bukanlah sebuah tindakan revolusioner. Sikap antikolonial Doewes Dekker hanyalah sebuah mitos dan sebuah kesalahan jika seorang berpendapat tindakan Lebaknya ingin mematahkan sistem kolonial. Sebab Dekker sendiri justru membantu menegakkan sistem yang pada hakikatnya tak adil (1977 : 75).

Dipengaruhi ilmu pengetahuan barat, mengambil dasar pada gagasan modernisme, sastra dan Indonesia lantas bergerak dari rentetan-rentetan imaji yang berada dalam relasi dan kekangan kekuasaan kolonial. Di saat-saat seperti itulah sebenarnya sastra Indonesia mengacu bukan pada akar tradisi, melainkan bergerak oleh asumsi yang dimainkan kelompok sosial tertentu dan kemudian dilestarikan kekuasaan terhadap yang lain.

Dalam Novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, Datuk Maringgih adalah tokoh pejuang yang melawan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda dengan ikut berperang hingga tewas di tangan serdadu Melayu yang tak lain kekasih Sitti Nurbaya, dan Sitti Nurbaya tak pernah sekalipun dipaksa ayahnya menikah dengan Datuk Maringgi, melainkan ia mengambil inisiatif sendiri untuk meringankan beban utang orang tuanya. Penceritaan roman Sitti Nurbaya itu dikontruksi sedemikian rupa. Tokoh baiknya adalah serdadu melayu Belanda dan tokoh buruknya adalah Bumiputera yang kikir dan gila wanita.

Dari roman itulah dapat ditarik sebuah asumsi bahwa Barat mempunyai otoritas untuk merepresentasikan Indonesia berdasarkan kekuasaan dan kemudian sistem pengetahuan mereka. Gerak awal modernisme yang berkembang dengan maraknya tiga gagasan: kapitalisme, humanisme, dan rasionalisme, seakan dianggap dapat menyingkap kebenaran tentang manusia, bangsa, dan kebudayaan Indonesia. Gagasan-gagasan inilah yang seakan menaruh harapan tentang adanya kekuatan tersembunyi di dalam individu terjajah, menjelma sebagai hal vital dalam proses identifikasi diri.

Sastra di masa itu datang dengan tradisi ini: modernisme sebagai bentuk budaya mempertahankan kemanusiaan, tapi hidup dalam tegangan barat/timur-tradisional/mo
dern-global/lokal-progresif/reaktif di antara sastra sebagai solilokui tentang isi hati dan sastra yang mesti diletakkan dalam upaya reconstructive arbeid. Maka tak mengherankan bila kemudian sastra bicara tentang seorang anak yang meninggalkan desa, menuju laut yang tenang, dan meninggalkan bahasa primordialnya.

Pada 17 Agustus 1945, ketika proklamasi dibacakan, Indonesia hadir sebagai bangsa yang merdeka, kehidupan sastra juga tak jauh dari situasi yang menyerupai Pemerintahan Indonesia saat itu, yaitu berhadapan dengan tegangan sosial politik dalam kehidupan demokrasi terpimpin. Dihadapkan pada desakan untuk menulis tentang revolusi yang merupa sebagai perpanjangan tangan "imajinasi komunalisme", hadir kemudian manifes kebudayaan sebagai bentuk perlawanan yang mengharapkan ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian yang mandiri. Uniknya, manifes itu mereproduksi kalimat atau tulisan "demokrasi terpimpin" yang disadari berciri keras tentang imbauan atau desakan pentingnya "manifesto politik".

Singkat cerita, pertarungan sastra itu diakhiri dengan pelarangan karya-karya seniman Lekra, laris manisnya antologi-tunggal Tirani (1966) dan Benteng (1966) karya Taufiq Ismail, perayaan puisi liris tentang cinta, kematian, dan kesunyian.

Tetapi, setelah cinta, sunyi, dan kematian dapat ditulis kembali, apakah sastra dengan capaian itu telah menemu imajinasinya yang mandiri? Apakah sastra setelah itu membantu gerakan emansipasi kelas untuk memperoleh harga dirinya lewat imajinasinya dan pengungkapan bahasa dengan cara unik untuk mengungkapkan tuntunan dan tuntutan kelompok-kelompok subaltren yang tertindas atau orang-orang buta huruf untuk kemerdekaan sosial?

Sebab, Indonesia sendiri di bawah pemerintahan Orde Baru makin dibangun dan ditentukan oleh konsep-konsep pengetahuan yang diimpor dari barat. Hiruk pikuk proyek-proyek kota dipenuhi gerak terselubung dari para teknokrat yang memproduksi imaji Indonesia berdasarkan model-model yang sesuai dengan kepentingan Amerika. Visi pembangunan berpangkal pada penaklukan sebagai syarat utama untuk terkumpulnya modal komunal dan hal itu semakin meruncingkan kontradiksi, karena haluan kerja pemerintah tak berpihak pada rakyat tetapi menjalankan segala sesuatunya berdasar pada keuntungan yang dimainkan oleh arus perdagangan pasar. Korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) lantas merajalela di segala sudut.

Dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, Rendra menggambarkan maharajalelanya keserakahan itu lewat ”Sajak Ibunda”:

Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, facist,
wartawan amplop, dan anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun juga punya ibu

...

Apakah sang anak akan berkata pada ibunya:
”Ibu, aku telah menjadi antek modal asing,
yang memprodusir barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat

...

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin hambar seperti Monas dan
Taman mini.

Mengkritisi dominasi kaum elite saat Orde Baru berjaya, Rendra lantas meninggalkan periode anggur dan rembulan, dengan keberanian untuk menghadapi bui dan pencekalan, ia menemukan imajinasi puisi sebagai wacana pemaknaan terhadap realita sosial bangsa, di mana setelah merdeka kebijaksanaan politik luar negeri dan administrasi negara dalam pembangunan tetap berkiblat dan meniru model-model yang sesuai dengan kepentingan Eropa atau Amerika, puisinya diletakkan sebagai nada sinis untuk pemerintah yang acakap membanggakan diri pada monumen-monumen yang dianggap sebagai prestasi tak tertandingi.

Jadi, sastra tidak lagi merujuk hanya pada teknik menulis: sastra mempunyai implikasi sosial, politik, dan filsafat yang mendalam yang dapat memberi kontribusi untuk orientasi bangsa. Soalnya kemudian, apakah kekuasaan mau membuka diri untuk mengapreasiasi dirinya lewat wacana-wacana pemaknaan, semisal sastra, yang hidup dalam masyarakat?

Dan mampukah sastra menerima tantangan --merujuk pada Yasraf Amir Piliang dalam Identitas dan Liminalitas: Sastra Pos-Kolonial dalam Retakan Imajinasi (2009)-- untuk membangun sebuah proses penandaan yang melaluinya tanda-tanda budaya-budaya diperbedakan, makna-makna diproduksi, dan nilai-nilai dikembangkan? Sehingga resemiotisasi kebudayaan melalui kekuatan sastra dapat diusulkan, dalam rangka pengkayaan dan penganekaragaman bentuk, makna, dan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.

Selasa, Februari 16, 2010

Esai

Cinta Paripurna Pablo Neruda

Oleh Abdul Aziz Rasjid

-- Suara Karya, Sabtu, 13 Februari 2010


Matilde: nama sebentuk tumbuhan, atau batuan, atau anggur,
dari segala hal yang bermula di bumi, dan akhirnya:
kata yang di sana tumbuh fajar pertama yang membuka,
yang di sana musim panas menyinari jeruk-jeruk yang rekah.

Begitulah cara Pablo Neruda memanggil, menghikmati serta memuja nama istrinya dalam sebuah soneta. Sebuah nama yang dicinta memang bisa menghasilkan kejutan yang menyentak, menggaungkan sejumlah makna yang sangup menggedor pikiran dan selanjutnya menantang hasrat penyair untuk menuangkannya dalam kejelian untuk melakukan perambahan pengucapan, pemanfaatan kebebasan untuk menghasilkan daya pikat dalam bentuk puisi.

Matilde Urrutia adalah misal yang baik tentang kisah pesona sebuah nama. Dia adalah mantan seorang penyanyi Chili yang pernah dipekerjakan untuk merawat Pablo Neruda ketika terserang flebilitis pada lawatannya ke Meksiko pada akhir 1945 dan akhirnya menjadi istri dari penyair terpenting yang pernah dilahirkan sastra Amerika Latin abad ke-20 itu. Selanjutnya, nama Matilde mengawali madah cinta seratus soneta yang terkumpul dalam buku bertajuk Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta (2009) yang disulih oleh Tia Setiadi dari buku 100 Love Sonnets karya Pablo Neruda yang dalam versi asli berbahasa Spanyol berjudul Cien sonetos de Amor (1960).

Kiprah Matilde sebagai istri lantas menginspirasi sang maestro pemenang Nobel sastra 1971 itu untuk menghayati aktivitas serta memperhatikan detail-detail sehari-hari yang merujuk pada hubungan rumah tangganya, semisal ketika Matilde Urrutia memasak di dapur, mondar-mandir menyiram bunga-bunga mawar dan anyelir, atau ketika istrinya tengah menyiapkan spraei dan ranjang tidur dengan lagak-lagu tubuhnya yang anggun. Jadi tampak wajar, jika seratus soneta yang dideklarasikan sebagai fondamen cinta itu, dikatakan oleh Pablo Neruda sebagai soneta-soneta kayu yang lahir karena Matilde yang memberi kehidupan.

Apa yang tersirat dalam seratus soneta cinta ini, seakan-akan menggambarkan bahwa keagungan sudah terjelma begitu sempurna dalam diri Matilde, sehingga tak berlebihan memang jika Tia Setiadi sebagai penyulih sekaligus penulis esai pendamping yang bertajuk "Neruda dan Keabadian sebuah Ciuman" mengatakan bahwa bagi Pablo Neruda, jagad raya adalah mikrokosmos sementara Matilde Urrutia adalah makrokosmos.

Dalam soneta XVI, Pablo Neruda menulis:

Aku mencintai segenggam bumi yang tak lain adalah Engkau.
Sebab padang-padang rumputnya, meluas laksana planet,
Aku tak punya bintang lain. Engkaulah tiruanku
Atas semesta yang berlipat ganda
Esai pendamping yang ditulis oleh Tia Setiadi itu, memang patut dijadikan perhatian, sebab memuat pula ikhwal hayat dan karya Neruda yang dapat membuat pembaca menjadi akrab dengan sosok dan perjalanan kepenyairan Neruda. Sekaligus juga dapat difungsikan oleh pembaca untuk membantu upaya-upaya penafsiran. Semisal alenia berikut: "Puisi Neruda, lebih dekat ke nafiri kejujuran yang tanpa pretensi, kerendahan hati dan senandung rasa syukur yang tulus pada kemahaluasan hidup. Puisi semacam ini, bisa dipadankan dengan kejernihan dan kepadatan kristal-kristal batuan yang dinafasi oleh tenaga hidup atau denyar-denyar asmara yang berbinar-binar, bagiakan vibrasi gelombang cahaya. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah langkah-langkah kecil menuju keindahan. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah kepergian sekaligus kepulangan".

Melihat kembali pada pembacaan capaian perkembangan kepenyairan Pablo Neruda, Saut Situmorang dalam sebuah esai yang berjudul "Pablo Neruda dan Imperialisme Amerika Serikat" (2004) memaparkan bahwa secara umum keseluruhan corpus Pablo Neruda yang begitu ekstensif dan bervariasi selalu diklasifikasikan dalam empat perkembangan tematik besar: pertama, puisi cinta seperti yang terdapat pada Duapuluh Sajak Cinta dan Satu Nyanyian Putus Asa dan Sajak- sajak Kapten; kedua, puisi "Material" seperti kumpulan Berdiam di Bumi yang bercirikan kesunyian dan depresi yang membawa kepada pengalaman bawah sadar yang demonik: ketiga puisi epik seperti pada Canto General dan Epic Song yang merupakan semacam usaha reinterpretasi Marxian atas sejarah Amerika Latin dan perjuangan bangsa Amerika Latin melawan penindasan dan ketidakdilan: yang keempat adalah puisi yang berbicara tentang hal remeh temeh, binatang dan tanaman, seperti pada kumpulan Ode Elementer. Sedang Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta dapat digolongkan sebagai bagaian dari fase terakhir perkembangan gaya pengucapan Pablo Neruda yang beralih dari gaya surealis menjadi realisme sintaksis bahasa sehari-hari yang sederhana dan mudah untuk dimengerti.

Seratus soneta cinta dalam buku ini, terbagi dalam empat perbedaan waktu, yaitu: Pagi terdiri dari 32 soneta (I-XXXII), Senja terdiri dari 21 Soneta (XXXIII-LIII), Petang terdiri dari 25 soneta (LIV-LXXVII) dan Malam terdiri dari 22 Soneta (LXXIX-C).

Pembagian waktu ini, mengungkapkan bahwa hasrat dan rasa cinta Pablo Neruda pada Matilde adalah keabadian tak putus-putus yang sekaligus menjelaskan keberbagaian upaya untuk memperlihatkan pada pembaca tentang keteguhan cinta Neruda pada istrinya.

Hal yang dapat dicermati pada soneta-soneta lainnya, adalah tipikal Neruda yang selalu mengkaitkan soal dalam puisinya dengan keadaan sosial, dimana karena hal itu Pablo Neruda sering disebut sebagai "Penyair dari kemanusiaan yang diperbudak" (poet of enslaved humanity), dalam soneta "XXIX" hal ini paling kental terasa:

Engkau datang dari kemiskinan, dari rumah-rumah di selatan,
dari lanskap-lanskap liar yang dingin dan berlindu
yang menawarkan pada kita setelah dewa-dewa itu terjungkal
ke dalam kematian hikmah hidup, yang terbentuk di lempung.

Kau adalah kuda kecil dari lempung hitam, sebuah ciuman
dari lumpur gelap, Kekasihku, sekuntum popy lempung,
merpati senja yang terbang sepanjang jejalan,
tabungan airmata dari masa kecil kita yang melarat.

Gadis kecilku, jantung kemiskinan ada dalam dirimu,
kakimu terbiasa mengasah batu-batu,
mulutmu tak selalu punya roti, gula-gula.

Kau datang dari Selatan yang miskin, di mana jiwaku bermula:
di ketinggian langit itu ibumu masih mencuci pakaian
dengan ibuku. Karena itulah aku memilihmu, mempelaiku.
Merujuk pada konsepsi Erich Fromm, cinta Pablo Neruda yang dipersembahkan dalam aneka rupa seratus soneta pada istrinya itu, telah mewujud sebagai integritas, ketetapan untuk menjadi diri yang lebih matang, yang memaparkan sebuah usaha untuk menjadi pribadi yang aktif, sadar, dan berproses untuk terus "menjadi".

Maka, Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta tampil untuk merayakan cinta yang lebih menawarkan supaya kekurangan dan kelebihan mesti disyukuri lantas dimaknai sebagai modal utama eksistensi cinta, yang pada akhirnya eksistensi itu dengan bersetia mendekati eksistensi lain untuk saling meleburkan diri. Di situlah cinta yang sempurna menetap, dan kita mendapatkan contoh yang luar biasa dalam seratus soneta cinta Pablo Neruda.

Abdul Aziz Rasjid Peneliti Beranda Budaya, tinggal di Purwokerto

Senin, Januari 11, 2010

Sokaraja mBigar itu

Sokaraja mBigar dalam Estimasi Seni dan Budaya

Oleh ARIF HIDAYAT

Dalam pamlet, yang tertempel di dinding, saya membaca “Pagelaran akhir tahun yang bertajuk “Sokaraja Mbigar” merupakan serentetan gerakan kultural untuk berbagi kegembiraan dan kesenangan meski gerakan kultural masyarakat yang saat ini masih trus melemah dan menipis. Sokaraja sebagai jalur transportasi dari beberapa kota besar mempunyai rupa yang khas. Lukisan pemandangan yang banyak diproduksi di daerah ini. Pada era 70-80an karya rupa tersebut banyak dijumpai disepanjang ruas jalan raya Sokaraja, namun hampir dua dasa warsa karya rupa tersebut banyak dicari orang.

***

Saya penasaran dengan pamlet tersebut. Saya teringat Rendra pada tahun 1984, di New York, tepatnya di Manhattan, Lorong Broadway. Di sana, Rendra sangat penasaran dengan pertunjukan-pertunjukannya, baik sandiwara, drama, lukis, rupa, film-filmnya. Di tempat inilah sejumlah seniman di Amerika berkumpul mengeluarkan ideologi berkesenian, sambil memantapkan namanya. Selain itu, Broadway menjadi eksperimentasi dan pembaruan bagi seni.

***

Dari pamlet tersebut, saya membayangkan sebuah ruangan “bisa saja”, yang akan disulap menjadi “luar biasa”. Dan saya akan menemukan banyak pengalaman mengenai bagaimana lukis dan rupa ideologi (khas) Sokaraja, pertunjukan-pertunjukan khas Banyumas, film pendeknya, musik, bahkan pengetahuan mengenai seni budaya Banyumas lewat diskusi, yang tentunya ada di Sokaraja Mbigar.

Sebuah acara yang “langka” menurut saya karena hal-hal yang berkaitan dengan seni dan budaya tersaji dengan lengkap.

Memang, apabila melihat pada porsi Sokaraja yang secara historis telah eksis berkesenian lama, maka sampai saat ini sesungguhnya sangatlah minim sekali mengenai pagelaran lukis dan rupa, ataupun agenda-agenda budaya lainnya. Bahkan di Indonesia, hanya gedung sekaliber Salihara milik Goenawan Mohamad dkk, (Komunitas Utan Kayu) yang sekarang ini rutin menggelar agenda-agenda budaya. Bahkan, Gedung Salihara tersebut, tidak mampu berdiri sendiri karena di balik itu ada sumbangan dari luar negeri.

***

Indonesia sebagai negera yang berbudaya, pada eksistensinya, justru tidak mampu mempertahankan budaya itu dengan baik. Indonesia justru sibuk dengan politiknya, yang berkutat ini dan itu saja. Dalam kesibukan itulah, Indonesia baru geger manakala budaya aslinya diklaim oleh negera tetangga, Malyasia, semisal Batik, Reog Ponorogo, dan banyak lainnya. Di sinilah kesalahannya, seni dan budaya menjadi “anak tiri” sehingga terluapakan, dan ketika anak tiri itu akan diasuh oleh orang lain barulah kegemparan itu muncul di mana-mana, ribut masalah hak paten. Tapi, ini adalah peristiwa kemarin dan kita perlu belajar banyak akan hal itu.  

***

Saya rasa, pelukis dan perupa di Sokaraja juga mengalami hal demikian. Minimnya agenda budaya itulah, yang membuat para pelukis dan perupa Sokaraja untuk menggelar Sokaraja Mbigar dari 24 Desember 2009 s.d 02 Januari 2010, di Pendopo Kecamatan Sokaraja. Sejumlah praktisi budaya dan seni, semisal Ahmad Tohari, dan penggat seni dari Unsoed, Unwiku, UMP, Indokom, serta tamu dari Pemalang dan Purbalingga juga menghadiri acara tersebut.

Hanya saja acara ini masih minim dari sentuhan masyarakat umum secara luas, hanya warga sekitar Pendopo Kecamatan Sokaraja, yakni dari Sokaraja Lor, Sokaraja Kidul, dan Sokaraja Wetan. Di sinilah, yang kadang terlupakan oleh kita, bahwa seni dan budaya adalah realitas. Jadi, alangkah baiknya karya (seni ) jangan ada distansi ataupun sengaja membuat dan membentuk artikulasi dengan realitas.

***

Dan saya berharap, Sokaraja Mbigar bukanlah suatu kegelisahan semata karena terusik oleh sesuatu, seperti yang tertempel di pamlet. “Mbigar” dalam artian saya adalah lari yang sangat cepat dari kuda atau kerbau karena eksistensinya (baca; ketenangannya) terusik oleh sesuatu. Namun, Sokaraja Mbigar merupakan suatu ideologi seperti yang telah terjadi di New York, tepatnya di Manhattan, Lorong Broadway. Di mana, seni dan budaya mendapatkan porsi sebagai anak zaman yang diakui dan dipelihara, serta sebagai eksperimentasi dan pembaruan kreativitas. Dari sinilah, pada nantinya, sepanjang jalan Sokaraja  menjadi diwarnai oleh kreativitas seni yang luar biasa. ***

Biodata Penulis

ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Alumnus dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini, tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, dan Suara Karya. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar, Pendapa 5: Temu Penyair Antar Kota, Anak-anak Peti, dan Catatan Perjalanan. Dia kini bergiat di Komunitas Beranda Budaya. Tampat tinggalnya di Desa Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: dayat_pr@yahoo.com.

 

Kamis, Januari 07, 2010

Catatan Budaya

Kroya yang Mendekatkan Diri pada Sastra

Oleh Abdul Aziz Rasjid

Sastra di Indonesia masih lamban untuk menempatkan diri pada posisi kunci tetapi mengesankan ada pengambilan peran sebagai medium penyadaran alias medium meladeni krisis. Optimisme atas sastra mesti disemaikan sebelum krisis besar melahap sastra lalu melahirkan krisis sastra tanpa ada juru selamat dan jalan penyelamatan.

Kesan seperti itu, dengan sangat lugas, ditulis oleh Bandung Mawardi dalam esainya yang bertajuk Sastra Meladeni Krisis: Kemungkinan dan Ketidakmungkinan dalam sarasehan sastra bertajuk "Perjuangan Sastra Melawan Krisis" di Kroya, 11 Oktober 2009. Ketika sastra diyakini tak bisa lepas dari realita sejarah suatu bangsa atau lingkungannya, sastra dipahami bukan sekadar pandangan yang hadir dengan sifat spekulasi, tetapi lahir dari sikap kritis, analisis, dan imajinatif di mana pendekatan yang digunakan tentulah dengan memilih fakta-fakta mana yang paling plastis untuk menggambarkan situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi, maupun kultural yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita di masa kini.

Pada saat itulah, sastra sebenarnya menyimpan harapan untuk melahirkan pembaca dan penulis sastra yang sadar bahwa sastra adalah bagian dari politik wacana. Politik wacana yang dapat ditangkap dalam uraian Triyanto Triwikromo ketika menjelaskan muatan-muatan yang dibawa novel Bilangan Fu karya Ayu Utami secara samar-samar menjelaskan pula tentang pentingnya hubungan produksi dan konsumsi sastra yang seharusnya berpegang pada prinsip keseimbangan supply-demand. Akan tetapi, hal itu lantas berubah jadi keresahan ketika perbincangan beralih pada sekolah (sistem pendidikan) yang semestinya berpeluang menjadi jembatan keseimbangan antara produksi dan konsumsi sastra dipandang gagal untuk mengubah citra bahwa mengonsumsi sastra bukan sekadar untuk kesenangan atau hiburan semata bagi siswa. Namun, sastra semestinya memiliki potensi menjadi wadah yang menampung konsep moral sosial dalam konteks kehidupan dewasa ini.

Pembelajaran sastra

Susi Widayati, Pengawas Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cilacap, yang dalam sarasehan itu membicarakan tentang strategi pembelajaran sastra di sekolah mengurai perkaranya melalui diberlakukannya Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi hingga diserahkan ke masing-masing satuan pendidikan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Materi pelajaran apresiasi sastra yang tidak lagi muncul secara eksplisit sebagai materi tersendiri di era KTSP namun melekat pada standar kompetensi keempat aspek ketrampilan berbahasa menjadi rawan terabaikan bila guru tidak mencermati pemetaan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta variasi sumber bahan yang digunakan.

Lalu, guru sebagai ujung tombak untuk mengantarkan siswa agar lebih mengenal, memahami, dan mampu mengapresiasi sastra dituntut lebih luas pemahamannya, pengetahuannya, dan referensinya tentang sastra. Bila guru tak memenuhi syarat itu, tentu akan membuat guru enggan memilih salah satu wacananya dari materi sastra.

Dalam keadaan krisis pada wilayah produksi dan konsumsi sastra itulah, Kroya seakan memantapkan diri sebagai daerah yang mendekatkan diri pada sastra untuk mengurai gejolak sosial lingkungannya, bukan dalam kaitan fenomena yang hadir dari kepentingan birokrasi daerah sebagai kinerja politik untuk kemudian mencoba menanamkan investasi nilai pada sastra atau sebaliknya. Akan tetapi, upaya yang lahir dari komunitas bernama Tjlatjapan Poetry Forum (TPF) yang dirodai beberapa pegiat sastra di Cilacap semisal Badruddin Emce, Irfan Zaki Ibrahim, Faisal Komandobat, Insan Indah Pribadi, dan Imam Antassalam yang memusatkan kegiatannya di Kroya dengan mencoba lewat dana mandiri menyemaikan sastra dalam upaya meladeni krisis sastra yang secara geografis sering kali diperbincangkan sedang melanda di wilayah Karesidenan Banyumas.

Keseriusan TPF pada praktiknya bukan hanya mewujud dalam bentuk pertemuan-pertemuan sastra semacam sarasehan "Perjuangan Sastra Melawan Krisis" yang mencoba mendekatkan diri pada realita sosial untuk mengangkat isu dalam hubungannya dengan perkembangan sastra di Indonesia. Namun, secara rutin pula memproduksi terbitan berkala yang bertajuk buletin Cangkir sebagai usaha mentransmisikan pesan atau wacana yang penting bagi masyarakat dan daerah Banyumas khususnya lewat sastra. Sasaran terbitan ini memasuki wilayah sekolah yang jelas dapat membantu menyebarkan pengaruh bagi siswa untuk menulis, mengambil referensi, sebagai pemacu semangat dalam proses kreatif penulisan sastra dan sekaligus membantu guru untuk mempermudah akses pengonsumsian pengkajian sastra pada siswa. Di sisi lain juga terdapat kerja cultural dari TPF dengan membuka kafe buku yang merupakan fasilitas bagi warga Kroya agar lebih mudah membaca karya sastra.

Saya kira, melihat praktik kerja TPF yang berada di Kroya itu, TPF dapat dijadikan sebuah misal tentang ruang alternatif produksi sastra yang digarap dengan ketelatenan, keseriusan, dan pemaksimalan peluang-peluang pemasaran (konsumsi) yang menyiasati dengan cerdik agar karya sastra dikenal lantas dapat dimaknai oleh masyarakat. Tentu saja suatu bentuk optimisme yang menaruh percaya bahwa sastra mesti disemaikan di wilayah semacam Banyumas yang sering kali diperbincangkan sedang mengalami krisis sastra. Dari kesadaran atas krisis itulah, kegiatan-kegiatannya TPF di Kroya sudah memulai dirinya sebagai "tindakan" langsung ketika Purwokerto sebagai pusat Karesidenan Banyumas masih gagap untuk dapat meletakkan sastra sebagai medium penyadaran. Akhirnya, manakah yang lebih maksimal untuk mengembangkan sastra di wilayah Karesidenan Banyumas saat ini, sekadar berharap atau bertindak langsung semacam TPF yang memulai mendekatkan Kroya pada sastra?

***

Disiar pertama kali di KOMPAS (FORUM JAWA TENGAH), Senin, 26 Oktober 2009.

Esai

KISAH BUKU LOAK

Oleh Abdul Aziz Rasjid

Pada suatu hari, Miquel de Cervantes menemukan sebuah buku berjudul Sejarah Don Quixote dari la Mancha di sebuah toko buku loak. Buku itu ditulis sejarawan Arab bernama Cid Hamet Benengelli dalam bahasa Arab. Karena tak paham bahasa Arab, Cervantes meminta bantuan seorang Moor untuk menerjemahkan naskah kuno itu ke bahasa Spanyol. Dan, buku yang telah diterjemahkan itu kemudian dia tulis kembali dengan judul Petualangan Don Quixote. Singkat cerita, kehadiran buku itu memberikan corak baru dalam sejarah sastra dunia. Inti temanya yang membicarakan kegilaan yang bangkit dari gugusan imajinasi terus terdengar pengaruhnya, misalnya dalam novel Perjalanan ke Timur (1932) karya Herman Hesse yang terbit berabad-abad kemudian.

Pada suatu hari yang lain, Osman -seorang mahasiswa teknik sipil Turki- membeli sebuah buku di toko buku loak. Buku itu tergeletak di antara jajaran buku-buku tua, pamflet-pamflet kuno, buku novel cinta, berjilid-jilid puisi, dan ramalan. Disebabkan membaca buku itu, seluruh hidup Osman pun lantas berubah; dia terpengaruh oleh gagasan tentang malaikat yang terurai dalam buku itu sehingga terobsesi untuk mencari makna-makna misterius yang terkandung dalam buku itu. Sampai-sampai, Osman mengambil pilihan untuk menelantarkan studinya demi memecahkan kemisteriusan yang terkandung dalam buku itu.

Barangkali Cid Hamet Benengelli dan Osman hanyalah seorang tokoh fiktif. Barangkali pula tak sepenuhnya demikian. Nama Cid Hamet Benengelli disebut oleh Cervantes ketika dia mengaku bahwa Don Quixote de la Mancha (volume II, 1615) bukanlah karangan sendiri. Sedangkan Osman ditampilkan Orhan Pamuk dalam novelnya yang berjudul Yeni Hayat atau The New Life. Menengok pada kehidupan Pamuk secara pribadi, dari usia 18 tahun, dia seminggu sekali terbiasa pergi ke Sahalfar, pasar buku-buku tua di Beyazit. Di sana dia akan masuk ke sebuah toko buku yang menjual buku-buku bekas, menyisir semua rak, mem­balik-balik buku, membeli buku dengan ke­yakinan bahwa tentu setidaknya ada sedikit Tur­ki di dalam buku-buku itu. Ketelatenan dan keasyikan Pamuk untuk menemukan Turki di balik buku-buku itu setidaknya menjadi inves­tasi yang mumpuni di kemudian hari bagi pro­fesinya sebagai seorang penulis yang me­ngan­­tarnya meraih penghargaan Nobel Sastra 2006.

Di luar sisi realitas maupun imajiner yang mengiringi kisah dua buku itu, bila kita khidmati lebih lanjut, dua kisah dalam buku itu menyampaikan suatu misal yang memaparkan beberapa hal: tentang penulis yang ditilap dan dimenangkan sejarah, tentang pengaruh tiap-tiap buku yang memiliki kesan tersendiri bagi pembacanya. Singkatnya, sebuah narasi tentang takdir buku sebelum dan setelah dibaca.

Dari misal itulah, kita menjadi tahu, buku-buku dalam toko buku loak -yang acapkali berada dalam lokasi pinggiran/terpinggirkan, ditumpuk bercampur baur dan tanpa disusun dengan pelabelan semacam buku best seller atau buku terbaru- tak berarti ikut terpinggirkan dan berkurang potensinya untuk tetap menyuarakan upaya-upaya dari sikap kritis dan dialogis penulis. Malah, tiap calon pembaca memiliki kebebasan untuk menyeleksi, memilah sebelum memilih buku yang akan dibacanya berdasar kebutuhan dirinya di luar pengaruh dari penandaan akibat pelabelan yang acapkali menilapkan potensi sebuah buku. Belum lagi, transaksi penawaran yang luwes dapat menjadi modal serta bekal utama calon pembaca untuk mendapatkan buku dengan harga yang murah.

Pola transaksi buku seperti dalam toko buku loak itu saya kira penting untuk tetap ada. Mengingat, tak banyak usaha di negeri ini yang berkaitan dengan produksi dan penyebaran buku didukung oleh dana-dana publik. Bahkan, kondisi perpustakaan kota atau perpustakaan universitas yang tersebar di berbagai daerah sering tak dapat dianggap layak dan desa seakan diabaikan sebagai ruang menyimpan bacaan. Buku di toko loak itu, dalam kaitannya dengan keadaan perbukuan dewasa ini, menjadi patut untuk diperhatikan dalam upaya menumbuhkan tradisi membaca. Sebab, dalam ruang produksi buku yang telah terkapitalisasi, kita tahu bahwa tidak semua golongan/lapisan masyarakat punya kesempatan yang sama untuk dapat membaca. Maka, dapat ditarik asumsi sederhana bahwa dalam dunia perbukuan dewasa ini sudah sejak dini terdapat semacam proses seleksi sosial.

Dalam kondisi seperti itu, buku yang menyimpan sebuah realitas sejarah yang tentu memuat gambaran kondisi sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan sebuah bangsa serta memuat upaya penulis untuk melibatkan aktualisasi kognitifnya terhadap masalah-masalah sosialnya, cita-cita dan perjuangannya, dan meletakkan nasib sendiri sebagai bagian dari nasib besar masyarakat pada sebuah masa menjadi rawan untuk tak terbaca. Oleh sebab itu, kisah dua buku yang tergeletak di toko buku loak itu patut untuk kita khidmati kembali. Setidaknya keduanya telah menjadi bukti yang sahih untuk menyatakan bahwa di balik buku akan selalu tersimpan sebuah jendela bagi kita untuk melihat, mengenal, dan menelaah sebuah dunia dari suatu masa. Buku-buku yang tergeletak di toko buku loak -seusang apa pun dan ditumpuk-tumpuk semacam apa pun- tetap menyimpan potensi untuk mewartakan kepada kita bahwa buku dan dunia selalu dalam proses menjadi dan mungkin tak kunjung usai yang jejaknya acapkali kita pelajari sebagai mozaik sejarah yang penting untuk dibaca.

***

Disiar pertama kali di Jawa Pos, Minggu 18 Oktober 2009.