Kamis, April 30, 2009

Angkringan Manggar

Angkringan Manggar, Sosok Paradoksal Dunia Virtual
Oleh ABDUL AZIZ RASJID

Manggar bukanlah tokoh epik sekaligus tragik. Dipandang dari berbagai segi mana pun, ia tak memenuhi syarat untuk itu: lelaki rupawan, cerdas, bangsawan namun bersifat pemberontak, penuh cita- cita kebebasan, dan di sisi yang lain romantis, pemberani, juga diliputi pertanyaan dan kekecewaan pada kehidupan.

Manggar-bapak dari gadis kecil yang belum lagi bersekolah- hanyalah pedagang angkringan asal kota Klaten, Jawa Tengah. Dari pukul lima sore sampai dua pagi, ia memperjuangkan keberlangsungan hidup keluarganya dengan menjual makanan dan minuman tradisional di pinggiran kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Karesidenan Banyumas. Cirinya: Ia tinggi, kurus, berambut gondrong. Ia juga tak banyak bicara karena tampaknya ia tahu bahwa setiap kata- katanya adalah sesuatu yang marjinal di Banyumas tempat ia tinggal.

Wajarlah memang jika banyak di antara kita-terutama masyarakat Banyumas-yang tidak merasa akrab dengan Manggar. Karena memang di zaman kini, kemajuan teknologi media dan informasi telah memosisikan kita berada di batas-batas imajiner suatu geografi kultural yang senantiasa bergerak, bergeser, meluas, dan melintasi berbagai batas- batas wilayah lain.

Dahulu, mungkin sulit untuk kita bayangkan: keberbagaian peristiwa yang terjadi di belahan benua lain bisa kita saksikan di depan mata. Akan tetapi, kini, karena kemajuan teknologi media dan informasi, kita bisa dengan mudah untuk menjalin hubungan, mengenal berbagai orang dari berbagai penjuru benua.

Efek dari kemajuan itu semua membuat kita menjadi serasa akrab dan dekat dengan perilaku Madonna, ratu pop yang seksi itu; Michael Jackson, raja pop yang melakukan konstruksi warna kulit itu; atau Ahmad Dhani dan Maia Estianty, mantan suami-istri yang pandai mencipta lagu-lagu.

Bila kita mengamati dengan saksama, efek itu tak hanya bersifat meluas namun sekaligus menyempit. Semisal, jika kita sekarang lebih mengenal Dewi Persik, masih ingatkah kita pada Eva Arnaz. Jika kita mudah terenyuh oleh kisah perjuangan kehidupan Madonna atau Michael Jackson, terenyuhkah kita dengan perjuangan kehidupan Manggar atau tetangga samping rumah kita. Bila ini hanya soal tahu-menahu, ingat mengingat, kasihan tak kasihan, mungkin adalah wajar.

Namun, jika dalam realitas kehidupan keseharian, efek kebudayaan yang dikendalikan oleh kekuatan teknologi media dan informasi telah membentuk suatu gaya hidup tertentu, kita menjadi ragu untuk mengatakan kondisi ini wajar.

Dunia virtual
Dari sebuah angkringan dan sosok Manggar sebagai pedagang, saya ingin menyatakan: ada suatu posisi sosial-penandaan derajat-atau gaya hidup yang dibentuk melalui berbagai citraan produk massal hasil industri, dikemas melalui teknologi media dan informasi dalam bentuk virtual.

Pencitraan ini berpotensi membentuk keadaan baru pada masyarakat, yaitu masyarakat sebagai subyek yang tidak lagi terkait dengan kenyataan aktual. Akan tetapi, secara perlahan-lahan, masyarakat telah terjebak pada kemasan virtual; dan identitas kedirian mereka pun dibentuk lewat jejaring komunikasi virtual.

Akibat situasi itu, angkringan yang bernuansa tradisi kian mengalami posisi ekonomis yang semakin ringkih, bukan karena tak bisa dijangkau oleh masyarakat, melainkan karena semakin terdesak oleh berbagai produk makanan dari luar yang dikemas seolah dapat mengangkat derajat sosial. Sedangkan Manggar sebagai pedagang angkringan sering kali hanya dikemas dalam sebuah slogan, diumbar dalam pidato, dijadikan sapi perahan di dalam kehidupan politik ketika suaranya dibutuhkan. Semisal, ketika kampanye pemilihan umum mulai digulirkan.

Segala ucapan ini mungkin sekadar cablaka ala Banyumasan, tetapi inilah realitas kehidupan keseharian: Bahwa tak jarang di antara kita yang berada dalam lingkup sosial telah terjebak oleh konstruk sosial yang virtual, di mana kehidupan sosial dipusatkan dari kemasan yang berakar kepentingan pasar. Dan yang patut untuk dicatat: kehidupan di pasar bergerak bila terdapat pertukaran uang.

Pedagang angkringan semacam Manggar adalah sebuah sosok paradoksal di tengah gejolak dunia virtual. Di mana keberadaannya dapat menjadi jembatan kita untuk kembali mempertanyakan, menggugat diri, merenungkan pandangan hidup yang kini kita yakini bahwa banyak di antara kita telah membelot dari kenyataan aktual menjadi masyarakat di tengah pasar yang terjebak oleh tipuan virtual.

Abdul Aziz Rasjid Peneliti Beranda Budaya, Tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah
Kompas : Forum, Selasa 7 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar