Ingatan, Hujan, dan Perandaian
Oleh Arif
Hidayat[1]
Nama
Teguh Trianton sudah saya dengar sejak tahun 2006, terutama dalam perkulihan
puisi oleh Abdul Wachid B.S., juga dari beberapa kalangan sastrawan lainnya,
namun mimpi untuk bertemu selalu gagal jadi kenyataan. Saya termasuk kagum
dengan puisi-puisinya, terutama yang ada dalam antologi bersama Jiwa-jiwa Mawar dan Untuk Sebuah Kasih Sayang, juga yang saya temukan di media massa:
tampak bahwa puisinya indah, mampu membentuk suasana yang tenang, walau tampak
ada gelora cinta yang tersembunyi di dalam imaji. Namun, penilaian itu hanya
sebuah pengamatan singkat, yang masih harus dibuktikan.
Barulah,
saya berjumpa dengan Teguh Trianton di tahun 2008, sekitar pukul 14.30 dengan
udara yang lembab, untuk mendiskusikan rencana pergi ke Solo bersama—ketika itu
kami berjanjian di UKM Teater Perisai, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Dan, saya baru tahu bahwa Teguh Trianton tidak terlalu banyak bicara, cukup
yang penting saja, tapi kritis untuk bertindak. Udara makin lembab. Hujan
bersiap turun, maka kami harus berpisah. Itulah yang teringat.
![]() | |
Buku Puisi Ulang Tahun Hujan Penerbit Beranda Budaya @ 2012 |
Ingatan sebagai bentuk temporal kesadaran”
begitu kata Giddens. Adapun “tindakan mengingat,” lanjutnya, “sebagai cara
menampikan ulang pengalaman-pengalaman masa lalu dalam bentuk lain” berdasarkan
pengetahuan yang berdamai dengan situasi, baik sosial maupun psikologis:
situasi berlapis dan dialogis.
Jika
saja saya sepenuhnya mendekati puisi dengan berorientasi pada ingatan-ingatan,
maka akan membawa pada autoritarianisme, yang sudah tentu merujuk pada
dialektika penyair dalam kreativitas. Tetapi, saya tidak sepenuhnya seperti
itu. Saya jadikan ingatan sebagai pembacaan tanda-tanda yang begitu kompleks.
Dan, jika kau tidak memiliki ingatan tentang Teguh Trianton, maka kau dapat
memulainya dari sini: dari pertemuan yang mengesankan dengan puisinya. Puisi
Teguh Trianton yang terkumpul dalam buku Ulang
Tahun Hujan jauh lebih mampu memberikan sentuhan pada ingatan dengan
memperlihatkan aktivitas sehari-hari secara unik, dan memperlakukannya dalam
jejak yang imajinatif, ketimbang pertemuan saya secara langsung... to be addressee.
Dengan
membaca buku puisi Ulang Tahun Hujan
akan membawa kita pada ingatan tentang hujan, yang selalu tumbuh dalam sejarah
kita karena mampu meruang-waktu, dalam musim yang berbeda sekalipun—sebagaimana
ia hadir dalam sederhana untuk bumi dan memberi kebahagiaan. Hujan selalu ada
di sekeliling kita, bahkan ada pada diri kita dan bisa menjadi perandaian yang
menarik jika mampu memberikan perhatian pada pesan untuk menawarkan eskapisme
dan relaksasi.
Teguh
Trianton senang dengan kata “hujan”, dan hal-hal terkait dekat dengan hujan:
air, sungai, laut, cuaca, iklim, juga susunan lain dalam alam semesta yang
berpretensi memiliki hubungan dengan hujan. Ada sajak “Aku Hampiri Hujan”,
“Hujan adalah Kau”, “Ada Mendung di Wajah Hujan”, “Kaulah Sungai”, “Malam Tepi
Sungai”, “Ulang Tahun Hujan”, dan “Karena Hujan adalah Kau”. Keceriaan tentang
hujan oleh Teguh Trianton terhubung dengan masa lalu, ingatan baik secara sadar
maupun ketaksadaran. Hujan menjadi romantik dan putik dalam pertautan dengan
seseorang yang berada di dalam ingatan.
Memang,
tak ada puisinya yang secara langsung beriktikad menjelaskan ingatan, tetapi
temporalitas pengalaman bekerja pada ingatan untuk menampilkan situasi puitik
atas citra hujan menjadi suatu peristiwa yang lain: dalam ruang yang lebih
diam. Bayangkanlah, bahwa dalam orang yang hidup di iklim tropis, akan banyak
curah hujan dan air yang lembut memenuhi sungai menuju laut, sementara mata
hanya terpaku menatap.
Ingatlah,
tentang hujan. Mungkin sore hari, dari jendela, ketika warna putih bergemuruh
di atap rumah dan menjadi aliran pada tanah yang basah, tapi kau merasakan
sepi. Itulah masa yang puitik, dan rasa ingin bermain dalam hujan tampak
sebagai jiwa yang bebas dan lepas dengan meluncur satu per satu. Ingatlah pada:
“Wajah air yang bagai berisi di musim
dingin/ telah menjadi baju rantai (lamena) berkat angin”, yang ditulis oleh
Rumi, yang konon—kata Annemarie Schimmel—peristiwa itu terkait musim semi
dengan berbagai pesona yang puitik. Ketertarikan perasaan pada sebuah ingatan
akan membawa pada situasi, yakni semacam pertemuan yang terhubung dengan
berbagai peristiwa beserta dengan lingkungan untuk memberikan kesadaran di masa
yang sekarang ini kita jalani.
Hujan
pada puisi Teguh Trianton adalah perandaian yang dalam sisi tersembunyi dan
menjelma simbol. Gambaran tentang peristiwa hujan dapat menjadi apa saja,
meskipun kebanyakan menjadi ungkap cinta: ada
mendung di wajah hujan yang menulisi bumi dengan tirus-tirusnya, kemudian
kuurai sungai, kugelar laut di jantungku. kulayarkan waktu, mendaki diri
sendiri. Ada warna sureal terhadap hujan, yang merupakan simbolitas dari
seseorang, yang mungkin mirip hujan. Di situlah, keindahan terbentuk, kesan
muncul, dan ingatan kita terhentak antara realitas dan perasaan. Walaupun,
ketika memasuki ruang itu, terasa semakin jauh, seperti sisi lain yang tak
pernah lengkap jika hanya digambarkan saja.
Hujan,
bukanlah hujan yang sebenarnya, seperti halnya “sungai yang telah memperdayaku dengan lekuk tubuhmu” tampak sebagai
personifikasi, namun bukan karena maksud lebih tertuju pada manusia dengan
lekuk tubuh berkelok seperti sungai hingga mampu menggoda. Kita membayangkan
bahwa sungai seperti seorang perempuan dengan pesona keindahan, justru itulah
penanda yang dibentuk dengan memungkinkan objek dapat ke luar dan masuk melalui
imajinasi. Begitu pula, hujan—dalam sajak berjudul “Hujan adalah Kau”—membentuk
gambaran tentang sungai yang hijau di antara pohon-pohon yang rindang, tapi
hujan adalah kau-lirik: “hujan adalah
kau, yang menghilir di serat-serat nafas, menggenang di ingatan yang hijau.”
Dan,
saya tekankan, menandai hujan dalam puisi Teguh Trianton harus berhati-hati
karena hujan dapat menjelma apapun: Selalu
saja hujan yang angkat bicara, padahal aku baru saja belajar menyusun kalimat.
Tentang harga diri itu, agaknya hujan lebih paham dengan mengirim sampah ke
muara. Tentang hak asasi manusia itu, hujan begitu fasih melantunkan airmata.
Dalam sajak “Selalu Saja Hujan yang Angkat Bicara” hujan seolah-olah adalah
seseorang yang lebih tahu segalanya. Hujan bukan lagi rintik-rintik yang kita
lihat dengan jutaan air turun dari awan, tetapi hujan lain yang dalam simbol
individu dari Teguh Trianton. Diksi “hujan” begitu sering muncul, bahkan sampai
pada puisi tahun 2008, dalam “Pledoi 5:
Kebencian”, namun, itu bukan sebuah pengulangan yang membosankan. Hujan
dapat berada di mana saja, untuk menjadi ungkapan yang berbeda, walaupun tingkat
detail agak kurang.
Hierarki
yang dibangun oleh puisi yang pendek, semacam pesan singkat (dalam porsi antara
lyrik dan imajis) memang tak sanggup memperbicarakan struktur sosial dalam
keadaan deskriptif, kecuali menarik beberapa fenomena ke dalam pengalaman
secara bertaut. Sajak “Tersisih Harry Potter”, “Limabelas detik Goa Jatijajar”,
dan “Kamandaka” adalah contohnya.
Maka,
puisi menjadi semacam ingatan yang hadir dalam selintas sepintas dari kerja
imajinasi dengan menghadirkan kata-kata indah atas suatu pengalaman. Menulis
puisi menjadi tindakan mengingat, dengan tubuh yang bergerak mengikuti
bentangan perasaan suka dan cemas dalam kekaguman pada masa lalu. Keadaan
sekarang ini dapat menjadi masa lalu untuk besok. Dalam pada itu, tubuh
menandai perjumpaan antara kehadiran dan ketidakhadiran, baik sebagai subjek
maupun objek. Tubuh menjadi penting untuk melihat posisi dan interaksi seperti,
“di dadamu kutulis puisi” atau “di dada hujan kutulis sajak”. Keterhubungan
gambaran alam dengan tubuh adalah negosiasi makna yang dibangun oleh Teguh Trianton—terutama
ikhwal cinta yang manja.
Tampak,
untuk buku puisi Ulang Tahun Hujan lebih
liar dan menggelora pada sajak-sajak 2006 dan sebelumnya, sementara sesudahnya
cukup bervariatif, terutama pada wacana dan kesadaran berbahasa. Pengalaman
cinta lebih unggul dalam ingatan. Itu bukan sebatas ilusi. Di dalam ingatan,
juga ada peristiwa sosial karena ada interaksi dan perjumpaan subjek-objek
sebelumnya, baik langsung maupun tidak, kemudian dimitoskan lewat artikulasi
bahasa.
Masih
banyak sebenarnya, penanda-penanda yang berada di dalam puisi Ulang Tahun Hujan, maka temukanlah
sendiri karena kau punya persepsi, pandangan, dan harapan berdasarkan pengusaan
pengetahuan. Saya yakin, kau akan menemukan ingatan lain, tentang puisi Ulang Tahun Hujan yang romantis dan
susah untuk marah dengan jiwa yang bergelora misalnya. Atau, kau bisa menemukan
struktur sosial buku puisi ini berada dalam kultur yang agraris dan penguasaan
tubuh yang tersembunyi. Semua itu dapat terjadi, dengan konteks yang dapat
memberikan penyegaran. Ingatan akan bekerja dengan jejak yang lebih mendalam
secara dialektis terhadap estetika dan etika sehingga kesejajaran dan analogi
menjadi terhubung.
Tapi,
bila ingatanmu terganggu oleh kebingungan, kegagapan, ataupun keterlupaan, maka
kesan menyenangkan dan indah adalah jalan terakhir. Di situ, kau bebas memberi
bunyi atau hanya to escape from reality (menjadikan
selingan dari hidup).
Tenanglah,
untuk yang berada di dalam sana terhubung dengan yang di luar sana. Maka,
nikmatlah alam yang tenang dalam buku puisi Ulang
Tahun Hujan seperti rintik sore di tepi jendela ketika kau sendiri dan
ingin berpuisi—seperti saat kau mengingat sebuah kenangan dan kedamaian
melambai. Temukanlah hujan yang tentram untuk membasahi hatimu yang lama
kemarau.***
Purbalingga,
24-25 Desember 2011
[1]
Penulis adalah penyair, mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya UNS Solo, aktif di
Beranda Budaya, dan tinggal di Purbalingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar