Rabu, Februari 22, 2012

Esai - Puisi yang Terus Ditulis

Arif Hidayat *)


Mengapa puisi terus ditulis dalam zaman yang penuh dengan media digital, yang lebih menawarkan imaji sensasional yang mengasyikkan? Kenapa para penyair harus repot-repot menulis puisi dengan kadar menyampaikan makna secara tidak langsung, yang justru membuat banyak orang merasa bingung untuk menemukan maknanya dengan susunan kata-kata yang rumit? 

JUGA, mengapa puisi harus multiinterpretable yang akan menjadi perdebatan banyak orang, yang mungkin dapat memicu terjadinya perselisihan? Padahal, di satu sisi puisi terus ditulis dengan variasi atas kekuatan gaya, bentuk, dan isi sebagai pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca, untuk dipahami maksudnya, bahkan untuk diinterpretasikan.

Pertanyaan semacam itu akan muncul dan menjadi hantu yang terus melayang di dinding selama pikiran kita adalah semiotika pasif yang melihat keberadaan kata-kata tidak lain sebagai komunikasi, dengan posisi puisi sebagai media representasional. Jhon Fiske (1990) menekankan pada kita untuk melakukan pemaknaan secara aktif dengan tugas utama yang harus dilakukan adalah melihat hubungan dalam kebudayaan sosial kita tentang alasan menjadi begitu, yakni menjadi ada dan hadir. Pasti ada jejak dari puisi itu tercipta, yang akan mendorong menembus batas yang telah digariskan leh konvensi sebagaimana tanda-tanda mengungkapkan kembali realitas itu menjadi teks. Bersabarlah karena konvensi bukan hanya berarti aturan, juga dapat berarti kebiasaan ataupun kesepakatan dalam suatu masyarakat, maka apa pun dapat saja menjadi mungkin terjadi dan penyair selalu memiliki cara tersendiri untuk menyatakan pesan. Itulah uniknya puisi yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan kadar ideologinya.

Kita bisa melihat, misalnya, pada pesan langsung atau semacam seruan dalam ceramah, seminar, maupun sekolah-sekolah yang justru setelah selesai banyak dilupakan oleh audiens atau dalam buku-buku teori yang setelah membaca sampai selesai, ternyata kita lupa isinya. Justru setelah membaca puisi, dalam aktivitas tak sadar sering menggunakan diksi-diksinya, teringat dan terkenang, itu karena ada pertautan perasaan melalui bahasa sehingga serasa mengalami peristiwa yang ada dalam teks puisi. Tentunya, puisi itu diciptakan dengan masuk pada unsur normatif dan kode penandaan sebagai koordinasi ideologis, yang nantinya akan diterima sebagai kebenaran, sedangkan bahasa sebagai tubuhnya. Maka, yang terpenting pada sebuah ideologi yang disampaikan dengan tidak langsung justru memberi daya sugestif untuk praktek pembentukan diri pembaca, pembenaran, juga kesadaran akan realita yang kini menjadi teks. Perlulah tahu bahwa dalam pembicaraan sehari-hari betapa pentingnya susunan kata-kata yang indah untuk menenteramkan pembicaraan.

Tentunya, penglihatan atas puisi tidak hanya tertuju pada kerumitan kata-kata, tapi pada bagaimana kehidupan itu mesti diekspresikan lewat puisi karena bahasa mengalami keterbatasan untuk mendeskripsikan atau mendefinisikan realitas. Oleh sebab itu, butuh bahasa representatif semacam puisi untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan. Penulisan puisi dengan simbol, tanda, metafora, metonimi, atau mungkin paradoks dan ironi bukan dalam rangka mempersulit posisi makna untuk dipahami pembaca. Puisi bukanlah permainan kata-kata untuk menemu arti, melainkan susunan sistaksis kehidupan yang memberi pengetahuan bagi kita untuk terus memahami dan mencermati pengetahuan dari Tuhan.

Pada hemat penulis, adanya metafora dalam puisi justru akan membuka emosi pembaca dengan tergugahnya perasaan melalui citra bahasa yang indah. Misalnya, di pipimu mekar mawar merah. Teks itu memang membingungkan, tetapi membuat orang yang mendengar akan tergugah perasaanya dan sekaligus merasakan senang karena tersanjung oleh citra bahasa, bahkan ada kemungkinan lain yang dapat ditemukan pendengar. Dalam keadaan itu, pendengar juga pembaca akan menemukan berbagai makna dari sebuah puisi, pada akhirnya teks tidak hanya terbatas dalam satu peristiwa, tetapi melampaui ruang dan waktu.

Di sini kita seharusnya secara jernih menyikapi puisi bukan sebatas ideologi komunikatif yang melihatnya dalam kerangka universal dan pragamatis secara kaku, yakni hubungan teks dan pembaca saja. Kita perlu untuk melihat ideologi puisi sebagai upaya transformasi bahasa dengan realitas antara ada dan tiada. Sebab itu, gaya bahasa di dalam suatu teks sebenarnya untuk meningkatkan komunikasi, dengan menjadikan adanya kesan-kesan lebih mendalam. Hal itu disatukan dengan daya horizon baca berdasarkan latar belakang sosial budaya yang pembaca miliki.

Adapun kerja dari imajinasi penyair dalam rangka menyimulasikan realitas melalui bahasa ia gunakan untuk menjelaskan. Bahasa itu bukan cerminan, melainkan perwakilan yang dapat kita tandai dalam susunan alam dan budayanya. Pernyataan “hanya ada satu kata: lawan!” akan membawa kita pada kondisi ketertekanan dan penindasan sehingga perlu adanya perlawanan. Teks tersebut puisi dengan nada tuturan. Itu akan merujuk pada konteks. Kita lihat lagi misalnya, “Kalian: pun” merupakan wacana untuk menyajikan pandangan antitesis, sekaligus juga sebagai refleksi. Untuk menciptakan teks-teks yang padat dan singkat semacam itu membutuhkan daya imajinasi agar bisa menyiratkan. Fenomena-fenomena sosial yang secara esensinya sudah puisi, yang pada akhirnya dipahami penyair sebagai ide yang bergerak.

Lantas, ketika dalam masa kontemporer teks-teks puisi menjadi seperti untaian-untaian kalimat filsafat, itu semua karena memang keadaan sosial kita yang mulai kehilangan rasa setelah kebebasan pada masa reformasi membuat hidup dalam gelamor. Karena pada masa sekarang ini setiap pembaca dapat dan berhak menjadi kritikus untuk melakukan interpretasi berdasarkan horizon pembacaannya sehingga teks puisi tidak lagi dalam kategori baik dan buruk, tapi menghadirkan kebenaran atas rekonstruksi realitas, berdasarkan pembacaan yang cermat dan kritis. Di situ kita justru makin butuh puisi untuk membaca batin, diri, rasa, dan jiwa, sekaligus untuk mendapatkan kembali nilai-nilai yang hilang. Fenomena teralienasi dan eksistensialisme juga pewacanaan nilai-nilai lokal yang memuat mitos dan pembentuk budaya menjadi penting sebagai identitas, yang kerap kali dimunculkan para penyair. Dan puisilah yang mampu menyampaikan dengan bahasa yang lembut, halus, indah, perbandingan, dan polisemik, dengan masuk pada daya imajinasi dan keterharuan bagi pembaca. Sementara itu, zaman digital hanya dipenuhi dengan imaji yang membawa pada kehampaan dan keterasingan.

Arif Hidayat, Penyair, 
Peneliti Beranda Budaya, 
tinggal di Purbalingga


Esai - Ingatan, Hujan, dan Perandaian


Ingatan, Hujan, dan Perandaian

Oleh Arif Hidayat[1]

Nama Teguh Trianton sudah saya dengar sejak tahun 2006, terutama dalam perkulihan puisi oleh Abdul Wachid B.S., juga dari beberapa kalangan sastrawan lainnya, namun mimpi untuk bertemu selalu gagal jadi kenyataan. Saya termasuk kagum dengan puisi-puisinya, terutama yang ada dalam antologi bersama Jiwa-jiwa Mawar dan Untuk Sebuah Kasih Sayang, juga yang saya temukan di media massa: tampak bahwa puisinya indah, mampu membentuk suasana yang tenang, walau tampak ada gelora cinta yang tersembunyi di dalam imaji. Namun, penilaian itu hanya sebuah pengamatan singkat, yang masih harus dibuktikan.
Barulah, saya berjumpa dengan Teguh Trianton di tahun 2008, sekitar pukul 14.30 dengan udara yang lembab, untuk mendiskusikan rencana pergi ke Solo bersama—ketika itu kami berjanjian di UKM Teater Perisai, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Dan, saya baru tahu bahwa Teguh Trianton tidak terlalu banyak bicara, cukup yang penting saja, tapi kritis untuk bertindak. Udara makin lembab. Hujan bersiap turun, maka kami harus berpisah. Itulah yang teringat.
Buku Puisi Ulang Tahun Hujan
Penerbit Beranda Budaya
@ 2012

Ingatan sebagai bentuk temporal kesadaran” begitu kata Giddens. Adapun “tindakan mengingat,” lanjutnya, “sebagai cara menampikan ulang pengalaman-pengalaman masa lalu dalam bentuk lain” berdasarkan pengetahuan yang berdamai dengan situasi, baik sosial maupun psikologis: situasi berlapis dan dialogis.
Jika saja saya sepenuhnya mendekati puisi dengan berorientasi pada ingatan-ingatan, maka akan membawa pada autoritarianisme, yang sudah tentu merujuk pada dialektika penyair dalam kreativitas. Tetapi, saya tidak sepenuhnya seperti itu. Saya jadikan ingatan sebagai pembacaan tanda-tanda yang begitu kompleks. Dan, jika kau tidak memiliki ingatan tentang Teguh Trianton, maka kau dapat memulainya dari sini: dari pertemuan yang mengesankan dengan puisinya. Puisi Teguh Trianton yang terkumpul dalam buku Ulang Tahun Hujan jauh lebih mampu memberikan sentuhan pada ingatan dengan memperlihatkan aktivitas sehari-hari secara unik, dan memperlakukannya dalam jejak yang imajinatif, ketimbang pertemuan saya secara langsung... to be addressee.
Dengan membaca buku puisi Ulang Tahun Hujan akan membawa kita pada ingatan tentang hujan, yang selalu tumbuh dalam sejarah kita karena mampu meruang-waktu, dalam musim yang berbeda sekalipun—sebagaimana ia hadir dalam sederhana untuk bumi dan memberi kebahagiaan. Hujan selalu ada di sekeliling kita, bahkan ada pada diri kita dan bisa menjadi perandaian yang menarik jika mampu memberikan perhatian pada pesan untuk menawarkan eskapisme dan relaksasi.
Teguh Trianton senang dengan kata “hujan”, dan hal-hal terkait dekat dengan hujan: air, sungai, laut, cuaca, iklim, juga susunan lain dalam alam semesta yang berpretensi memiliki hubungan dengan hujan. Ada sajak “Aku Hampiri Hujan”, “Hujan adalah Kau”, “Ada Mendung di Wajah Hujan”, “Kaulah Sungai”, “Malam Tepi Sungai”, “Ulang Tahun Hujan”, dan “Karena Hujan adalah Kau”. Keceriaan tentang hujan oleh Teguh Trianton terhubung dengan masa lalu, ingatan baik secara sadar maupun ketaksadaran. Hujan menjadi romantik dan putik dalam pertautan dengan seseorang yang berada di dalam ingatan.
Memang, tak ada puisinya yang secara langsung beriktikad menjelaskan ingatan, tetapi temporalitas pengalaman bekerja pada ingatan untuk menampilkan situasi puitik atas citra hujan menjadi suatu peristiwa yang lain: dalam ruang yang lebih diam. Bayangkanlah, bahwa dalam orang yang hidup di iklim tropis, akan banyak curah hujan dan air yang lembut memenuhi sungai menuju laut, sementara mata hanya terpaku menatap.
Ingatlah, tentang hujan. Mungkin sore hari, dari jendela, ketika warna putih bergemuruh di atap rumah dan menjadi aliran pada tanah yang basah, tapi kau merasakan sepi. Itulah masa yang puitik, dan rasa ingin bermain dalam hujan tampak sebagai jiwa yang bebas dan lepas dengan meluncur satu per satu. Ingatlah pada: “Wajah air yang bagai berisi di musim dingin/ telah menjadi baju rantai (lamena) berkat angin”, yang ditulis oleh Rumi, yang konon—kata Annemarie Schimmel—peristiwa itu terkait musim semi dengan berbagai pesona yang puitik. Ketertarikan perasaan pada sebuah ingatan akan membawa pada situasi, yakni semacam pertemuan yang terhubung dengan berbagai peristiwa beserta dengan lingkungan untuk memberikan kesadaran di masa yang sekarang ini kita jalani.
Hujan pada puisi Teguh Trianton adalah perandaian yang dalam sisi tersembunyi dan menjelma simbol. Gambaran tentang peristiwa hujan dapat menjadi apa saja, meskipun kebanyakan menjadi ungkap cinta: ada mendung di wajah hujan yang menulisi bumi dengan tirus-tirusnya, kemudian kuurai sungai, kugelar laut di jantungku. kulayarkan waktu, mendaki diri sendiri. Ada warna sureal terhadap hujan, yang merupakan simbolitas dari seseorang, yang mungkin mirip hujan. Di situlah, keindahan terbentuk, kesan muncul, dan ingatan kita terhentak antara realitas dan perasaan. Walaupun, ketika memasuki ruang itu, terasa semakin jauh, seperti sisi lain yang tak pernah lengkap jika hanya digambarkan saja.
Hujan, bukanlah hujan yang sebenarnya, seperti halnya “sungai yang telah memperdayaku dengan lekuk tubuhmu” tampak sebagai personifikasi, namun bukan karena maksud lebih tertuju pada manusia dengan lekuk tubuh berkelok seperti sungai hingga mampu menggoda. Kita membayangkan bahwa sungai seperti seorang perempuan dengan pesona keindahan, justru itulah penanda yang dibentuk dengan memungkinkan objek dapat ke luar dan masuk melalui imajinasi. Begitu pula, hujan—dalam sajak berjudul “Hujan adalah Kau”—membentuk gambaran tentang sungai yang hijau di antara pohon-pohon yang rindang, tapi hujan adalah kau-lirik: “hujan adalah kau, yang menghilir di serat-serat nafas, menggenang di ingatan yang hijau.”
Dan, saya tekankan, menandai hujan dalam puisi Teguh Trianton harus berhati-hati karena hujan dapat menjelma apapun: Selalu saja hujan yang angkat bicara, padahal aku baru saja belajar menyusun kalimat. Tentang harga diri itu, agaknya hujan lebih paham dengan mengirim sampah ke muara. Tentang hak asasi manusia itu, hujan begitu fasih melantunkan airmata. Dalam sajak “Selalu Saja Hujan yang Angkat Bicara” hujan seolah-olah adalah seseorang yang lebih tahu segalanya. Hujan bukan lagi rintik-rintik yang kita lihat dengan jutaan air turun dari awan, tetapi hujan lain yang dalam simbol individu dari Teguh Trianton. Diksi “hujan” begitu sering muncul, bahkan sampai pada puisi tahun 2008, dalam “Pledoi 5:  Kebencian”, namun, itu bukan sebuah pengulangan yang membosankan. Hujan dapat berada di mana saja, untuk menjadi ungkapan yang berbeda, walaupun tingkat detail agak kurang.
Hierarki yang dibangun oleh puisi yang pendek, semacam pesan singkat (dalam porsi antara lyrik dan imajis) memang tak sanggup memperbicarakan struktur sosial dalam keadaan deskriptif, kecuali menarik beberapa fenomena ke dalam pengalaman secara bertaut. Sajak “Tersisih Harry Potter”, “Limabelas detik Goa Jatijajar”, dan “Kamandaka” adalah contohnya.
Maka, puisi menjadi semacam ingatan yang hadir dalam selintas sepintas dari kerja imajinasi dengan menghadirkan kata-kata indah atas suatu pengalaman. Menulis puisi menjadi tindakan mengingat, dengan tubuh yang bergerak mengikuti bentangan perasaan suka dan cemas dalam kekaguman pada masa lalu. Keadaan sekarang ini dapat menjadi masa lalu untuk besok. Dalam pada itu, tubuh menandai perjumpaan antara kehadiran dan ketidakhadiran, baik sebagai subjek maupun objek. Tubuh menjadi penting untuk melihat posisi dan interaksi seperti, “di dadamu kutulis puisi” atau “di dada hujan kutulis sajak”. Keterhubungan gambaran alam dengan tubuh adalah negosiasi makna yang dibangun oleh Teguh Trianton—terutama ikhwal cinta yang manja.
Tampak, untuk buku puisi Ulang Tahun Hujan lebih liar dan menggelora pada sajak-sajak 2006 dan sebelumnya, sementara sesudahnya cukup bervariatif, terutama pada wacana dan kesadaran berbahasa. Pengalaman cinta lebih unggul dalam ingatan. Itu bukan sebatas ilusi. Di dalam ingatan, juga ada peristiwa sosial karena ada interaksi dan perjumpaan subjek-objek sebelumnya, baik langsung maupun tidak, kemudian dimitoskan lewat artikulasi bahasa.
Masih banyak sebenarnya, penanda-penanda yang berada di dalam puisi Ulang Tahun Hujan, maka temukanlah sendiri karena kau punya persepsi, pandangan, dan harapan berdasarkan pengusaan pengetahuan. Saya yakin, kau akan menemukan ingatan lain, tentang puisi Ulang Tahun Hujan yang romantis dan susah untuk marah dengan jiwa yang bergelora misalnya. Atau, kau bisa menemukan struktur sosial buku puisi ini berada dalam kultur yang agraris dan penguasaan tubuh yang tersembunyi. Semua itu dapat terjadi, dengan konteks yang dapat memberikan penyegaran. Ingatan akan bekerja dengan jejak yang lebih mendalam secara dialektis terhadap estetika dan etika sehingga kesejajaran dan analogi menjadi terhubung.
Tapi, bila ingatanmu terganggu oleh kebingungan, kegagapan, ataupun keterlupaan, maka kesan menyenangkan dan indah adalah jalan terakhir. Di situ, kau bebas memberi bunyi atau hanya to escape from reality (menjadikan selingan dari hidup).
Tenanglah, untuk yang berada di dalam sana terhubung dengan yang di luar sana. Maka, nikmatlah alam yang tenang dalam buku puisi Ulang Tahun Hujan seperti rintik sore di tepi jendela ketika kau sendiri dan ingin berpuisi—seperti saat kau mengingat sebuah kenangan dan kedamaian melambai. Temukanlah hujan yang tentram untuk membasahi hatimu yang lama kemarau.***

Purbalingga, 24-25 Desember 2011


[1] Penulis adalah penyair, mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya UNS Solo, aktif di Beranda Budaya, dan tinggal di Purbalingga.

Jumat, Februari 10, 2012

Esai - Teks yang Partikular

oleh Arif Hidayat

Foucault (dalam Sarup, 2003: 102) "menghargai sastra transgresi—sastra yang berusaha merong-rong pembatasan yang diberikan oleh bentuk wacana karena kelainannya." Ia melihat teks-teks sastra dapat memberikan ruang bicara bagi sisi yang lain: dunia yang selama ini terabaikan.
-----
PANDANGAN ini lebih tertuju pada teks-teks sastra yang mengungkap sisi lain, yakni wilayah yang lebih partikular dengan menggunakan citra bahasa yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Ini terutama puisi karena memiliki kekentalan bahasa melalui metonimi, metafora, maupun permainan simbol, yang lebih kaya sehingga dapat menciptakan bermacam kemungkinan. Makna dan pesan yang disampaikan lebih membukakan berbagai kemungkinan untuk dipahami sebagai pengetahuan.

Sekalipun ide kreatif seorang penyair dalam mencipta puisi bermula dari kepekaan rasa dalam membaca situasi dan kondisi melalui pengalaman. Namun, di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sekalipun penyair seperti Emily Dickinson tidak pernah bermaksud hati memublikasikan puisi-puisinya, dan memilih menjilid rapi di laci meja kerja, curahannya tetap terkandung pesan: entah kegelisahan hati ataupun sebagai curahan, di dalamnya ada pesan denotatif muncul sebagai yang tersurat dan konotatif sebagai yang tersirat. Kedua pesan itu membentuk wacana sebagai yang disodorkan kepada masyarakat sebagai pandangan.

Di dalam setiap kata-kata, ada pesan yang mampu diterima sebagai kebenaran, tetapi itu diterima dalam multi-interpretable. Tapi, ketika memahami puisi dari segi pesan akan tertuju pada amanat yang masih mengacu pada arahan dari pengarang. Padahal, Roland Barthes (1986) telah menulis esai berjudul La Mort de L'auteur (Kematian Pengarang). Segera setelah fakta dinarasikan, diskoneksi terjadi, suara kehilangan jejak sumber asalnya, pengarang menyongsong kematiannya sendiri dan tulisan mengada. (Barthes, 2010: 145). Kematian pengarang itu sendiri bukan dimaksudkan bahwa pengarang tidak punya hak bicara, melainkan agar interpretasi tidak percaya secara penuh disampaikan pengarang diluar teks. Pengarang boleh saja berbicara. Namun, yang dibicarakan oleh pengarang sudah menjadi bagian dari sekian banyak pemaknaan.

Kebanyakan puisi di kalangan akademik dipahami antara intrinsik dan ekstrinsik yang bertaut. Aspek-aspek seperti diksi, gaya bahasa, tipografi, rima, dan unsur dari luarnya dianalisis dengan sendiri-sendiri kemudian disatukan. Ada kesan bahwa analisis seperti itu dilakukan dengan menjadikan teks “dibedah” kemudian “dijahit” ulang sesuka pembaca. Dalam memahami hal seperti itu, arah ujungnya akan mencari nilai atau konsep yang terkandung di dalam suatu teks.

Sementara itu, Ignas Kleden (2004: 71) menekankan upaya kritik kebudayaan terhadap teks sastra dilakukan "bukan sekadar refleksi intelektual". Ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, seorang peneliti dapat memosisikan diri konsisten dangan gejala-gejala kebudayaan di dalam karya sastra dengan melihat bahwa kebudayaan di dalam karya sastra tidak memanipulasi dan tidak mendominasi, tetapi mengemansipasikannya. Semakin teks diposisikan sebagai nilai, maka akan kokoh sebagai warisan, produk, dan condong pada tradisionalisme. Kedua, dengan menempatkan teks sebagai wacana (discourse) untuk berinteraksi dengan ide-ide dan kepercayaan yang dibangun, dikukuhkan, yang bias digusur, didekonstruksi atau dihancurkan. Ada usaha memosisikan teks sebagai hasil produksi penuh dengan kepentingan, pembenaran atas ide-ide membuat rasa percaya yang baru, maka rasa tradisionalisme semakin berkurang.

Sifat arbitrair bahasa di dalam puisi yang berusaha menerobos pemaknaan secara semantik sesungguhnya lebih menarik jika ditinjau dari wacana yang berkembang secara bebas. Wacana di dalam puisi dengan kekuatan subjektif dari penyair dalam memainkan kata-kata telah membentuk makna yang dapat diterapkan dalam keadaan berlainan. Dalam pandangan Ignas Kleden (2004: 212-213), penyair berbeda dengan pemakai bahasa lainnya dengan menghadapi “kata-kata untuk mengaktifkan polisemi, mengarahkan ambivalensi, sambil mengintensifkan ambiguitas dan merayakannya.” Dalam hal ini, berarti sekalipun penyair lebih ekspresif dengan pengalaman, memiliki kerangka konseptual terhadap puisi-puisi yang diciptakannya. Penyair—lewat puisi—berusaha memproduksi wacana dalam dinamika kebudayaan.

Puisi, sekalipun ditulis dengan bahasa rumit, dapat menjadi mekanisme bahasa. Puisi memiliki kekuatan mampu bergerak melalui kekuatan bahasa meluruskan politik. Ada wacana di dalam puisi sebagai pengetahuan. Rahasia sebuah puisi terletak pada kekuatan sebagai pengetahuan yang terus bergerak dalam arena struktur sosial. Orang (pembaca) akan mengatakan bahwa isi puisi itu benar karena sudah diproduksi menjadi puisi. Serangkaian teori telah mengategorikan dan mendeskripsikan pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi memiliki dimensi humanis. Puisi sebenarnya terasa sangat subjektif dan penyair dapat diperlakukan sebagai individu dalam gelora rasa mengekspresikan segala yang diketahuinya. Namun, penyair, menurut Kleden (2004: 214), adalah "intelektual publik" karena memiliki kesadaran terhadap batas-batas puisi dan bukan puisi, juga kesadaran ungkap melalui bahasa untuk menampilkan pengetahuan. Pengetahuan penyair didapat berdasarkan rasa dan pengalaman. Pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi—yang terwujud melalui bahasa—itulah elemen penting sebagai representasi realitas. Pengetahuan dan bahasa tersatukan di dalam wacana dari puisi melahirkan pengetahuan bagi pembaca maupun penikmat.

Kehadiran wacana di dalam puisi tidak datang begitu saja sebagai kejutan atau kebetulan, tetapi ia hadir karena adanya sistem produksi sosial atas puisi sehingga berterima masyarakat. Hal ini karena sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault dalam esai What is an Author (1978: 1), "Pengarang (baca: penyair) adalah produktor ideologi" dalam setiap makna-makna yang diciptakan di dalam teks, baik melalui sisi estetik maupun etika. Kehadiran wacana di dalam puisi tidak lepas dari pengaruh lingkup sosial seorang pengarang yang memberikan kontribusi cukup besar bagi cara pandangnya, kemudian dimunculkan di dalam setiap susunan kata di dalam puisinya. Maka, mengalisis teks partikular perlu masuk pada konstruksi wacana yang tersusun oleh praktek dan relasi sosial sebagai struktur dan sistem. n

Arif Hidayat, bergiat di Komunitas Beranda Budaya
Esai ini terbit pertama di Lampung Post, Minggu, 29 January 201