Jumat, Agustus 27, 2010

Cilacap Peduli Sastra

Tanggap Sasmita, Cilacap Peduli Sastra

Oleh Abdul Aziz Rasjid


Tanggal 28 Juli 2010 lalu, telah diterbitkan sebuah antologi puisi bertajuk Rasa Rumangsa Tanggap Sasmita oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cilacap. Antologi puisi ini memuat 29 puisi dari 6 penyair muda Cilacap, yaitu Abdulloh Amir (Sampang), Eko Triono (Adipala), Hizi Firmansyah (Majenang), IH. Antassalam (Wanareja), Rudiana Ade Ginanjar (Cipari) dan Wachyu Pras (Kroya), dan diluncurkan sebagai bagian dari agenda Pesta Pro Sastra dalam rangka "Gelar Seni Budaya Kabupaten Cilacap Tahun 2010” di ruang Masigit Sela Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cilacap.

Selain meluncurkan antologi puisi, agenda Pro Sastra juga mennyelenggarakan kegiatan diskusi antologi dan pembagian buku antologi secara cuma-cuma pada para undangan yang terdiri dari guru, siswa-siswi SMU di Cilacap dan pegiat sastra di Cilacap. Enam penyair yang termuat puisinya dalam antologi tampil membacakan puisinya masing-masing lalu berdiskusi tentang proses kreatif mereka. Sedang dua puluh sembilan puisi yang termuat di dalam antologi itu, secara khusus dibedah oleh Wisnu Shanca Bumi (pemerhati seni budaya Cilacap) dalam acara diskusi yang dimoderatori oleh Badruddin Emce (penyair asal Kroya).

Idealnya, bagi para pegiat sastra, setidaknya acara yang digelar oleh Disbudpar Kabupaten Cilacap ini merupakan ajang perjumpaan secara langsung antara beberapa sastrawan asli Cilacap dengan pembaca mereka sekaligus promosi gagasan untuk membudayakan membaca dan menulis sastra di instansi pendidikan. Sedang bagi siswa, diskusi dan penceritaan proses kreatif para penyair muda cilacap dapat memberi pengaruh bagi siswa untuk lebih kreatif menulis, mengambil referensi, dan lebih akrab pada karya-karya sastra dari daerahnya. Yang menarik kemudian, apakah sesungguhnya tujuan diluncurkannya antologi Rasa Rumangsa Tanggap Sasmita yang diterbitkan oleh Disbudpar Kab Cilacap?

Dalam sastra modern, penerbit adalah pihak atau lembaga yang memungkinkan terjadinya produksi dan reproduksi karya sastra. Tetapi yang tidak boleh dilupakan, penerbit sering kali terikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu dan keberbagaian pertimbangan semacam faktor pembaca, ekonomi, maupun politik. Mengingat hal itu, merujuk pada pendapat Maman S Mahayana, memperbincangkan kaitan sistem penerbitan, akan berurusan dengan beberapa hal, yaitu: a). Ideologi dan kepentingan penerbit, b) peranan dan pengaruh penerbit terhadap struktur formal karya sastra, c) sistem pengayoman yang dilakukan penerbit, d). faktor sosial-ekonomi-politik yang mempengaruhi penerbit, e) jaringan distribusi, dan e). Sasaran pembaca (Sembilan Jawaban sastra Indonesia. 2005: h. 2-3). Dari kaitan sistem penerbitan yang dijabarkan oleh Maman S Mahayana itu, penulis mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan di atas.

Pelestari dan Pembina

Dari kata pengantar yang ditulis oleh penerbit, sudah ditampakkan dengan jelas bahwa kepentingan penerbit meluncurkan antologi puisi sebagai bagian dari tanggung jawab Disbudpar yang memiliki fungsi pelestarian dan pembinaan kebudayaan. Maka tak salah memang, jika lewat antologi ini Disbudpar melakukan upaya untuk mendokumentasikan puisi-puisi –sebagi produk budaya-- yang ditulis oleh generasi penulis baru Cilacap.

Sedang berkaiatan dengan peranan dan pengaruh Disbudpar sebagai penerbit terhadap struktur formal karya sastra tampak terasa dalam pembacaan Wisnu Shanca Bumi yang mengapresiasi 29 puisi yang dituliskan dalam esai pembuka dengan tajuk “Berwisata ke Negeri Penyair Selatan”. Wahyu menemukan beberapa hal dalam puisi-puisi yang ia amati, yaitu: 1) Pengaruh latar geografi Cilacap dalam penciptaan karya dimana diksi-diksi geografis banyak menggambarkan bentangan alam Cilacap, 2) Aspek sosial ekonomis dimana beberapa puisi menunjukkan sensitivitas penyair terhadap kondisi sosial masyarakatnya terutama tentang kondisi kerusakan laut di Cilacap, kepiluan masyarakat nelayan dan produksi jamu yang banyak menjadi sandaran ekonomi masyarakat Cilacap, 3) Aspek sejarah yang berhubungan dengan ritus kuno seperti puisi yang menceritakan tentang Cangkring yang merupakan ritual memotong jari istri nelayan demi keberkahan sungai dan ikan. Singkatnya, diterbitkannya antologi Rasa Rumangsa, Tanggap Sasmita ini, merupakan respons, bentuk empatik maupun representati masyarakat Cilacap yang multikultural.

Pada aspek sistem penerbitan lainnya, Disbudpar melakukan pengantologian puisi penyair muda Cilacap sebagai bentuk pengayoman pada penulis muda yang dianggap telah mampu membuktikan dirinya sebagai kreator. Sedang berkaitan dengan faktor sosial-ekomi penerbit, distribusi dan pembaca, jelaslah bahwa antologi yang pendanaan produksinya dari pemerintah ini cenderung ditujukan untuk membangkitkan gairah menulis dan membaca sastra di lingkungan masyarakat Cilacap terutam siswa-sisiwi SMU Cilacap.

Patut disyukuri memang, bila pemerintah semacam Disbudpar Cilacap berkenan memainkan peran aktif sebagai pengayom dan pendukung kegiatan sastra sampai penerbitan karya sastra. Sikap ini setidaknya akan mencitrakan bahwa pemerintah ramah terhadap budaya dan sadar akan pentingnya produk budaya semacam karya sastra. Dengan pengayoman ini, setidaknya konsep penciptaan karya sastra di daerah akan lebih marak lagi mengangkat beberapa hal, semisal ideologi daerah, menjadikan daerah sebagai tekhnik dan daerah sebagai inspirasi. Jika idealitas ini terbentuk, maka karya-karya sastrawan yang didukung oleh sistem produksi maupun distribusi yang baik akan menggambarkan keresahan-kesulitan-kegetiran masing-masing daerahnya dan berpotensi untuk dapat dibaca dan dimaknai masyarakat untuk membangun spirit masyarakat dalam menemukan identitas dirinya yang khas.

Persoalan yang mungkin dihadapi, tinggal bagaimana penulis-penulis muda mau memaksimalkan diri untuk memaksimalkan potensi daerah maupun keresahan-kegetiran-kesulitan masyarakat daerahnya sebagai inspirasi dalam berkarya. Dari situasi-situasi itu, dapat ditarik asumsi bahwa sastra tidak lagi merujuk hanya pada teknik menulis: sastra pun mempunyai implikasi sosial, politik yang mendalam dan dapat memberi kontribusi untuk orientasi suatu daerah. Persoalan lanjutan yang mungkin dapat jadi momok baru yaitu, apakah pemerintah akan tetap membuka diri untuk mengapreasiasi dirinya lewat wacana-wacana pemaknaan semisal sastra yang membicarakan keresahan-kesulitan-kegetiran masyarakat? Saya tak tahu, tapi Cilacap telah membuktikan diri sebagai daerah yang peduli pada sastra.

-- Kedaulatan Rakyat, Minggu 8 Agustus 2010, Kolom Catatan Budaya

Gerakan Sastra ‘Horison’

Mengkaji Gerakan Sastra ‘Horison’


Oleh Abdul Aziz Rasjid


Taufiq Ismail pernah merasa bahwa dirinya bersama puluhan anak SMA lain seangkatannya di seluruh Tanah Air telah menjadi generasi nol buku yang rabun membaca dan pincang mengarang. Istilah nol buku menerangkan pada kala itu mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah sehingga mereka menjadi rabun membaca. Sedangkan istilah pincang mengarang diakibatkan tidak adanya latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah.

Keadaan generasi yang rabun membaca dan pincang mengarang itu lalu diindikasikan Taufiq Ismail sebagai sebab mendasar amburadulnya Indonesia hari ini karena dimungkinkan generasi nol buku inilah yang kini menjadi warga Indonesia terpelajar dan memegang posisi menentukan arah Indonesia di seluruh strata, baik di pemerintahan maupun swasta.

Didorong oleh keresahan pada adanya generasi nol buku itulah, lalu Taufik Ismail menggagas gerakan sastra bersama majalah Horison–di mana Taufik Ismail pernah menjadi redaktur senior dan salah satu dewan redaksi--dengan tujuan menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar sekolah menengah, santri pesantren, maupun mahasiswa bagi kemajuan pendidikan sastra di Indonesia. Taufik Ismail dan Horison tak main-main memang, sasaran yang dituju meliputi SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK, sampai mahasiswa se-Indonesia.

Gerakan sastra itu terdiri dari beberapa program, berupa 1). Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison, 2). Pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari--Oktober 2002), 3). Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan 4). Program Sastrawan Bicara, dan Mahasiswa Membaca (SBMM).

Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison digunakan sebagai medium mengenalkan sosok dan karya sastrawan Indonesia pada siswa. Sosok, karya, proses kreatif sastrawan Indonesia lalu diulas oleh Horison dengan harapan dapat memberi influence bagi siswa untuk lebih kreatif menulis, mengambil referensi, dan lebih akrab pada karya-karya sastrawan Indonesia. Untuk mempermudah akses pengonsumsian pada siswa, majalah Horison lalu disebar secara gratis ke SMA, madrasah aliah, pesantren, dan SMK.

Di sisi lain, sisipan Kaki Langit dalam majalah Horison juga menjadi wadah bagi siswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia untuk mengenalkan karyanya. Siswa dapat menuliskan sajak, cerita mini, esai di mana karya siswa ini lalu ditelaah oleh Horison. Telaah yang dilakukan Horison dapat dikatakan sebagai edukasi sekaligus evaluasi agar teknik menulis siswa dapat lebih berkembang. Sedangkan guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai eksekutor terpenting dalam lingkup pendidikan (sekolah menengah, pesantren) untuk membudayakan siswa membaca dan menulis, dalam sisipan Kaki Langit dapat berbagi pengalaman tentang metode pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah lewat kolom Pengalaman Guru.

Tiga Program lainnya, yaitu pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari--Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) adalah ajang promosi gagasan untuk membudayakan membaca dan menulis di instansi pendidikan, dan juga perjumpaan secara langsung antara beberapa sastrawan dengan sasaran gerakan sastra.

Program-program di atas setidaknya menjelaskan bahwa tradisi membaca dan menulis bagi siswa SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK dan mahasiswa telah digalakkan. Hasil ideal juga telah didapati, yaitu adanya karya yang dihasilkan siswa SMA, madrasah aliyah, pesantren, SMK, dan mahasiswa yang kemudian dimuat dalam majalah Horison. Persoalan selanjutnya, tinggal bagaimana karya mereka selanjutnya (baik masih sebagai mahasiswa atau pelajar maupun setelah mentas sebagai mahasiswa atau pelajar) dapat diterbitkan lalu dikonsumsi masyarakat? Untuk dapat memprediksi sejauh apa peluang-peluang karya mereka dapat diterbitkan, tentu harus ditengok dahulu sistem penerbitan karya yang berjalan di Indonesia ini.

Menurut Yosi Ahmadun Herfanda dalam Kapitalisasi Sistem Produk Sastra Kota (Horison, edisi September 2004), secara umum keadaan sistem industri budaya di Indonesia terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama adalah sistem industri market oriented yang secara jelas mengejar pengembangan modal. Sedang kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memili corak tersendiri, karena memang secara dasar memiliki watak yang berbeda.

Sistem industri market oriented dilihat dari wataknya yang melakukan kapitalisasi produksi untuk pengembangan modal membentuk konsekuensi logis bagi penulis, yaitu berkompromi dengan kepentingan kapitalis, dalam sistem ini karya sebagai hasil produksi pemikiran dan kekreatifan penulis memang diharuskan sesuai dengan keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dalam sistem ini, maka peluang penulis menjadi besar jika idealisasi konsep penciptaan karya yang diyakini benar untuk sementara dipinggirkan lalu tunduk pada keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dampak yang terjadi kemudian, penulis hanya akan menjadi tenaga kerja produktif, karena tujuan penulisan karya demi popularitas dan pendapatan financial reward yang relatif besar.

Pada sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal atau dapat dikatakan sebagai kegiatan penerbitan yang tidak dimaksudkan untuk pengembangan modal--dalam bidang sastra Ahmadun mencontohkan Horison, Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena, dan Teater Utan Kayu, konsekuensi logis bagi penulis agar karyanya dapat tersosialisasi harus sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas itu. Sistem ini, secara positif memberi peluang kebebasan pada penulis untuk menuliskan idealisasinya, asal idealisasi itu harus melebihi atau sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas, sedang sisi negatifnya akan melahirkan penulis-penulis yang hanya akan menjadi tenaga kerja repetitif karena tujuan penulisan sekadar menyesuaikan selera komunitas.

Dalam sistem penerbitan inilah, pekerjaan rumah gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menumbuhkan tradisi membaca dan menulis semacam yang dilakukan majalah Horison mendapat tantangan sebenarnya, yaitu memberitahu sejak dini pada siswa pentingnya menjadi tenaga ahli dalam bidang apa pun, lalu mewartakan tentang pentingnya cara menyiasati peluang-peluang pemasaran karya guna mempertahankan idealisasi pemikiran mereka.

-- Lampung Post, Kolom Apresiasi, Minggu, 1 Agustus 2010

Mendoan di Kafe

Mengkaji Elitisasi Mendoan di Kafe

Oleh Abdul Aziz Rasjid


KAFE sering diidentikkan sebagai tempat hiburan yang berkaitan dengan pola rekreasi yang mewakili gaya hidup masyarakat urban. Kini, di sebagian jalan-jalan pusat kota dan juga dekat area kampus di Purwokerto menjamur kafe.

Tawaran berbagai fasilitas —dari pertunjukkan bola, balap mobil atau motor, hotspot, musik akustik dan sebagainya— juga beragam menu makanan dan minuman berkedudukan penting dalam usaha mendekati, memanjakan dan menimbulkan rasa betah pengunjungnya.

Menariknya, di Purwokerto seakan ada kesepakatan di antara semaraknya tempat hiburan semacam kafe itu: semua menyajikan mendoan, makanan khas Banyumas, di daftar menu sajiannya. Kesamaan itu sebenarnya cukup untuk menunjukkan bahwa ruang-ruang populer mempunyai kemungkinan menyentuh produk lokal, bahkan memadukan keduanya.

Misalnya Joglo Cafe, di dekat kampus Universitas Jenderal Soedirman menyajikan inovasi sajian kuliner yang memadukan dua produk makanan dari dua geografi kultural yang berbeda (timur dan barat), yaitu mendoan burger. Dalam upaya perpindahan simbol itu maka inovasi sajian mendoan burger itu dapat diasumsikan bahwa makanan atau jajanan khas tersebut mengalami upaya elitisasi.

Lalu, apakah kehadiran elitisasi semacam mendoan burger berarti negatif bagi budaya lokal? Sebenarnya tidak asal identitas mendoan sebagi produk budaya lokal tidak tenggelam oleh citra burger. Sebab kita tahu menjamurnya industrialisasi dan komersialisasi makanan siap saji, termasuk burger, didesain oleh produsennya lewat teknologi komunikasi sehingga seolah-olah memiliki muatan yang tak hanya berurusan dengan rasa lapar namun dapat mewakili status sosial seseorang.

Mengapa mendoan sebagai produk lokal tetap bisa bertahan di antara atribut-atribut kuliner kebudayaan pop? Mendoan dapat bertahan karena dalam perkembangan produksinya memiliki kelengkapan watak industri, yaitu massal, praktis, dan mudah untuk mendapatkan pembeli dalam jumlah besar.

Tak dapat dimungkiri, mendoan diproduksi secara massal. Tiap pagi puluhan bakul jajan gendongan menjajakannya. Berganti sore sampai dini hari mendoan dapat dikonsumsi di angkringan-angkringan sampai kafe-kafe. Realitas ini, menandakan bahwa mendoan telah mengalami masifikasi dan membuktikan tidak hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat status sosial tertentu.

Nilai praktis mendoan, dapat dilihat dari tidak dibutuhkannya keterampilan khusus untuk memasak. Sebab produsen dalam perkembangannya sudah mengikutsertakan bumbu yang dibutuhkan dalam takaran porsi tertentu yang disatukan dalam satu kemasan siap saji.

Dua hal itu yang kemudian ditunjang dengan harga yang terjangkau membuat makanan itu relatif mudah dikonsumsi oleh berbagai tingkat sosial-ekonomis dan berpotensi mendapatkan pembeli dalam jumlah besar.

Perbanyak Distribusi
Lewat tiga watak industri itu, masyarakat Banyumas terdesain untuk menjadi akrab dengan mendoan, sebab jajanan itu senantiasa ada di antara geografi dan kultural mereka untuk menyuguhkan realitas produk khas. Di bagian inilah setidaknya dapat diambil pemahaman, bahwa salah satu jalan yang baik untuk melindungi produk budaya lokal dapat ditempuh dengan cara memperbanyak produksi dan distribusi.

Adapun persoalan inovasi yang melibatkan pengadopsian unsur budaya lain, semisal mendoan burger menunjukkan bahwa dalam perkembangannya, mendoan ternyata tak semata-mata fenemona kekhasan tradisi kuliner lokal, tetapi juga salah satu bagian dari fenemona arus komunikasi budaya yang makin meluas.

Relasi komunikasi lintas budaya di wilayah kuliner itu menunjukkan bahwa mendoan memiliki realitas ganda. Di satu sisi masifikasinya telah berhasil menciptakan internalisasi khas sebagai bagian budaya Banyumas yang tak mudah tercerabut.

Pada sisi yang lain, elitisasi mendoan dalam rupa mendoan burger —yang hadir karena kuatnya pengaruh pencitraan yang berasal dari luar tradisi lokal— menunjukkan bahwa pencitraan dari luar mempunyai dampak luas. Hal yang tak dapat dimungkiri, pencitraan itu telah membuat hal-hal di sekitar kita banyak berubah.

-- Suara Merdeka, Kolom Wacana, 26 Juni 2010.

Tanggapan

Pembersihan Massal

Sastra Indonesia di Banyumas



Tulisan ini adalah tanggapan atas sebuah pernyataan dan pertanyaan pendek saya di facebook, 16 juni 2010 jam 20:36. Isinya sebagai berikut:

Dua tahun lalu saya menemukan catatan dokumentasi kegiatan sastra di Banyumas di tumpukan majalah toko buku loak, judulnya "Kancah Budaya Merdeka" (HORISON/O7/XXIX/66). Membaca catatan itu seperti mengantarkan saya pada geliat kegiatan sastra di Banyumas 16 tahun silam. Jalan benarkah jika dokumentasi itu saya temukan begitu kebetulan di toko buku loak?

Berikut ini, tanggapan-tanggapan dari beberapa teman:

Chandra Iswinarno
wah apa cerita dibaliknya?

Dede Dwi Kurniasih
itu jodohmu kang,bukan sekedar kebetulan kurasa

Abdul Aziz Rasjid
aku kutipkan satu paragraf penuh ya Chan:

Kancah Budaya Merdeka, kelompok penyair di Banyumas, 24 April 1994, menyelenggarakan sarasehan sastra bekerja sama dengan sanggar Nafiri, Cilacap, dalam rangka memperingati hari Chairil Anwar. Herman Affandi, tampil sebagai pembicara dengan makalah berjudul "Chairil Anwar dan Inovasi Puisi Indonesia", ... Lihat Selengkapnyadidampingi Edhi Romadhon serta Sutarno Djayadiatma. Di samping itu dilangsungkan pula acara pembacaan puisi oleh anggota kancah, antara lain Badruddin Emce, Haryono Sukiran, Ansar Balasikh, Nanang Anna Noor, Wanto Tirto, Lukman Suyatno, dan lain-lain.


(Majalah Sastra Horison, nomor 07 tahun XXIX edisi: Juli 1994. Kolom Jendela. hal:66)

Abdul Aziz Rasjid
- Dede: kalau tak kebetulan sepertinya lebih menyenangkan De. Misalkan jika dokumentasi semacam itu dengan mudah dapat kita dapatkan di Dewan Kesenian Banyumas....he..he..he...jadi dokumentasi itu tidak bertumpuk baur dengan resep-resep makanan, majalah tentang rajah tangan atau majalah tentang otomotif

Dede Dwi Kurniasih
iya ya...jadi malu. minat baca kita memang amburadul. makanya dokumentasi sepenting itu masih saja bertengger diloakan

Wisnu Shanca Bhumi
mantap,.... kejayaan yang berserak karat


Wiwit Mardianto
sastra di banyumas memang sudah usang kang, sudah mengering. jiwa-jiwa membaca anak muda berubah menjadi abu di cafe dan karaoke.

makanya layak ditempatkan di toko loak.

Abdul Aziz Rasjid
- Wisnu: "kejayaan" yang berserak dan tak terdokementsikan dengan baik itu, di sisi lain telah mengakibatkan pembersihan massal terhadap karya sastra Indonesia di Banyumas menjadi "tak" terbaca.

Abdul Aziz Rasjid
-Wiwit: mungkin kau perlu mencatat di pusimu pertemuan anak-anak muda dengan cafe dan karaoke.

Sari Handayani
Aku bersedia ziz menjadi fragmen dlm esai mu tentang cafe dan karaoke.
Tetapi tidak untuk menjadi abu&asap rokok dalan cafe ataupun karaoke.
Jadi kapan kta karaokean brg untuk mendalami esai mu selanjutnya??Hahahahahaha.....

Abdul Aziz Rasjid
aku ngikut kamu saja Sar jadwal karaokenya

Chandra Iswinarno
Skarang bgm caranya mengembangkannya agar lebih progress serta menandai zaman karaoke dan cafe dlm literer sastra bms, ziz?

Abdul Aziz Rasjid
Perlu diteliti lebih detail adakah dalam karya sastra dari banyumas yang menjadikan karaoke dan cafe sebagai kode pribadi dalam karyanya, dengan catatan kode pribadi ini belum pernah digunakan oleh penyair lainnya. Istilahnya terjadi idiolek. Untuk mengetahui hal ini karya sastra dari banyumas ya harus dibaca lebih teliti lagi. Dan lagi-lagi dokumentasi menjadi penting dalam usaha pembacaan ini

Ekologi Sastra

Ragam Ekologi Sastra

Oleh Abdul Aziz Rasjid



Dalam buku bertajuk Sastra Hindia Belanda dan Kita (Balai Pustaka: 1983) yang ditulis Subagio Sastrowardoyo dijelaskan bahwa terjadi pengulangan pola cerita desa di dalam sastra Hindia Belanda, sastra Melayu Modern, dan sastra Balai Pustaka. Pola cerita desa itu selalu berpangkal dari hubungan asmara pemuda-pemudi desa yang dekat sejak kecil. Hubungan asmara mereka yang romantik di tengah kedamaian desa, selalu berujung pada perpisahan yang tragis karena adanya gangguan yang berasal dari luar desa, semisal: tentara Belanda, China lintah darat, bangsawan, dan punggawa dari kota.

Gejala seragamnya pola cerita mengenai kehidupan desa dalam sastra Hindia Belanda berawal pada pertengahan abad sembilan belas. Kazat en Ariza dalam kumpulan Nieuwu Indische verhalen en herinneringen uit vroegen et lateren tijd atau Cerita dan Kenangan Baru tentang Hindia Belanda Zaman Dahulu dan Kemudian (1854) karya W.L. Ritter, De Doch ter van den bekel atau Anak Perempuan Kepala Kampung (1854) yang terkumpul dalam tulisan J.F.G. Brumund bertajuk Indiana (1854), dan tentu juga cerita Saijah dan Adinda yang merupakan bagian dari roman Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda (terbit pertama kali pada tahun 1860, baru terbit dalam edisi bahasa Indonesia pada tahun 1972) karya Multatuli adalah karya-karya sastra yang kemudian digolongkan sebagai genre cerita desa (1983: 30-31).

Desa: Korban Imperial atas Laut
Pola cerita desa ini tetap berkembang dan berlanjut dalam periode sastra melayu modern sampai periode Balai Pustaka. H. Kommer yang menulis dalam bahasa melayu umum, mengisahkan Nyi Sarikem dan Cerita Siti Aisah (ketiganya terbit tahun 1900), atau di dalam karya satra yang dianggap bacaan liar oleh kolonial Belanda kita juga dapat menemukan cerita gadis desa Maloko bernama Ardinah yang hidup miskin bersama ayahnya dalam Hikayat Kadiroen (1920) karya Semaoen.

Kisah-kisah dari desa itu setidaknya mewartakan bahwa ekspansi kolonial kepada kehidupan pribumi telah makin meluas sampai ke pelosok desa dan menyebabkan penderitaan rakyat. Jejak awal ditembusnya wilayah desa itu, setidaknya dapat ditelusuri sebagai akibat terjadinya imperial atas laut oleh kolonial seperti yang terceritakan dalam Arus Balik yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.

Dalam Arus Balik, secara luas dapat kita baca bahwa terjadi perubahan orientasi kekuatan militer di kerajaan Nusantara; terutama Demak pascakepemimpinan Pati Unus yang digantikan Sultan Trenggana. Peralihan kekuatan Pati Unus yang dahulu bertumpu pada kuatnya navalisme (militerisme di laut) untuk merebut Malaka, pada masa Trenggana beralih pada kekuatan militer darat untuk menyukseskan perluasan kekuasaan tanah dalam memerangi raja-raja.

Kondisi ini, di mana kerajaan di Nusantara menjadi saling bentrok, membuat laut sebagai pintu gerbang menjadi terbuka. Sedang di sisi lain, bangsa kolonial semakin memperkuat modal ekspansinya dengan memperkuat navalisme. Navalisme kolonial yang terus meningkat menjadikan pelabuhan-pelabuhan Nusantara goyah. Tak mengejutkan kemudian, bila daratan di mana desa berada menjadi relatif lebih mudah untuk ditembus sebagai konsekuensi dari kerapuhan kekuatan navalisme.

Singkatnya, baru tiga abad lebih Nusantara dapat lepas sebagai wilayah koloni. Proklamasi 17 agustus 1945, mengantarkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Di masa kemerdekaan, masyarakat lalu berhadapan dengan keberbagaian tegangan sosial politik —perpecahan masyarakat terjadi melalui polarisasi partai—dalam kehidupan demokrasi terpimpin. Meletusnya G30S/PKI menjadi puncak runtuhnya desakan "imajinasi komunalisme" dan memasifkan perlawanan yang mengharapkan ruang lebih longgar bagi ekspresi yang mandiri.

Dalam kecamuk politik itu, mahasiswa lalu menjadikan kampus sebagai basis penggalangan kekuatan untuk melakukan perlawanan-perlawanan dalam bentuk demonstrasi. Tirani (1966) dan Benteng (1966) karya Taufiq Ismail hadir sebagai reaksi dari kampus yang ikut membakar semangat pembebasan dari indoktrinasi revolusi dan mengembalikan kampus sebagai mimbar akademis. Dalam puisi berjudul "Mimbar" Taufik Ismail memandang ekologi kampus semacam ini:

Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan

Segala despot dan tirani
Tidak bisa merobohkan
mimbar kami



Revolusi Perkotaan
Setelah Orde Lama tumbang lewat keterlibatan demonstrasi mahasiswa, Indonesia lantas dibangun dengan visi pembangunan di tangan Orde Baru. Sistem kota berlangsung dengan penaklukan sebagai syarat utama terkumpulnya modal komunal. Haluan sosial dan politik kota dibagi-bagi dalam tatanan-tatanan pembagian kerja yang kemudian dikenal sebagai instansi atau birokrasi. Gurita birokrasi dalam bentuknya yang negatif, lalu menyuburkan kedestruktifan dan keserakahnnya karena menjalankan segala sesuatu berdasar pada panji keuntungan untuk kepentingan pribadi dengan cara ikut serta bermain dalam arus perdagangan pasar. Maka tak mengherankan bila merajalelanya korupsi terjadi, seperti yang ditulis oleh Rendra dalam "Sajak Ibunda" ini:

Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, facist,
wartawan amplop, dan anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun juga punya ibu

...

Apakah sang anak akan berkata pada ibunya:
”Ibu, aku telah menjadi antek modal asing,
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat

...

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin hambar seperti Monas dan/
Taman mini.


Ekologi perkotaan dalam puisi itu secara psikologis mengemuka seperti yang dikatakan oleh Lewis Mumfort (dalam Fromm, Akar Kekerasan. 2000 : 224) bahwa masyarakat kota di satu sisi bersifat cermat dan efisien, tapi di sisi lain acap destruktif, sadis, dan cenderung suka membangga-banggakan monumen-monumen seakan prestasi yang tertandingi. Padahal monumen itu malah menunjukkan kemegahan yang timpang dengan keadaan ekonomi mayoritas masyarakat. Dengan nada sinis, Wiji Thukul menggambarkan kejelataan dan kekerasan lewat "Monumen Bambu Runcing":

Monumen bambu Runcing
di tengah kota
menuding dan berteriak merdeka
di kakinya tak jemu juga
pedagang kaki lima berderet-deret
walau berulang-ulang
dihalau petugas ketertiban


Dengan adanya ragam ekologi yang bergeser dari penguasaan laut, ditembusnya desa, pembangunan kota yang melibatkan kontradiksi lembaga militer, agama sampai instansi pendidikan dan birokrasi politik; pada akhirnya, ragam ekologi sastra dapat dibaca sebagai bagian pembacaan kritis terhadap alur perkembangan konteks sosial historis bangsa pada suatu masa. Ragam ekologi sastra juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia--sebelum dan setelah merdeka--ternyata belum beranjak sebagai bangsa yang untuk ke sekian kalinya menjadi korban eksploitasi dari keserakahan, kepentingan-kepentingan kekuasaan yang acap berujung pada kekerasan, penderitaan, dan jatuhnya korban.

-- Lampung Post, Kolom Apresiasi, Minggu, 30 Mei 2010